TERIAKAN yang dilontarkan sepenuh tenaga itu bergetar
memenuhi halaman Kademangan, sehingga semuanya terkejut karenanya. Dan
pertarungan itu pun segera terhenti. Ternyata yang berteriak itu adalah Ki Asem
Gede, yang datang untuk mengobati Baureksa dan Gagak Ijo.
“Apa yang terjadi …?” ulangnya.
Perlahan-lahan matanya memandang berkeliling, ke wajah-wajah
yang berdiri di sekitar halaman itu, kemudian dipandanginya wajah Mantingan dan
Demang Pananggalan dengan matanya yang bening, sehingga membawa pengaruh yang
sejuk. Alangkah damainya hati seorang yang mempunyai wajah dan mata yang begitu
lunak. Umurnya sudah lanjut, dan hampir seluruh rambutnya sudah putih. KI Asem
Gede berjalan perlahan mendekati Mahesa Jenar. Lalu membungkuk dengan
hormatnya.
“Anakmas, apa yang terjadi?” tanyanya, dan kemudian ia
menoleh kepada Demang Pananggalan dan Ki Dalang Mantingan
“Apa yang terjadi?” ulangnya kembali.
Demang Pananggalan merasa sulit untuk memberi jawaban.
Memang ia sendiri bertanya kepada dirinya, kenapa ini sampai terjadi? Ketika
Pananggalan tidak segera menjawab, Ki Asem Gede kembali memandang kepada Mahesa
Jenar. Matanya hampir tiada berkedip, seakan-akan ia masih belum yakin kepada
penglihatannya. Ketika ia memasuki halaman itu, dan melihat pertarungan yang
sengit, hatinya tersirap. Ia pernah melihat orang yang bertempur melawan Demang
Pananggalan kakak-beradik. Ia merasa pernah bertemu dengan orang itu di Demak,
ketika ia bersama-sama dengan kakaknya, yang juga seorang ahli obat-obatan,
memenuhi panggilan Panji Danapati, untuk mengobati anaknya yang sakit.
“Anakmas…” katanya kemudian,
“bolehkah aku ini, orang tua yang tak berharga menanyakan
sesuatu kepada anakmas?”
Melihat wajah orang tua itu, hati Mahesa Jenar menjadi lunak
seketika, bahkan ia agak malu kepada diri sendiri yang masih sedemikian
mudahnya terbakar oleh nafsu.
“Silahkan, Bapak…” jawabnya.
“Apakah kiranya yang ingin Bapak ketahui?”
“Maafkanlah orang tua ini,” kata orang tua itu selanjutnya
sambil menatap Mahesa Jenar dengan penuh perhatian.
“Maafkan aku, kalau aku berani mengatakan bahwa aku pernah
bertemu dengan Anakmas di Demak.”
Mendengar pertanyaan ini Mahesa Jenar mengerutkan keningnya.
Ia mulai mengingat-ingat, apakah ia benar-benar pernah bertemu dengan orang
itu.
“Aku pernah datang ke Demak,” sambung Ki Asem Gede,
“bersama-sama dengan kakakku, untuk mencoba menyembuhkan
sakit putera Panji Danapati, salah seorang perwira dari prajurit pengawal
raja.”
Mendengar kata-kata Ki Asem Gede, tiba-tiba Mahesa Jenar
jadi teringat pertemuannya dengan orang tua itu. Pada saat itu ia sedang
berkunjung ke rumah kawan sepasukan yang pada saat yang bersamaan sedang
memanggil dua orang tua untuk mengobati anaknya yang sedang sakit. Dan ia jadi
teringat, bahwa salah seorang dari kedua orang itu, adalah yang sekarang
berdiri di hadapannya.
“Di sana…” Ki Asem Gede melanjutkan,
“aku bertemu pula dengan seorang perwira lain, kawan Panji
Danapati itu. Kenalkah Anakmas dengan Panji Danapati?”
Mahesa Jenar agak ragu, tetapi perlahan-lahan ia mengangguk
juga.
“Nah…” kata orang tua itu pula,
“kalau begitu aku tidak salah lagi, Anakmaslah yang aku
jumpai di ndalem Danapaten. Benarkah?”
Mahesa Jenar masih saja ragu-ragu. Sebenarnya ia ingin
melupakan saja apa yang pernah terjadi. Meskipun sebenarnya ia masih ingin
mengabdikan diri kepada negerinya, tetapi dengan terbunuhnya Ki Kebo Kenanga,
saudara seperguruannya, lebih baik ia menyingkirkan diri, dan mencari cara
pengabdian yang lain. Juga penegasan tentang dirinya akan mempermudah setiap
usaha untuk menangkapnya, apabila ia dianggap berbahaya seperti Ki Kebo
Kenanga. Ia tidak ingin kalau sampai terjadi bentrokan dengan orang-orang yang
sedang menjalankan kewajibannya, serta kawan-kawan seperjuangannya dahulu. Maka
lebih baik baginya untuk menjauhkan diri saja dari setiap kemungkinan itu.
Tetapi sekarang ia tidak dapat mengingkari pertanyaan orang tua itu. Karena
itu, kembali Mahesa Jenar mengangguk lemah. Oleh anggukan itu, tiba-tiba Ki
Asem Gede membungkuk lebih hormat lagi dan dengan suaranya yang lembut ia
berkata,
“Kalau begitu Anakmas ini adalah tuanku Rangga Tohjaya.”
Perkataan Ki Asem Gede itu seperti petir datang menyambar
telinga Ki Dalang Mantingan serta Demang Pananggalan. Ia pernah mendengar nama
itu, bahkan nama itu terlalu besar untuk disebut-sebut sebagai seorang pahlawan
yang sudah mengamankan Demak dari gangguan-gangguan kejahatan. Mahesa Jenar
sendiri agak terkejut juga mendengar nama itu disebutkan. Tetapi ia tidak dapat
berbuat lain daripada mengiyakan. Sebab Ki Asem Gede itu pasti pernah
mendengarnya dari Panji Danapati, bahwa ia sebagai seorang perwira pengawal
raja, disamping namanya sendiri mendapat gelar Rangga Tohjaya. Demang
Pananggalan dan Ki Demang Mantingan masih berdiri termangu-mangu. Mereka masih
belum yakin benar akan kata-kata Ki Asem Gede, sampai Ki Asem Gede menyapanya.
“Adi Pananggalan dan Adi Mantingan, belumkah adi berdua
pernah mendengar nama itu?”
Mereka berdua tersadar oleh sapa itu. Dengan hati-hati
Demang Pananggalan mencoba bertanya,
“Ki Asem Gede, aku memang pernah mendengar gelar itu serta
kebesarannya, tetapi aku belum mengenal wajahnya, karena aku orang yang picik
dan sama sekali tak berarti. Tetapi perkenankanlah aku bertanya bahwa beliau
tadi berkenan menyebut gelarnya dengan Mahesa Jenar …?”
Ki Asem Gede tertawa lirih.
“Benar Adi berdua, Mahesa Jenar adalah namanya, sedang gelarnya
sebagai seorang prajurit adalah Rangga Tohdjaja.”
Hati Demang Pananggalan dan Dalang Mantingan berdegup keras.
Tetapi pandangan mata mereka masih mengandung seribu macam pertanyaan, sehingga
akhirnya Mahesa Jenar sendiri mengambil keputusan untuk mengatakan keadaannya
yang sebenarnya sebagai suatu hal yang tak mungkin lagi diingkari.
“Bapak Demang dan Kakang Mantingan, memang sebenarnyalah aku
yang bernama Mahesa Jenar, telah menerima anugerah nama sebagai seorang
prajurit, Rangga Tohjaya.”
Mendengar penjelasan itu detak jantung Demang Pananggalan
dan Dalang Mantingan serasa akan berhenti. Mereka sama sekali tidak mengira
bahwa mereka telah berhadap-hadapan dengan seorang yang sakti. Untunglah bahwa
segala sesuatunya belum terlanjur. Kalau sampai terjadi Rangga Tohjaya
mengeluarkan segala kesaktiannya maka sulitlah bagi mereka semua untuk dapat
keluar dari halaman itu dengan masih bernafas.
Seperti digerakkan oleh satu tenaga penggerak, Dalang
Mantingan dan Demang Pananggalan cepat-cepat melangkah maju ke hadapan Mahesa
Jenar, dan bersama-sama membungkuk hormat. Dengan agak terputus-putus karena
berbagai perasaan yang berdesakan di dada, Demang Pananggalan berkata,
“Kami mohon ampun ke hadapan Anakmas Rangga Tohjaya, bahwa
kami telah berbuat suatu kesalahan yang besar sekali. Serta mengucapkan
beribu-ribu terima kasih atas kemurahan Anakmas yang tidak sekaligus menghabisi
jiwa kami. Dan sekarang kami menjerahkan diri untuk menerima segala hukuman
yang seharusnya kami jalani.”
MAHESA Jenar terharu juga melihat Demang tua itu ketakutan.
Sejak semula ia sudah menduga bahwa Demang tua itu sama sekali tak bermaksud
jahat kepadanya. Hanya karena perkembangan keadaan saja maka semuanya itu
terjadi. Bahkan mungkin di luar dugaan Demang tua itu sendiri. Maka berkatalah
Mahesa Jenar,
“Bapak Demang Pananggalan dan Kakang Mantingan, tak ada
sesuatu yang harus aku maafkan. Yang sudah terjadi tak perlu disesali. Yang
perlu, sekarang silahkan Ki Asem Gede mengobati kedua orang-orangmu yang
terluka. Tetapi percayalah, aku sama sekali tidak bermaksud untuk melukainya
benar-benar.”
Kembali Demang Pananggalan dan Mantingan mengagguk hormat,
lalu mereka mempersilahkan Mahesa Jenar masuk ke Kademangan. Orang-orang yang
berada di halaman menyaksikan semuanya itu dengan keheran-heranan. Mereka yang
pernah mendengar nama Rangga Tohjaya dan pernah mendengar kesaktiannya, segera
bercerita dengan suara yang berderai derai, seakan akan dengan mengenal nama
itu mereka sudah terhitung orang yang terkemuka dalam kalangan kepahlawanan.
Sementara itu Ki Asem Gede sudah mulai melakukan
kewajibannya. Ternyata luka Gagak Ijo dan Baureksa tidak ringan. Beberapa kali
mereka tak sadarkan diri. Untung Ki Asem Gede segera turun tangan. Kalau sampai
terlambat satu malam saja, mungkin mereka sudah tak tertolong lagi. Kecuali
itu, ternyata Ki Dalang Mantingan juga mengalami cedera. Beberapa bagian
tubuhnya tidak bekerja seperti biasa dan di beberapa bagian yang terkena
serangan Mahesa Jenar tampak membengkak dan kemerah-merahan. Untunglah, daya
tahan tubuh Mantingan cukup kuat sehingga Ki Asem Gede tidak perlu bekerja
terlalu keras untuk menolongnya. Ketika keadaan sudah agak reda, dan Ki Asem
Gede sudah tidak sibuk lagi, duduklah mereka di atas bale-bale besar di pendapa
Kademangan, mengelilingi lampu minyak yang nyalanya bergoyang-goyang
diayun-ayunkan angin. Di luar, gelap malam mulai turun sebagai tabir raksasa
berwarna hitam kelam. Sedangkan di langit satu demi satu bintang mulai
bercahaya menembus hitamnya malam.
Mereka mulai berbicara dan bercerita tentang diri
masing-masing. Mahesa Jenar tidak lagi menyembunyikan sesuatu. Diceritakannya
seluruh masalah mengenai dirinya, kenapa ia sampai meninggalkan Demak.
“Aku telah menanggalkan pakaian keprajuritan dan telah
menyisihkan segala macam senjata, dengan suatu keinginan untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan. Tetapi rupa-rupanya Tuhan sendiri belum berkenan, sehingga aku
masih dikendalikan oleh nafsu,” kata Mahesa Jenar. Semuanya yang mendengarkan
mengangguk-anggukan kepala, dan mereka merasa juga bersalah, sehingga Mahesa
Jenar terpaksa menyesali dirinya.
Sementara itu mulailah hidangan mengalir. Demang Pananggalan
yang merasa telah menyakiti hati Mahesa Jenar, ingin sedikit mengurangi
kesalahannya dengan menghidangkan apa yang mungkin dihidangkan pada saat itu.
Sedangkan Ki Asem Gede, kecuali seorang yang bijaksana serta mempunyai ilmu
obat-obatan, ternyata juga seorang yang jenaka. Banyak hal yang dapat ia
ceritakan tentang dirinya dengan lucu sekali, sehingga suasana menjadi meriah
dan akrab.
Diceritakan, bagaimana ia terpaksa sekali mengobati seorang
yang sakit, hanya dengan air saja, tanpa ramu-ramuan obat yang lain. Sebab,
pada saat itu ia sedang berada dalam perjalanan dan tak membawa obat-obatan
yang diperlukan.
“Tetapi… tiga hari kemudian orang itu datang kepadaku,
dengan membawa empat ikan gurameh sebesar penampi, sebagai ucapan terima kasih
atas obat-obatku yang mujarab,” kata Ki Asem Gede.
“Sebabnya,” sambung Ki Asem Gede, kenapa obat-obatku banyak
yang dapat berhasil, adalah sebagian besar dari mereka yang aku obati mempunyai
kepercayaan kepadaku. Bahwa seseorang yang menderita sakit merasa berbesar
hati, adalah merupakan obat yang banyak menolongnya. Lebih daripada itu,
semuanya adalah berkat kuasa Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi… “ suara Ki Asem Gede
terputus.
Mereka yang mendengarkan jadi bertanya-tanya dalam hati,
kenapa tiba-tiba saja wajah Ki Asem Gede yang cerah menjadi muram? Beberapa
kali ia menelan ludah, seperti ada sesuatu yang menyumbat kerongkongannya.
“Tetapi…” ulang Mahesa Jenar yang ingin mendengar kelanjutan
ceritera Ki Asem Gede itu.
“Ah tak apalah,” tukasnya.
“Segala sesuatu ada pengecualiannya. Sebagai seorang yang
beratus bahkan beribu kali menyembuhkan orang sakit, maka sekali-kali Tuhan tak
memperkenankan juga. Itu adalah suatu bukti akan kebesaran-Nya,” lanjut Ki Asem
Gede.
Mahesa Jenar maklum bahwa ada sesuatu yang tak mau ia
sebutkan. Karena itu ia tidak bertanya lebih lanjut.
“Nah… Anakmas…” sambung Ki Asem Gede kemudian, sambil
berusaha untuk mengembalikan suasana,
“kenapa tidak saja Anakmas berceritera tentang apa yang
Anakmas jumpai di perjalanan. Tidakkah Anakmas menjumpai kejadian kejadian yang
lucu, misalnya, seperti yang terjadi di sini? Seorang seperti Adi Pananggalan
dan Adi Mantingan berlagak sebagai seorang sakti.”
Mendengar pertanyaan ini Mahesa Jenar tersenyum, demikian
juga Demang Pananggalan dan Dalang Mantingan, meskipun kalau teringat akan hal
itu, hati mereka masih tergetar.
KARENA pertanyaan itu, Mahesa Jenar teringat akan
keperluannya datang ke desa itu. Yaitu, ingin mengetahui jawaban teka-teki
tentang adanya kerangka yang dijumpainya di puncak Gunung Ijo.
“Ki Asem Gede, Bapak Demang Pananggalan serta Kakang
Mantingan. Memang sebenarnya ada aku jumpai sesuatu dalam perjalananku yang
ingin aku tanyakan. Itulah sebabnya maka aku datang kemari.”
Ketika Mahesa Jenar tampaknya bersungguh-sungguh, maka
mereka yang mendengarkanpun menjadi bersungguh-sungguh pula.
“Di puncak Gunung Ijo,” sambung Mahesa Jenar,
“aku jumpai sesuatu yang mencurigakan. Alat-alat minum yang
berserak-serakan. Bekas unggun api. Dan yang paling mengherankan adalah adanya
batu-batu yang disusun sebagai suatu tempat untuk sesaji, sedangkan di atasnya
terdapat kerangka perempuan. Dan tidak jauh dari tempat itu, aku ketemukan pula
kerangka yang lain. Juga seorang perempuan.”
Mendengar pertanyaan itu Demang Pananggalan menundukkan muka
dalam-dalam. Ki Asem Gede mengerutkan dahinya yang sudah dipenuhi oleh
garis-garis ketuaannya, sedangkan Dalang Mantingan menarik nafas dalam-dalam.
Melihat keadaan itu maka makin nyatalah bagi Mahesa Jenar bahwa daerah ini
pasti langsung mengalami bencana yang bertalian dengan peristiwa Gunung Ijo.
“Anakmas…” jawab Ki Demang Pananggalan dengan suara yang
dalam.
“Akulah orangnya, kalau ada orang tua yang sama sekali tak
berguna.”
Ia berhenti sebentar menelan ludah, lalu sambungnya,
“Apalagi aku sebagai seorang Demang, yang seharusnya dapat
memberikan perlindungan kepada rakyatku. Tetapi nyatanya aku sama sekali tak
mampu berbuat demikian.”
Kembali Demang tua itu berhenti berbicara. Matanya memandang
jauh menusuk gelapnya malam. Di halaman, beberapa orang masih duduk
berkelompok-kelompok sambil berceritera tentang kehebatan pertarungan siang
tadi.
Demang Pananggalan mengeser duduknya sedikit. Matanya masih
menembus gelap, seolah-olah ada yang dicarinya di kegelapan itu. Tetapi
rupa-rupanya ia ingin melanjutkan ceriteranya. Ki Demang pun meneruskan
ceritanya.
“Ketika itu, di daerah ini lewat serombongan orang-orang
berkuda. Didesa ini mereka berhenti dan minta untuk menginap barang semalam.
Mereka memasuki desa ini menjelang senja. Karena tak ada tanda-tanda yang aneh
pada mereka, serta sikap pimpinannya yang ramah maka kami tak dapat menolak
permintaan itu. Rombongan itu dipimpin oleh dua orang suami-isteri yang akan
mengadakan ziarah ke Gunung Baka. Tetapi ketika malam pertama telah lewat,
mereka minta untuk diperkenankan bermalam semalam lagi sambil melepaskan lelah
dan mengadakan persiapan-persiapan untuk sesaji. Permintaan ini pun tak dapat
aku tolak.”
Sekali lagi ia berhenti. Rupa-rupanya ia sedang
mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Kemudian ia kembali menyambung
ceritanya.
“Tetapi terkutuklah mereka. Terkutuklah rombongan
orang-orang berkuda itu. Pada malam kedua mereka menangkap seorang gadis yang
sedang pergi ke sungai. Gadis ini sempat menjerit, dan seorang yang baru pulang
dari mengairi sawahnya dapat menyaksikan peristiwa itu. Pengantar gadis itu,
seorang pemuda tanggung dipukulinya sampai pingsan. Maka ketika hal itu
disampaikan kepada kami, meledaklah amarah kami. Segera Banjar Kademangan yang
kami sediakan sebagai tempat penginapan mereka, kami kepung rapat-rapat. Mereka
segera kami ancam untuk menyerah. Tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan
kami. Mereka sama sekali tidak menghiraukan kehadiran kami, orang-orang hampir
seluruh desa ini. Ketika kami mendengar gadis itu menjerit, hati kami tak tahan
lagi. Cepat-cepat kami menyerbu masuk. Tetapi rupa-rupanya mereka telah siap
menanti kedatangan kami. Dan segera terjadilah pertempuran. Orang-orang kami
lebih banyak dikendalikan oleh kemarahan yang meluap-luap, daripada kesediaan
untuk bertempur. Apalagi rombongan berkuda itu ternyata terdiri dari
orang-orang yang tangguh. Maka lenyaplah segala kesan keramah-tamahan mereka.
Bahkan tampaklah betapa dahsyat cara mereka menjatuhkan lawan. Beberapa saat
pertempuran itu berlangsung dengan dahsyatnya, tetapi segera tampak betapa
lemahnya kami. Segera orang-orang kami dapat dihantam dan dicerai-beraikan. Aku
tidak lagi dapat berpikir lain daripada bertempur mati-matian. Dan aku beserta
Baureksa dan Gagak Ijo sebagai orang-orang yang paling dapat dipercaya pada
waktu itu, berhasil menerobos masuk ke banjar, sehingga kami bertiga langsung
terlibat dalam perkelahian melawan suami-istri pemimpin gerombolan itu. Mungkin
terdorong oleh kemarahanku maka terasa seolah-olah tenagaku menjadi
berlipat-lipat. Si istri itu pun ternyata mempunyai ilmu yang tinggi, ditambah
lagi betapa kasarnya cara mereka bertempur. Si Suami menerkam dan mengaum
seperti harimau, sedangkan si isteri menyerang dengan jari-jari yang
dikembangkan. Wajah-wajah mereka yang ramah itu sekarang sudah berubah menjadi
wajah-wajah iblis yang menakutkan. Tetapi aku sama sekali tidak peduli. Mungkin
saat itu, akupun berkelahi seperti iblis. Tetapi kemudian ternyata bahwa kami
bertiga bukanlah lawan mereka. Apalagi tenagaku adalah tenaga orang tua yang
sangat terbatas. Ketika nafasku sudah mulai mengganggu, segera aku merasa
terdesak, sedangkan serangan mereka semakin lama menjadi semakin kasar.”
Demang tua itu menarik nafas sambil membetulkan duduknya,
kemudian ia melanjutkan,
“Saat itu aku sudah berpikir bahwa rupa-rupanya ajalku sudah
hampir tiba. Sebab daya tahanku semakin lama menjadi semakin lemah. Apalagi
Baureksa dan Gagak Ijo sama sekali tak dapat berbuat sesuatu. Tetapi ternyata
Tuhan menghendaki lain. Rupa-rupanya salah seorang telah memberitahukan
kesulitan-kesulitan kami ini kepada Ki Asem Gede, yang pada saat yang tepat
datang menolong kami.”
Demang itu berhenti berceritera. Pandangan matanya yang
suram itu dilemparkan kepada Ki Asem Gede. Lalu katanya,
“Selanjutnya Ki Asem Gede lah yang lebih mengetahuinya.”
Mahesa Jenar mendengarkan cerita Demang tua itu dengan penuh
perhatian. Terbayang betapa Demang tua itu telah berusaha mati-matian untuk melindungi
rakyatnya, sampai ia tidak memikirkan nasibnya sendiri. Tetapi rupa-rupanya
lawannya adalah orang yang perkasa.
Ki Asem Gede yang diminta melanjutkan cerita itu, berkisar
sedikit. Dipandangnya pelita yang nyalanya bergerak-gerak oleh angin yang berhembus
ke pendapa. Ia batuk-batuk sedikit, lalu mulailah ia bercerita.
“Anakmas, sebenarnya bukanlah pertolongan yang aku berikan,
tetapi semata-mata hanyalah karena kebetulan saja dan terutama atas kehendak
Tuhan. Aku bukanlah orang yang mempunyai kepandaian yang cukup untuk
bertanding. Kalau pada masa mudaku, sekali dua kali aku pernah terlibat dalam
suatu pertarungan, itu sama sekali bukan karena aku mampu melakukannya, tetapi
itu hanyalah karena kebodohan dan kesombonganku yang kosong saja.”
DIAM-DIAM Mahesa Jenar mengamati tubuh Ki Asem Gede yang
sudah tua itu. Kulitnya sudah melipat-lipat dan hampir seluruh rambutnya,
bahkan alisnya pun telah memutih seluruhnya. Namun gerak-geriknya masih tampak
tanda-tanda kelincahan. Ini menandakan bahwa pada masa mudanya ia adalah
seorang yang kuat. Bahkan mungkin sampai saat ini pun ia masih memiliki
kekuatan itu.
“Pada masa mudaku,” sambung Ki Asem Gede,
“memang aku pernah berguru kepada seseorang yang dikenal
dengan nama Ki Tambak Manyar.”
Mendengar nama itu disebut-sebut, Mahesa Jenar terhenyak,
sebab ia pernah mendengar nama itu dari almarhum gurunya bahwa almarhum Ki
Tambak Manyar adalah seorang prajurit Majapahit yang tangguh. Karena itu, mau
tidak mau ia harus memandang Ki Asem Gede sebagai seorang yang berilmu, baik
dalam obat-obatan maupun ilmu tata berkelahi. Bahkan rupa-rupanya ia memiliki
kecerdasan otak yang tidak mengecewakan pula.
“Tetapi,” lanjut Ki Asem Gede,
“sebagai aku katakan tadi, aku tidak banyak mendapat
kemajuan. Barangkali tubuhku terlalu ringkih untuk melakukan hal-hal yang berat
dan keras. Karena itu Ki Tambak Manyar melatih aku dalam hal mempergunakan
senjata sebaik-baiknya. Baik jarak pendek maupun jarak jauh. Dan ini adalah
suatu keuntungan. Sebab ilmu ini dapat aku berikan kepada banyak orang
sekaligus meskipun tidak sedalam-dalamnya, kecuali hanya kepada satu-dua orang
saja. Terutama dalam hal mempergunakan bandil, panah, supit dan sebagainya.”
Orang tua itu berhenti sebentar dan menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian ia melanjutkan,
“Kepandaian yang tak berarti itu ternyata berguna juga dalam
suatu waktu, dimana Adi Pananggalan hampir menjadi korban keganasan orang-orang
berkuda itu. Ketika aku datang, penduduk kademangan ini telah kehilangan
semangat dan hampir putus-asa. Sedangkan kalau sampai terjadi penduduk daerah
ini melarikan diri, akibatnya akan hebat sekali. Orang-orang berkuda itu pasti
akan melakukan tindakan-tindakan yang ganas dan kotor lainnya. Karena itu,
segala usaha untuk mengusir mereka itu harus dijalankan. Pada saat itulah, maka
aku mengumpulkan orang-orang yang sudah ketakutan itu dan berusaha untuk
membangkitkan semangatnya kembali. Aku peringatkan kepada mereka bahwa
sebaiknya kita melawan orang-orang berkuda itu dari jarak jauh, sebab dengan
mengadu kekuatan sudah jelas bahwa kepandaian dan keperkasaan mereka jauh di
atas kita. Dengan jumlah yang banyak dan serangan-serangan jarak jauh, mungkin
kita akan berhasil mengacaukan mereka.”
Dengan mempergunakan senjata ini, lanjut Ki Asem Gede,
rupa-rupanya semangat mereka bangkit kembali. Dan sebentar kemudian, setelah
segala siasat ditentukan, mulailah kami menyerang orang-orang berkuda itu dari
jarak jauh dan dari segala jurusan. Orang-orang kami mempergunakan panah, supit
dan bandil. Sedang rupa-rupanya orang-orang berkuda itu tidak bersiap untuk
melakukan pertempuran jarak jauh, sehingga berhasillah siasat kami untuk
mengacaukan perhatian mereka. Apalagi kami mempergunakan panah yang ujungnya
kami balut dengan kain berminyak serta kami nyalakan. Akhirnya pemimpin mereka
suami isteri itu terpaksa keluar dari Banjar dan akhirnya merekapun dapat kami
usir pergi.
“Tetapi yang menyedihkan kami adalah, Adi Demang
Pananggalan, Baureksa dan Gagak Ijo, mengalami luka-luka yang cukup berat,
serta tidak sadarkan diri. Apalagi gadis yang ditangkapnya itu. Ia mengalami
ketakutan yang sangat sehingga akhirnya ia memerlukan waktu yang cukup lama
untuk mengembalikan kesadarannya.”
Kembali Ki Asem Gede berhenti. Ia membetulkan duduknya dan
seolah-olah menunggu Mahesa Jenar meresapi kata-katanya. Bagi Mahesa Jenar,
persoalannya menjadi semakin jelas. Bahwa pernah terjadi percobaan untuk
menculik gadis di daerah ini. Untunglah bahwa usaha itu dapat digagalkan.
Tetapi meskipun demikian, rupanya, di daerah ini rombongan itu berhasil mendapatkan
gadis-gadis untuk korban upacaranya yang aneh itu.
“Kemudian sesudah itu…” Ki Asem Gede melanjutkan lagi,
“di atas salah satu puncak pegunungan Baka, yaitu puncak
Gunung Ijo, hampir tiap malam terlihat api yang menyala-nyala. Kami kemudian
hampir memastikan bahwa rombongan orang-orang berkuda itu pergi ke sana. Kami
merasa bahwa rombongan itu adalah rombongan yang berbahaya, tetapi kami tidak
segera dapat memburunya sebab kami mengetahui kekuatannya. Meskipun demikian
kami memutuskan untuk pada suatu saat akan menyusul mereka. Mengusir mereka
atau kalau mungkin menghancurkan mereka sama sekali. Akan tetapi beberapa waktu
kemudian tidak lagi pernah nampak nyala api di puncak Gunung Ijo. Dan sekarang
Anakmas datang dengan membawa penjelasan tentang apa yang kira-kira pernah
terjadi di atas puncak Gunung Ijo itu.”
Cerita Ki Asem Gede diakhiri dengan suatu tarikan nafas yang
panjang. Suatu tarikan nafas penjelasan. Mahesa Jenar sekarang sudah pasti,
bahwa orang-orang berkuda itu adalah orang orang yang mempunyai kepercayaan
sesat. Memang pernah terdengar adanya suatu aliran kepercayaan yang dalam
upacaranya menggunakan gadis-gadis sebagai korban, disamping pemanjaan
nafsu-nafsu lahirlah yang lain. Minuman keras, makan dengan suatu cara yang
hampir dapat disebut buas, dan sebagainya.
Suasana kemudian menjadi sepi. Sedang malam semakin lama
semakin dalam. Mereka dihanyutkan oleh pikiran masing-masing serta
gambaran-gambaran yang mengerikan tentang apa yang terjadi atas gadis-gadis
yang dijadikan korban kepercayaan sesat semacam itu. DI bagian belakang rumah
Kademangan itu, tampak adanya suasana yang berbeda sama sekali. Beberapa orang
perempuan sedang sibuk mempersiapkan makan malam yang kali ini berbeda dengan
kebiasaan, karena adanya seorang tamu yang sangat mereka hormati. Mereka telah
menyembelih beberapa ekor ayam yang paling besar yang dapat mereka tangkap.
Mereka juga telah mengundang juru masak yang paling terkenal di Kademangan itu.
Sehingga tiba-tiba saja seolah-olah Demang Pananggalan sedang melangsungkan
suatu perhelatan. Di pendapa Kademangan, Ki Asem Gede-lah yang mula-mula
mencoba memecahkan kesepian, dan berusaha untuk mengubah suasana, melenyapkan
ketegangan yang mencekam.
“Adi Pananggalan, tidakkah Adi berhasrat menjamu Anakmas
Mahesa Jenar? Tentang ceritera orang-orang berkuda itu, baiklah kita simpan
lebih dahulu, sampai kesempatan lain. Aku kira Anakmas Mahesa Jenar perlu
melepaskan lelah setelah menempuh perjalanan yang jauh serta telah meladeni Adi
berdua bermain loncat-loncatan. Nah, Adi Pananggalan, aku ada usul. Adi pasti
setuju kalau gamelan Adi Pananggalan itu dibunyikan.” kata Ki Asem Gede kepada
Demang Pananggalan.
Demang Pananggalan tersenyum mendengar usul itu. Memang ia
mempunyai seperangkat gamelan yang bagus, baik bahannya maupun bunyinya. Tentu
saja Demang Pananggalan tidak dapat menolak usul itu. Maka, katanya kepada
orang-orang yang berada di halaman,
“Siapa yang di luar?”
“Aku, Bapak Demang,” jawab salah seorang diantaranya.
Sebentar kemudian orang itu berdiri dan melangkah naik ke
pendapa.
“Berapa orang seluruhnya?” tanya Demang tua itu lebih
lanjut.
“Enam atau tujuh orang, Bapak Demang,” jawab orang itu.
“Nah, aku kira telah cukup. Mari kita bermain-main dengan
gamelan. Ki Asem Gede ingin mengenang masa mudanya sebagai seorang penggemar
gending,” ajak Demang Pananggalan.
Ki Asem Gede tertawa terkekeh-kekeh.
“Lebih dari itu…, aku adalah seorang penari juga. Tetapi
tidak adakah seorang pesinden yang baik di desa ini?” sahut Ki Asem Gede.
Kembali Ki Demang Pananggalan tersenyum, juga Mahesa Jenar
dan Mantingan. Rupanya Ki Asem Gede adalah seorang penggemar uyon-uyon.
“Nah, kalau begitu panggil Nyai Jae Manis,” kata Demang
Pananggalan kepada orang tadi, yang sudah turun ke halaman.
“Baik Bapak Demang,” jawabnya, sambil melangkah turun.
Sebentar kemudian terdengar suara berbisik-bisik dan meledaklah tawa yang
tertahan dari orang-orang yang berada di halaman.
“Tetapi yang paling gembira dengan usul ini,” sambung Ki
Asem Gede,
“adalah Adi Mantingan, yang telah beberapa lama tidak mendengar
suara gamelan.”
Kembali terdengar mereka tertawa riuh.
Sebentar kemudian mulailah segala sesuatunya berlangsung
dengan meriah. Hidangan yang disiapkan oleh Nyai Demang satu demi satu mengalir
keluar. Sementara itu bunyi gamelan yang berpadu dengan suara Nyai Jae Manis
benar-benar dapat membelai hati pendengarnya. Di halaman, satu demi satu orang
berdatangan untuk turut serta menikmati suara pesinden kenamaan dari daerah
ini. Tetapi belum lagi mereka puas menikmati semuanya itu, tiba-tiba mereka dikejutkan
oleh suara derap kuda yang berlari kencang. Makin lama makin dekat dan makin
dekat. Mendengar derap kuda itu, Demang Pananggalan, Mantingan, Ki Asem Gede
dan Mahesa Jenar serentak mengangkat mukanya untuk mengetahui dari mana arah
kedatangan mereka. Sedangkan di halaman segera terjadi keributan.
Perempuan-perempuan berlari-lari ke sana-ke mari, anak-anak menangis
menjerit-jerit. Mereka masih belum melupakan peristiwa beberapa waktu yang
lalu, ketika ada rombongan orang-orang berkuda yang mengganggu ketenteraman
desa mereka. Untunglah bahwa Demang Pananggalan cepat bertindak. Ia segera
meloncat ke halaman dan mengatasi keadaan.
“Perempuan dan anak-anak masuk ke rumah,” perintah Demang
Pananggalan dengan suara nyaring.
“Sedangkan semua laki-laki di halaman ini, segera memencar
dan berusaha untuk mendapatkan senjata apa saja. Kita masih belum tahu siapakah
yang datang, tetapi keselamatan desa ini di tangan kalian,” lanjut Demang.
Laki-laki Kademangan ini bukanlah bangsa pengecut. Tetapi
meskipun demikian, hati mereka berdebar-debar juga mengenangkan kebuasan
orang-orang berkuda yang datang beberapa waktu yang lalu. Cepat-cepat mereka
berpencar dengan senjata seadanya di tangan masing-masing. Karena mereka sama
sekali tidak bersiaga, maka kecuali yang sedang bertugas ronda, mereka semuanya
tidak bersenjata. Untuk mencukupi kebutuhan, ada yang memegang sabit rumput,
kapak pembelah kayu, kayu penumbuk padi, kayu tajam untuk mengupas kelapa,
bahkan ada yang bersenjata perunggu wilahan gamelan, di tangan kanan dan kiri.
Beberapa orang yang rumahnya berdekatan dengan pendapa kademangan, berloncatan
pulang untuk mengambil tombak, pedang dan apa saja yang ada untuk
mempersenjatai kawan-kawan mereka. Tetapi getaran hati mereka terasa jauh
berkurang ketika mereka melihat di atas tangga pendapa kademangan berdiri Ki
Asem Gede dan Ki Dalang Mantingan dengan trisulanya di tangan, serta tamu
mereka yang gagah perkasa, Mahesa Jenar, yang juga bergelar Rangga Tohjaya,
dengan sikap yang tenang dan meyakinkan.
Pada saat itu, suara derap kuda itu sudah demikian dekatnya.
Sesaat kemudian mereka melihat empat orang penunggang kuda berturut-turut
menyusup regol memasuki halaman Kademangan. Ketika para penunggang kuda itu
melihat kesiap-siagaan orang-orang di halaman itu, mereka tampak terkejut, dan
sekuat tenaga mereka menarik kendali kuda masing-masing sehingga kuda-kuda itu
berdiri dan meringkik-ringkik. Secepatnya kuda itu menjejak kaki depannya di
atas tanah, secepat itu pula para penunggangnya berloncatan turun. Bersamaan dengan
itu, lega pulalah hati setiap orang yang berdiri di halaman, karena mereka
menyaksikan bahwa kedua penunggang kuda yang di depan tampak samar-samar oleh
cahaya lampu, memakai sabuk putih, serta segulung tali berjuntai di pinggangnya
dan di pinggang yang lain tergantung kantong yang berisi batu-batu pilihan.
Itulah ciri-ciri murid Ki Asem Gede yang bersenjatakan bandil. Dua orang yang
lain pun tidak menunjukkan tanda-tanda yang berbahaya, meskipun di pinggang
mereka tergantung kapak yang tajamnya putih berkilat-kilat oleh cahaya lampu.
WAJAH Ki Asem Gede segera berkerut ketika menyaksikan
orang-orang berkuda yang datang itu. Dijelaskan bahwa ia sedang berusaha untuk
menguasai debar jantungnya. Begitu kedua murid Ki Asem Gede menjejakkan
kakinya, segera mereka dengan cepat menghadap gurunya, sedangkan kedua orang
yang lain berdiri sambil memegang kendali keempat ekor kuda itu. Kedua murid Ki
Asem Gede itu segera membungkuk hormat, dan salah seorang diantara mereka
berkata,
“Ki Asem Gede, kedua kawan ini adalah murid-murid Ki
Wirasaba.”
Mendengar laporan itu wajah Ki Asem Gede makin berkerut. Ia
memandang kepada kedua orang itu dengan gelisah, lalu dengan langkah cepat ia
mendekatinya. Rupanya ia ingin berbicara dengan orang-orang itu tanpa didengar
oleh orang lain.
“Bagaimana?” tanya Ki Asem Gede, setelah orang itu mendekat.
Meskipun kata-kata itu diucapkan perlahan-lahan, tetapi karena jaraknya tak
begitu jauh, maka suara itu terdengar juga oleh orang-orang yang berdiri di
atas tangga.
Dua orang itu sebelum menjawab, matanya menyambar beberapa
orang yang berdiri di halaman, lalu ke Ki Asem Gede.
“Katakanlah,” desak Ki Asem Gede.
“Mereka telah menculik Nyi Wirasaba,” jawab salah seorang
diantaranya.
“He..?” Ki Asem Gede terkejut bukan alang-kepalang, tubuhnya
yang sudah kisut itu menggigil.
“Kalian tak berbuat apa-apa?”
Kedua orang itu menundukkan kepala. Mereka tak berani
memandang wajah Ki Asem Gede yang sedang menahan gelora hatinya.
“Kami telah mencoba, tetapi kekuatan kami tak berarti. Dua
orang kakak seperguruan kami telah mereka lukai dengan berat, dan bagi kami
satu-satunya adalah melaporkan ini kepada Ki Asem Gede. Tetapi kebetulan Ki
Asem Gede tiada di rumah, sehingga kami tadi diantar kemari.” jawab orang itu.
Tampaklah tubuh Ki Asem Gede semakin menggigil.
Diluar dugaan mereka yang berada di halaman itu, tiba-tiba
secepat kilat Ki Asem Gede meloncat ke atas salah satu kuda itu. Sekali tarik
kendali, kuda itu telah berputar dan meluncur bagai anak panah. Mereka yang
menyaksikannya menjadi terpaku diam, tak tahu apa yang mesti dilakukan.
Demikian juga keempat orang yang datang berkuda tadi, berdiri saja tegak
seperti patung. Belum lagi mereka tersadar, mendadak mereka melihat sesosok
tubuh melayang pula ke atas punggung kuda yang satu lagi. Dengan kecepatan yang
luar biasa pula, kuda ini melompat mengikuti arah larinya kuda yang dinaiki
oleh Ki Asem Gede. Orang itu tidak lain adalah Mahesa Jenar. Ketika ia
mendengar percakapan Ki Asem Gede dengan keempat orang berkuda itu, ia sudah
mengira kalau terjadi sesuatu. Maka ketika secepat itu Ki Asem Gede melarikan
kudanya, ia makin yakin bahwa tentu ada kesulitan dengan menantunya. Dan dialah
orang yang pertama-tama dapat menguasai dirinya dari pergolakan perasaannya,
sehingga ia mengambil keputusan untuk mengikuti orang tua itu.
Kuda Ki Asem Gede lari dengan kecepatan penuh di malam yang
gelap dengan meninggalkan debu putih yang berhambur-hamburan, ke arah utara
menyusur kali Opak. Jalannya begitu sempit dan berbahaya. Tapi Ki Asem Gede
sama sekali tak menghiraukan. Ia ingin cepat-cepat sampai ke Pucangan, dimana
ia yakin kalau anaknya, Nyi Wirasaba, ditahan. Ia tahu betul bahwa segerombolan
orang-orang ternama di daerah itu, yang merasa cukup mempunyai kesaktian,
menjadi takabur dan berbuat sewenang-wenang. Kejahatan-kejahatan seringkali
mereka lakukan. Pemerasan dan penganiayaan. Dan yang paling jahat adalah
pengambilan istri orang. Ini mereka lakukan, karena mereka merasa tak
terkalahkan. Bahkan mereka juga mengambil gadis-gadis untuk dijadikan istri
mereka yang keempat, kelima atau kesekian. Tak seorangpun yang dapat
mencegahnya. Sedang kali ini yang menjadi korban adalah anak Ki Asem Gede.
Mengingat semuanya itu, hati Ki Asem Gede bergolak hebat sekali karena
marahnya. Sejak ia mengasingkan diri di Asem Gede, ia sudah tak pernah lagi
berangan-angan bahwa pada suatu kali ia masih harus bertempur. Ia merasa sudah
masanya menyepi dan mempergunakan sisa hidupnya untuk diabadikan pada
perikemanusiaan. Tetapi menghadapi persoalan seperti sekarang ini? Wajah Ki
Asem Gede yang lunak dan damai itu berubah menjadi merah darah. Mulutnya
terkatub dan giginya gemeretak. Kudanya yang berlari seperti setan itu
rasa-rasanya begitu lambatnya, sehingga berkali-kali Ki Asem Gede terpaksa
menggebraknya.
Debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki kuda Ki Asem Gede
itu, telah menolong Mahesa Jenar untuk dapat mengikutinya dari jarak yang agak
jauh. Untunglah bahwa kudanya agak lebih baik sedikit dari kuda Ki Asem Gede,
sehingga jarak mereka makin lama makin dekat. Berapa lama mereka berkuda, tak
lagi terasa, karena perasaan mereka masing-masing begitu tegangnya. Ki Asem
Gede ingin segera sampai ke tempat tujuannya, sedangkan Mahesa Jenar sibuk
menduga-duga apa yang sudah terjadi atas anaknya.
Perjalanan mereka kini menyusup belukar, menjauhi Sungai
Opak. Meskipun keadaan di dalam belukar itu gelapnya bukan main, Mahesa Jenar
mempunyai penglihatan dan pendengaran yang sangat tajam, sehingga dengan
mendengarkan derap kuda Ki Asem Gede, ia dapat menyusup lewat jalan sempit itu
ke arah yang benar. Setelah beberapa lama mereka menelusur jalan belukar,
akhirnya mereka sampai ke mulutnya. Begitu mereka muncul dari belukar, terasa
hawa sejuk menyapu muka. Mahesa Jenar lebih merasakan segarnya udara, sebab Ki
Asem Gede perhatiannya penuh tertumpah kepada putrinya.
Kini jalan yang mereka lalui mulai menanjak dan
berliku-liku. Rupanya mereka telah sampai di kaki Gunung Merapi. Lama-lama di
sebelah timur telah membayang warna merah.
“Hampir fajar,” dengus Mahesa Jenar seorang diri. Kuda-kuda
mereka kini telah mulai menyusur jalan persawahan. Juga di daerah ini padi
sedang berbunga. Batang-batangnya yang berwarna hijau segar itu ditaburi oleh
warna kemerahan fajar menjadi sedemikian bagusnya, sehingga untuk sementara
Mahesa Jenar terpaku perhatiannya. Tetapi ketika diingatnya orang tua yang di
depannya itu semakin melarikan kudanya, ia pun segera mengesampingkan keindahan
fajar. Sekali ia sentakkan kakinya, kudanya berlari semakin cepat seperti
terbang. Tiba-tiba kuda Ki Asem Gede membelok ke timur, dan sebentar kemudian
menyusup masuk ke sebuah desa.
ITULAH Pucangan. Mahesa Jenar tidak mau kehilangan jejak.
Dengan ujung kendali, kudanya dicambuk agar melaju lebih cepat lagi. Ki Asem
Gede tak sedikit pun mengurangi kecepatan kudanya. Ketika sampai di muka sebuah
rumah yang berhalaman luas dan beregol besar, ia membelokkan kudanya memasuki
halaman. Kuda yang semula lari seperti kuda gila itu, langsung menuju ke
pendapa rumah itu. Baru ketika jaraknya tinggal beberapa langkah, Ki Asem Gede
menarik kendali dan berhenti di muka pendapa. Pendapa itu ternyata tertutup
dinding di empat sisinya. Pintunya masih tertutup rapat, dan lampu di dalamnya
hanya menyala remang-remang. Cepat Ki Asem Gede turun dari kudanya. Sebentar ia
tertegun. Tempat itu tampaknya sunyi. Tetapi ia yakin kalau putrinya berada di
tempat itu. Itulah rumah pemimpin gerombolan orang-orang yang merasa dirinya
tak dapat dirintangi kemauannya, bernama Samparan.
Ki Asem Gede mengetok pintu itu keras-keras. Sekali, dua
kali, tak ada yang menyahut. Akhirnya Ki Asem Gede tak sabar lagi. Dengan kedua
sisi telapak tangannya ia memukul daun pintu itu sekuat tenaga, hingga
berderak-derak. Maka patahlah palang pintu itu, sehingga terbuka lebar-lebar.
Cepat-cepat ia meloncat masuk, dan tampaklah olehnya lima orang sedang duduk di
atas sebuah balai-balai bambu yang besar menghadapi meja kecil berisi
bermacam-macam makanan dan minuman keras. Kelima orang itu memandang Ki Asem
Gede dengan pandangan kosong, dan sikap yang acuh tak acuh, sehingga Ki Asem
Gede semakin marah.
”Kalian menculik anakku!” teriaknya. Sikap Ki Asem yang
sudah tua itu tampak garang dan sama sekali berobah dari sifat
keramah-tamahannya.
”Kami sudah mengira kalau kau akan datang ke pondokku yang
jelek ini,” jawab salah satu dari kelima orang itu, yang rupanya adalah
pemimpinnya, Samparan.
”Tetapi adalah kurang bijaksana kalau seorang tamu mesti
merusak pintu,” sambung orang itu. Lalu terdengarlah suara mereka berlima
tertawa berderai-derai.
Direndahkan demikian, Ki Asem Gede semakin marah. Cepat ia
membungkuk mengambil palang pintu yang telah dipatahkannya tadi, dan
dilemparkan sekuat tenaga ke arah meja kecil di atas bale-bale di antara kelima
orang itu. Begitu hebatnya lemparan Ki Asem Gede sehingga meja kecil yang
tertimpa palang pintu itu pecah berserak-serakan. Suara tertawa kelima orang
itu jadi terputus karena terkejut. Mereka cepat-cepat meloncat menjauh, dan
turun dari balai-balai itu. Mereka sama sekali tidak mengira kalau orang tua
itu masih memiliki tenaga yang sedemikian kuatnya. Sebentar kemudian terdengar
Samparan tertawa terbahak-bahak.
”Bagus …, bagus …. Alangkah hebatnya,” kata Samparan.
Ki Asem Gede sudah tidak mau mendengarkan lagi. Kembali ia
berteriak.
”Aku datang untuk mengambil anakku.”
Lagi, Samparan tertawa, tapi kali ini tawanya dingin.
”Kami telah berbuat suatu kebaikan bagi penduduk di sekitar
daerah ini, dengan menyimpan anakmu.”
”Apa kau bilang?” potong Ki Asem Gede.
”Anakmu telah melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk dengan
mengganggu ketentraman rumah tangga orang, meskipun ia sudah bersuami.”
”Omong kosong!” teriak Ki Asem Gede semakin marah. Kembali
Samparan tertawa.
”Sudah seharusnya kau tidak percaya, sebab kau ayahnya.
Tetapi ketahuilah bahwa di daerah ini telah timbul keributan karena pokal
anakmu. Bahkan lebih dari itu, di daerah barat daya telah timbul wabah
penyakit. Kau tahu sebabnya? Ketahuilah, bahwa itu disebabkan karena salah
istrimu itu pula, sehingga danyang-danyang menjadi marah.” sambung Samparan.
Ki Asem Gede sudah sampai pada puncak kemarahannya sehingga
seluruh tubuhnya bergetar. Ia tahu benar betapa liciknya orang-orang itu, dan
betapa pandainya mereka memutar balik kenyataan.
”Samparan…” jawab Ki Asem Gede dengan suara menggigil.
”Aku tahu siapakah kau. Jadi kau tak usah banyak bicara di
hadapanku. Aku tahu bahwa anakku menolak menuruti kehendakmu dan kawan-kawanmu,
gerombolan iblis ini, sehingga kau terpaksa menculiknya dan menyimpannya.
Sekarang aku minta anakku itu kau serahkan kepadaku.”
Samparan mendengus lewat hidungnya, lalu berkata lagi,
”Aku tetap pada keteranganku. Dan kami berlima atas
persetujuan rakyat di daerah ini, telah mengambil keputusan untuk menjatuhkan
hukuman atas anakmu itu. Aku hanya meniru apakah hukuman yang dijatuhkan pada
orang demikian pada jaman dahulu, yaitu dilempari batu sampai mati.”
Mendengar jawaban itu, tubuh Ki Asem Gede semakin menggigil
dan giginya gemertak menahan marah yang hampir meledak.
”Hanya Sultan di Demak yang berhak menjatuhkan hukuman mati,
atau orang yang telah mendapat kuasanya. Orang-orang Pucangan ini pun tak
berhak melakukan itu, apalagi iblis-iblis macam kau ini.” teriak Ki Asem Gede.
Samparan mengangguk-angguk, lalu kembali terdengar tawa
iblisnya.
”Betul…, betul Ki Asem Gede, tetapi di daerah terpencil
sejauh ini, jari-jari kekuasaan Demak tak begitu terasa. Maka sudah
sewajarnyalah kalau kami yang merasa sedikit ada kemampuan, membantu berlakunya
undang-undang di daerah ini, menghapuskan kekhianatan.”
Hampir Ki Asem Gede tak dapat menahan dirinya. Untunglah
bahwa pikirannya masih dapat bekerja. Ia merasa tak akan mampu melawan kelima
orang itu.
”Di Demak,” kata Ki Asem Gede kemudian,
”untuk tiap-tiap keputusan ada hak pembelaan. Berlaku
jugakah peraturan ini?”
Mendengar pertanyaan ini kelima orang itu tampak berpikir.
Tetapi sebentar kemudian terdengar kembali tawa iblis keluar dari mulut
Samparan.
”Kau cerdik sekali Ki Asem Gede. Kau ingin menjadikan
persoalan ini menjadi persoalan umum.”
”Bukankah telah kau katakan bahwa putusanmu itu atas
persetujuan penduduk di daerah ini? Bukankah dengan demikian hal itu sudah
menjadi persoalan umum?”
SAMPARAN kembali merenung. Tampak ia berpikir untuk
mengatasi usul Ki Asem Gede itu. Kalau sampai terjadi ada semacam pengadilan
bagi persoalan ini, dimana dapat hadir saksi-saksi, maka terang hal ini tidak
menguntungkan pihaknya. Tetapi akhirnya ia ketemukan juga suatu cara untuk
mengatasinya.
“Ki Asem Gede, kami adalah bangsa yang mengenal keadilan.
Kenapa kami keberatan kalau diadakan pembelaan? Tetapi karena kekuasaan
tertinggi dalam persoalan ini adalah di tangan kami, maka kamilah yang
menentukan cara pembelaan itu.”
“Bagaimana caranya?” Dalam kesulitan ini Ki Asem Gede hanya
dapat mengharap suatu perkembangan persoalan yang dapat menguntungkan dirinya.