AWAN yang hitam pekat bergulung-gulung di langit seperti
lumpur yang diaduk dan kemudian dihanyutkan oleh banjir, sehingga malam gelap
itu menjadi semakin hitam. Sehitam suasana Kerajaan Demak pada waktu itu,
dimana terjadi perebutan pengaruh antara Wali pendukung kerajaan Demak dengan
Syeh Siti Jenar. Pertentangan itu sedemikian meruncingnya sehingga terpaksa
diselesaikan dengan pertumpahan darah. Syeh Siti Jenar dilenyapkan. Disusul
dengan terbunuhnya Ki Kebo Kenanga yang juga disebut Ki Ageng Pengging. Ki Kebo
Kenanga ini meninggalkan seorang putra bernama Mas Karebet. Karena dibesarkan
oleh Nyai Ageng Tingkir, kemudian Mas Karebet juga disebut Jaka Tingkir. Jaka
Tingkir inilah yang kemudian akan menjadi raja, menggantikan Sultan Trenggana.
Jaka Tingkir pula yang memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Pajang.
Pada masa yang demikian, tersebutlah seorang saudara muda
seperguruan dari Ki Ageng Pengging yang bernama Mahesa Jenar. Karena keadaan
sangat memaksa, Jaka Tingkir pergi meninggalkan kampung halaman, sawah, ladang,
serta wajah-wajah yang dicintainya. Ia merantau, untuk menghindarkan diri dari
hal-hal yang tak diinginkan. Telah bertahun-tahun Mahesa Jenar mengabdikan
dirinya kepada Negara sebagai seorang prajurit. Tetapi karena masalah perbedaan
ajaran tentang kepercayaan, yang telah menimbulkan beberapa korban, ia terpaksa
mengundurkan diri, meskipun kesetiannya kepada Demak tidak juga susut. Hanya
dengan bekal kepercayaan kepada diri sendiri serta kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, Mahesa Jenar mencari daerah baru yang tidak ada lagi persoalan
mereka yang berbeda pendapat mengenai pelaksanaan ibadah untuk menyembah Tuhan
Yang Maha Esa.
Mahesa Jenar adalah bekas seorang prajurit pilihan, pengawal
raja. Ia bertubuh tegap kekar, berdada bidang. Sepasang tangannya amat kokoh,
begitu mahir mempermainkan segala macam senjata, bahkan benda apapun yang
dipegangnya. Sepasang matanya yang dalam memancar dengan tajam sebagai
pernyataan keteguhan hatinya, tetapi keseluruhan wajahnya tampak bening dan
lembut. Ia adalah kawan bermain Ki Ageng Sela pada masa kanak-kanaknya. Ki
Ageng Sela inilah yang kemudian menjadi salah seorang guru dari Mas Karebet,
yang juga disebut Jaka Tingkir, sebelum menduduki tahta kerajaan. Meskipun
mereka bukan berasal dari satu perguruan, tetapi karena persahabatan mereka
yang karib, maka seringkali mereka berdua tampak berlatih bersama. Saling
memberi dan menerima atas izin guru mereka masing-masing. Gerak Mahesa Jenar
sedikit kalah cekatan dibanding dengan Sela yang menurut cerita adalah cucu
seorang bidadari yang bernama Nawangwulan. Betapa gesitnya tangan Ki Ageng
Sela, sampai orang percaya bahwa ia mampu menangkap petir. Tetapi Mahesa Jenar
lebih tangguh dan kuat. Dengan gerak yang sederhana, apabila dikehendaki ia mampu
membelah batu sebesar kepala kerbau dengan tangannya. Apalagi kalau ia sengaja
memusatkan tenaganya.
Pada malam yang kelam itu Mahesa Jenar mulai dengan
perjalanannya dari rumah almarhum kakak seperguruannya, Ki Kebo Kenanga di
Pengging. Ia sengaja menghindarkan diri dari pengamatan orang. Mula-mula Mahesa
Jenar berjalan ke arah selatan dengan menanggalkan pakaian keprajuritan, dan
kemudian membelok ke arah matahari terbenam. Setelah beberapa hari berjalan,
sampailah Mahesa Jenar di suatu perbukitan yang terkenal sebagai bekas kerajaan
seorang raksasa bernama Prabu Baka, sehingga perbukitan itu kemudian dikenal
dengan nama Pegunungan Baka. Salah satu puncak dari perbukitan ini, yang
bernama Gunung Ijo, adalah daerah yang sering dikunjungi orang untuk menyepi.
Di sinilah dahulu Prabu Baka bertapa sampai diketemukan seorang gadis yang
tersesat ke puncak Gunung Ijo itu. Mula-mula gadis itu akan dimakannya, tetapi
niat itu diurungkan karena pesona kecantikannya. Bahkan gadis itu kemudian
diambilnya menjadi permaisuri, ketika ia kemudian dapat menguasai kerajaan
Prambanan. Gadis cantik itulah yang kemudian dikenal dengan nama Roro
Jonggrang. Dan karena kecantikannya pula Roro Jonggrang oleh Bandung Bandawasa,
yang juga ingin memperistrinya setelah berhasil membunuh Prabu Baka, disumpah
menjadi patung batu. Candi tempat patung itu lah yang kemudian terkenal dengan
nama Candi Jonggrang.
Tetapi pada saat Mahesa Jenar menginjakkan kakinya di puncak
bukit itu terasalah sesuatu yang tak wajar. Beberapa waktu yang lalu ia pernah
mengunjungi daerah ini. Tetapi sekarang alangkah bedanya. Tempat ini tidak lagi
sebersih beberapa waktu berselang. Rumput-rumput liar tumbuh di sana-sini. Dan
yang lebih mengejutkannya lagi, adalah ketika dilihatnya kerangka manusia.
Melihat kerangka manusia itu hati Mahesa Jenar menjadi tidak enak. Ia menjadi
sangat berhati-hati karenanya. Tetapi ia menjadi tertarik untuk mengetahui
keadaan di sekitar tempat itu. Ia menjadi semakin tertarik lagi ketika
dilihatnya tidak jauh dari tempat itu terdapat beberapa macam benda alat minum
dan batu-batu yang diatur sebagai sebuah tempat pemujaan. Dan di atasnya
terdapat pula sebuah kerangka manusia. Mahesa Jenar pernah belajar dalam
pelajaran tata berkelahi mengenai beberapa hal tentang tubuh manusia. Itulah
sebabnya maka ia dapat menduga bahwa rangka-rangka itu adalah rangka perempuan
yang tidak tampak adanya tanda-tanda penganiayaan. Cepat ia dapat menebak,
bahwa beberapa waktu berselang telah terjadi suatu upacara aneh di atas bukit
ini. Tetapi ia tidak tahu macam upacara itu. Untuk mengetahui hal itu, ia
mengharap mendapat keterangan dari penduduk sekitarnya. Tetapi Mahesa Jenar
menjadi kecewa ketika ia melayangkan pandangannya ke sekitar bukit itu. Tadi ia
sama sekali tidak memperhatikan bahwa tanah-tanah pategalan telah berubah
menjadi belukar. Agaknya sudah beberapa waktu tanah-tanah itu tidak lagi
digarap.
Ketika ia sudah tidak mungkin lagi untuk mendapatkan
keterangan lebih banyak lagi tentang kerangka-kerangka tersebut, maka dengan
pertanyaan-pertanyaan yang berputar-putar dikepalanya, Mahesa Jenar melanjutkan
perjalanannya ke barat, menuruni lembah dan mendaki tebing-tebing perbukitan
sehingga sampailah ia di atas puncak pusat kerajaan Prabu Baka. Dari atas bukit
itu Mahesa Jenar melayangkan pandangannya jauh di dataran sekitarnya. Di
sebelah utara tampaklah kumpulan candi yang terkenal itu, yaitu Candi
Jonggrang. Sempat juga Mahesa Jenar mengagumi karya yang telah menghasilkan
candi-candi itu. Menurut cerita, candi-candi yang berjumlah 1.000 itu adalah
hasil kerja Bandung Bandawasa hanya dalam satu malam saja, untuk memenuhi
permintaan Roro Jonggrang. Tetapi ketika ternyata Bandung Bandawasa akan dapat
memenuhi permintaan itu, Roro Jonggrang berbuat curang. Maka marahlah Bandung
Bandawasa. Jonggrang disumpah sehingga menjadi candi yang ke 1.000. Candi itu
dikitari oleh persawahan yang ditumbuhi batang-batang padi yang sedang
menghijau. Daun-daunnya mengombak seperti mengalirnya gelombang-gelombang kecil
di pantai karena permainan angin.
TIBA-TIBA Mahesa Jenar teringat akan kerangka-kerangka yang
ditemukannya di atas Gunung Ijo. Di dekat persawahan yang sedang menghijau itu
pasti ada penduduknya. Di sana, mungkin ia akan mendapat beberapa keterangan
tentang kerangka-kerangka itu. Karena pikiran itu maka segera ia menuruni bukit
dan cepat-cepat pergi ke arah pedesaan di sebelah Candi Jonggrang di tepi
Sungai Opak. Ketika ia sampai di desa itu, terasa alangkah asingnya penduduk
menerima kedatangannya. Anak-anak yang sedang bermain di halaman dengan riangnya,
segera berlari-larian masuk ke rumah. Terasa benar bahwa beberapa pasang mata
mengintip dari celah-celah dinding rumahnya.
“Apakah yang aneh padaku?” pikirnya.
Ia merasa susah untuk menemukan orang yang dapat diajak
berwawancara untuk menjalankan beberapa soal, terutama mengenai peristiwa
Gunung Ijo. Rumah-rumah di kiri kanan jalan desa itu serasa tertutup baginya.
Beberapa kali ia berjalan hilir mudik kalau-kalau ia berjumpa dengan seseorang
yang dapat ditanyainya atau seseorang yang menyapanya. Tetapi sudah untuk
kesekian kalinya tak seorang pun dijumpainya, dan tak seorang pun menyapanya.
Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengetuk salah satu dari sekian banyak
pintu-pintu yang tertutup.
Tiba-tiba terasa sesuatu yang tidak wajar. Dari balik-balik
pagar batu di sekitarnya, didengarnya dengus nafas yang tertahan-tahan. Tidak
hanya dari satu-dua orang, tetapi rasa-rasanya banyak orang yang bersembunyi di
balik pagar-pagar itu. Mahesa Jenar tidak mengerti maksud mereka mengintip dari
balik-balik pagar. Karena itu ia pura-pura tidak mengetahui akan hal itu.
Tetapi ketika ia akan melangkahkan kakinya menginjak ambang regol sebuah
halaman, berloncatanlah beberapa orang laki-laki dari balik pagar-pagar batu di
sekitarnya. Semuanya membawa senjata. Golok-golok besar, tombak panjang dan
pendek, pedang, keris dan sebagainya. Mahesa Jenar sebentar terkejut juga,
tetapi cepat otaknya bekerja. Ia segera mengambil kesimpulan bahwa agaknya
memang pernah terjadi sesuatu di daerah ini. Ia juga menduga bahwa orang-orang
itu tak bermaksud jahat. Mereka hanya berjaga-jaga dan waspada. Sebagai orang
asing di daerah berbahaya sudah sepantasnyalah bahwa ia dicurigai. Itulah
sebabnya ia mengambil keputusan untuk tidak berbuat apa-apa, dan hanya akan
menurut semua perintah yang akan diterima. Orang yang menjadi pemimpin
rombongan itu berperawakan sedang. Badannya tak begitu besar, tetapi
otot-ototnya yang kuat menghias seluruh tubuhnya. Diantara jari-jari tangan
kanannya terselip sebuah trisula, yaitu sebuah tombak bermata tiga. Di
sampingnya berdiri seorang yang berperawakan tinggi besar, berkumis lebat.
Pandangannya tajam berkilat-kilat. Ia tak bersenjata tajam apapun kecuali
sebuah cambuk besar yang ujungnya lebih dari sedepa panjangnya, dan pada juntai
cambuk itu diikatkan beberapa potongan besi, batu dan tulang-tulang.
Rupa-rupanya ia merupakan salah seorang tokoh terbesar dari para pengawal desa
itu, disamping beberapa pengawal lain yang segera mengepungnya.
“Ikut kami!” Tiba-tiba terdengarlah sebuah perintah yang
menggelegar keluar dari mulut orang yang tinggi besar itu.
Terasalah oleh Mahesa Jenar betapa orang yang tinggi besar
itu ingin mempengaruhinya dengan suaranya. Mahesa Jenar yang sudah mengambil
keputusan untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan keributan,
menuruti perintah itu dengan patuh. Orang yang tinggi besar itu berjalan di
depan bersama-sama dengan pemimpin rombongan, kemudian berjalanlah di
belakangnya Mahesa Jenar diiringi oleh para pengawal. Rombongan itu berjalan
menyusur jalan desa menuju ke sebuah rumah yang agak lebih besar dari
rumah-rumah yang lain, berpagar batu agak tinggi dan berhalaman luas. Mereka
memasuki halaman itu dengan melewati sebuah gerbang yang dikawal orang di
kiri-kanannya, sedangkan di halaman itu pun telah pula menanti beberapa orang
laki-laki yang juga bersenjata. Diantara mereka berdirilah seorang laki-laki
yang sudah agak lanjut usianya. Pemimpin rombongan serta orang yang tinggi
besar langsung mendatangi orang tua itu. Mahesa Jenar masih saja mengikuti di
belakangnya.
“Kakang Demang,” lapor pemimpin rombongan itu,
“orang ini terpaksa kami curigai. Selanjutnya terserah
kebijaksanaan kakang.”
Orang tua yang ternyata demang dari daerah itu,
mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa garis umur telah tergores di wajahnya,
tetapi ia masih nampak segar dan kuat. Wajahnya terang dan bersih. Giginya
masih utuh, putih berkilat diantara bibir-bibirnya yang tersenyum ramah.
“Ia sedang menyelidiki daerah kami, Kakang. Mungkin ia
menemukan seorang gadis untuk korbannya,” tiba-tiba laki-laki yang tinggi besar
itu menyambung dengan suaranya yang bergerat. Sesudah itu ia memandang
berkeliling dan tampaklah setiap laki-laki yang kena sambaran matanya
mengangguk-angguk kecil tanpa keyakinan apa-apa.
Pikiran yang terang dari Mahesa Jenar segera dapat
menghubungkan ucapan ini dengan kerangka-kerangka yang ditemuinya di Gunung
Ijo. Mungkin ucapan orang itu bertalian dengan peristiwa yang sedang menjadi
tanda tanya di dalam hatinya. Demang tua itu memandang Mahesa Jenar dari ujung
kaki sampai ke ujung rambutnya. Umurnya yang telah lanjut, menolongnya untuk
mengenal sedikit tentang watak-watak orang yang baru saja dijumpainya. Dan
terhadap Mahesa Jenar, ia tidak menduga adanya maksud-maksud buruk.
“Bolehkah aku bertanya?” kata Demang tua itu dengan nada
yang berat tetapi sopan dan rumah.
“Siapakah nama Ki Sanak dan dari manakah asal Ki Sanak?
Sebab menurut pengamatan kami, Ki Sanak bukanlah orang dari daerah kami.”
Mula-mula Mahesa Jenar ragu. Haruskah ia mengatakan keadaan
yang sebenarnya, ataukah lebih baik menyembunyikan keadaan yang sebenarnya …?
Ia masih belum tahu, sampai di mana jauh akibat tindakan-tindakan pemerintah
Kerajaan Demak terhadap para pengikut Syeh Siti Jenar. Kalau ia tidak berkata
yang sebenarnya, maka ada suatu kemungkinan bahwa kecurigaan orang terhadapnya
semakin besar. Mungkin pula ia ditangkap, ditahan atau semacamnya itu. Akhirnya
Mahesa Jenar mengambil keputusan untuk mengatakan sebagian saja dari
keadaannya. Oleh keragu-raguannya inilah maka sampai beberapa saat Mahesa Jenar
tidak menjawab, sehingga ketika baru saja ia akan berkata, terdengarlah orang
yang tinggi besar itu membentak,
“Ayo bilang!”
Mahesa Jenar sebenarnya sama sekali tidak senang
diperlakukan sedemikian, tetapi ia tidak ingin ribut-ribut. Maka dijawabnya
pertanyaan itu dengan sopan pula,
“Bapak Demang, kalau Bapak Demang ingin mengetahui, aku
berasal dari Pandanaran. Aku adalah pegawai istana Demak, yang karena sesuatu
hal ingin menjelajahi daerah-daerah wilayah Kerajaan Demak.”
Beberapa orang tampak terkejut mendengar jawaban ini.
SEORANG pegawai istana adalah orang yang pantas sekali
mendapat kehormatan. Sedang orang ini? Orang yang mengaku menjadi pegawai
istana itu menjadi orang tangkapan. Apakah kalau hal semacam ini sampai
terdengar oleh kalangan istana, tidak akan menjadikan mereka murka? Mahesa
Jenar merasakan pengaruh kata-katanya itu atas orang-orang yang mengepungnya.
Demikian juga wajah orang tinggi besar itu tampak berubah. Dahinya berkerinyut
dan alisnya ditariknya tinggi-tinggi. Demang tua itu sekali lagi
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi kemudian ia bertanya lagi dengan nada
yang masih sesopan tadi.
“Menilik sikap Ki Sanak, memang tepatlah kalau ki sanak
seorang pegawai istana, atau setidak-tidaknya orang-orang kota seperti yang pernah
aku kenal. Tetapi kedatangan Ki Sanak seorang diri kemari, merupakan sebuah
pertanyaan bagi kami.”
Sekali lagi tampak wajah-wajah di sekitar Mahesa Jenar
berubah. Mereka jadi ikut bertanya pula di dalam hati.
“Ya, kenapa seorang pegawai istana pergi sedemikian jauhnya
seorang diri?”
Tetapi tak seorangpun yang mengucapkan pertanyaan itu.
“Orang ini ingin memperbodoh kita Kakang,” kembali terdengar
suara gemuruh orang yang tinggi besar itu dengan matanya yang berkilat-kilat.
Sekali lagi ia memandang berkeliling, kepada orang-orang yang berdiri memagari.
Dan sekali lagi orang-orang itu mengangguk-angguk kecil tanpa keyakinan
apa-apa.
Sikap orang yang tinggi besar itu semakin tidak menyenangkan
hati Mahesa Jenar, tetapi ia masih saja menahan dirinya dan menjawab dengan
ramah pula.
“Bapak Demang, sebenarnya memang aku mempunyai banyak
keterangan mengenai diriku, tetapi sebaiknyalah kalau keterangan-keterangan itu
aku berikan khusus untuk Bapak Demang, tidak di hadapan orang banyak. Sebab ada
hal-hal yang tidak perlu diketahui umum.”
Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga bahwa perkataannya
itu mempunyai akibat yang kurang baik. Orang yang tinggi besar itu, yang
sebenarnya bernama Baureksa, dan bertugas sebagai kepala penjaga keamanan
Kademangan Prambanan, merasa sangat tersinggung. Ia merasa direndahkan oleh
orang asing itu, dengan mengesampingkannya dari pembicaraan. Karena itu ia
membentak dengan suaranya yang lantang.
“Apa perlunya Kakang Demang meladeni orang semacam kau?
Sekarang saja kau bicara.”
Perlakuan orang itu sebenarnya sudah keterlaluan. Tetapi
Mahesa Jenar masih berusaha untuk menahan diri, dan menjawab dengan baik.
“Apa yang perlu kau ketahui telah aku katakan.”
“Belum cukup,” jawab Baureksa semakin marah.
“Apa yang akan kau katakan kepada kakang Demang?”
Mahesa Jenar memandang kepada orang tua itu. Wajahnya yang
bening menjadi agak suram. Sebenarnya ia dapat menerima permintaan Mahesa
Jenar, tetapi ia tidak dapat menyakiti hati bawahannya yang merupakan tulang
punggung kademangannya. Memang, Demang tua itu sendiri sering merasa tidak
senang akan sikap Baureksa. Tetapi orang ini terlalu berpengaruh karena
kehebatannya. Malahan pernah terpikir olehnya untuk suatu waktu memberi
pelajaran sedikit kepada Baureksa, sebab meskipun usianya telah lanjut tetapi
ia masih merasa mampu untuk melakukannya. Tetapi hal yang demikian akan tidak
baik pengaruhnya terhadap rakyat yang justru sekarang memerlukan perlindungan
dari bahaya yang setiap saat dapat mengancam. Dan tiba-tiba saja ia mendapat
suatu pikiran baik. Menilik tubuh, sikap dan gerak-gerik Mahesa Jenar, orang
tua yang sudah banyak pengalaman itu segera mengenal, bahwa Mahesa Jenar bukan
orang yang pantas direndahkan. Ia tersenyum dalam hati karena pikiran itu.
“Lalu bagaimanakah sebaiknya Baureksa?” tanya Demang tua
itu.
Sikap Baureksa semakin garang. Ia merasa bahwa demangnya
akan menyerahkan segala sesuatu kepadanya.
“Orang itu harus berkata sebenarnya,” katanya.
“Kalau tidak mau?” pancing Demang itu.
“Dipaksa!” jawab Baureksa tegas-tegas. Dan jawaban ini
memang diharapkan sekali oleh demang tua itu.
“Bagus… terserah kepadamu. Yang lain sebagai saksi atas apa
yang terjadi,” katanya.
Keadaan berubah menjadi tegang. Tak seorangpun mengerti
maksud dari kepala daerahnya itu. Sebenarnya orang-orang itu sama sekali tak
menghendaki kejadian-kejadian semacam itu, sebab dalam pandangan mereka, Mahesa
Jenar adalah orang yang sopan dan baik. Kalau sekali Baureksa sudah bertindak,
biasanya tak dapat dikendalikan lagi. Dan orang yang diperiksanya biasanya kesehatannya
tak dapat pulih kembali. Tetapi tak seorang pun yang berani
menghalang-halanginya sifat-sifatnya yang mengerikan itu. Apalagi kalau orang
itu benar-benar pegawai istana, maka apakah kiranya yang akan terjadi?. Berbeda
sekali dengan pikiran Baureksa. Ia menjadi gembira seperti anak-anak yang
mendapat mainan. Meskipun ia juga mempunyai otak, tetapi tidak dapat bekerja
dengan baik. Adatnya keras dan lekas marah. Apalagi setelah beberapa waktu yang
lalu, pada waktu terjadi huru hara, dan ia tidak mampu untuk mengatasinya. Maka
sekarang ia ingin mengembalikan kepercayaan rakyat atas kehebatannya dengan
menumpahkan segala dendamnya kepada orang asing itu. Tetapi untuk itu ia tidak
akan segera turun tangan sendiri. Ia ingin melihat dahulu sampai dimana kekuatan
barang mainannya. Sebab bagaimana tumpulnya otak Baureksa, namun ia masih juga
melihat suatu kemungkinan yang ada pada calon korbannya. Sebaliknya Mahesa
Jenar mengeluh dalam hati. Cepat ia dapat menangkap maksud Demang tua yang
bijaksana itu dengan menangkap pandangan matanya.
“Permainan berbahaya. Demang tua itu sama sekali belum
mengenal aku, sebaliknya aku pun belum mengenal orang macam Baureksa itu,”
pikir Mahesa Jenar. Tetapi bagaimana pun, Mahesa Jenar terpaksa melayaninya
kalau ia tidak mau menjadi bulan-bulanan celaka.
“Gagak Ijo…!” tiba-tiba terdengar Baureksa berteriak
keras-keras.
Dan orang yang dipanggilnya Gagak Ijo itu dengan gerak yang
cekatan meloncat ke hadapan Baureksa. Gagak Ijo yang nama sebenarnya adalah
Jagareksa adalah seorang pembantu, bahkan tangan kanan Baureksa. Kedua-duanya
mempunyai sifat yang hampir sama. Tubuhnya agak pendek bulat, sedang
otot-ototnya menjorok keluar membuat garis-garis yang sama jeleknya dengan
garis-garis wajahnya.
“Suruh orang itu bicara,” perintah Baureksa.
“Bicara tentang apa Kakang?” tanya Gagak Ijo.
Mendengar pertanyaan itu, Baureksa memaki keras-keras,
“Bodoh kau. Suruh dia bicara, di mana rumahnya, di mana
gerombolannya, dan suruh dia katakan kapan gerombolannya akan datang lagi untuk
menculik gadis.”
Gagak Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekarang ia sudah
tahu tugasnya. Memeras keterangan dari orang asing itu. Perlahan-lahan Gagak
Ijo memutar tubuhnya, menghadap Mahesa Jenar. Sebentar ia mengatur jalan
nafasnya, dan dengan perlahan-lahan pula ia mendekati korbannya. Suasana
menjadi bertambah tegang.
PERISTIWA semacam ini telah berulang kali terjadi, biasanya
dilakukan terhadap para penjahat atau terhadap mereka yang melanggar adat.
Tetapi sekali ini, orang-orang kademangan itu merasakan adanya suatu perbedaan
dengan kejadian-kejadian yang pernah terjadi.
“Jawab setiap pertanyaanku dengan betul,” perintah Gagak Ijo
dengan garangnya. Matanya menjadi berapi-api dan mulutnya komat-kamit.
“Siapa namamu?”
Pertanyaan yang pertama ini mengejutkan Mahesa Jenar. Ia
tidak menduga bahwa dari mulut orang itu akan keluar pertanyaan yang demikian.
Maka untuk pertanyaan yang pertama ini Mahesa Jenar menjawab dengan tenangnya.
“Namaku Mahesa Jenar.”
Rupa-rupanya ketenangannya ini sangat mengagumkan orang-orang
yang menyaksikan peristiwa itu. Tidak pernah ada seorang pun yang dapat
bertindak setenang itu menghadapi Gagak Ijo, apalagi Baureksa.
“Bagus…” dengus Gagak Ijo.
“Nama yang bagus. Mengenal namamu adalah perlu sekali
bagiku. Kalau terpaksa tanganku membunuhmu. Orang-orang sudah tahu bahwa kau
bernama Mahesa Jenar.”
Gagak Ijo lalu mengangguk-angguk dengan sikap yang sombong
sekali. Memang, ia mempunyai kebiasaan untuk tidak segera bertindak. Ia senang
melihat korbannya ketakutan dan bahkan pernah ada yang sampai terjatuh di
tempat. Tetapi kali ini ia merasa aneh, Mahesa Jenar tenang bukan kepalang. Dan
ini sangat menjengkelkannya.
“Kau sudah dengar perintah kakang Baureksa? Apa yang harus
kau katakan, sekarang katakanlah.”
“Tak ada yang akan aku katakan,” jawab Mahesa Jenar.
Gagak Ijo terkejut mendengar jawaban itu, sehingga membentak
keras.
“Bicaralah!” Lalu suaranya ditahan perlahan-lahan.
“Bicaralah supaya aku tidak usah memaksamu.”
Mahesa Jenar kemudian menjadi jemu melihat sikap Gagak Ijo
yang sombong itu. Maka ia mengambil keputusan untuk cepat-cepat menyelesaikan
pertunjukan yang membosankan itu, dengan membuat Gagak Ijo marah.
“Baiklah aku berkata, bahwa rumahku adalah jauh sekali
seperti yang sudah aku katakan kepada Bapak Demang tadi. Tetapi kedatanganku
kemari sama sekali tidak akan menculik gadis-gadis. Aku datang kemari karena
aku ingin menculik kau untuk menakuti gadis-gadis.”
Mereka yang mendengar jawaban itu terkejut bukan main.
Alangkah beraninya orang asing itu. Malahan akhirnya beberapa orang menjadi
hampir-hampir tertawa, tetapi ditahannya kuat-kuat, kecuali demang tua itu yang
tampak tersenyum-senyum. Sebaliknya Gagak Ijo menjadi marah bukan kepalang.
Mukanya menjadi merah menyala dan giginya gemeretak. Selama hidup ia belum
pernah dihinakan orang sampai sedemikian, apalagi di hadapan Demang dan
Baureksa. Maka ia tidak mau lagi berbicara, tetapi ia ingin menyobek mulut
Mahesa Jenar yang sudah menghinanya itu. Dengan gerak yang cepat ia meloncat
dan kedua tangannya menerkam wajah Mahesa Jenar.
Orang-orang yang menyaksikan gerak Gagak Ijo itu menjadi
tergoncang hatinya. Mereka telah berpuluh kali melihat ketangkasan Gagak Ijo,
tetapi kali ini gerakannya adalah diluar dugaan. Hal ini terdorong oleh
kemarahannya yang meluap-luap, sehingga semua orang yang menyaksikan menahan
nafas sambil berdebar-debar. Tetapi gerakan ini bagi Mahesa Jenar adalah
gerakan yang sangat sederhana. Bahkan mirip dengan gerak yang tanpa
memperhitungkan kemungkinan yang ada pada lawannya. Untuk menghindari serangan
ini Mahesa Jenar tidak perlu banyak membuang tenaga. Hanya dengan sedikit
mengisarkan tubuhnya dengan menarik sebelah kakinya, Mahesa Jenar telah dapat
menghindari terkaman Gagak Ijo itu. Dengan demikian, karena dorongan
kekuatannya sendiri Gagak Ijo menjadi kehilangan keseimbangan. Dalam keadaan
yang demikian, sebenarnya Mahesa Jenar dengan mudahnya dapat membalas serangan
itu dengan suatu pukulan yang dapat mematahkan tengkuk Gagak Ijo. Tetapi Mahesa
Jenar tahu, kalau dengan demikian akibatnya akan hebat sekali. Karena itu, ia
hanya menyerang Gagak Ijo dengan sentuhan jarinya, untuk mendorong punggung
Gagak Ijo dengan arah yang sama. Gagak Ijo yang memang sudah kehilangan
keseimbangan, segera jatuh tertelungkup mencium tanah.
Mereka yang berdiri mengitari arena pertarungan itu,
mula-mula mengira bahwa akan hancurlah muka orang asing itu diremas oleh Gagak
Ijo. Tetapi ketika mereka menyaksikan kenyataan itu, menjadi sangat terkejut
dan heran. Gagak Ijo itu sendiri malahan yang mencium tanah. Banyak diantara mereka
tidak dapat melihat apa yang sudah terjadi. Tetapi dengan demikian Mahesa Jenar
tambah berhati-hati, sebab ia tahu bahwa apa yang dilakukan Gagak Ijo adalah
diluar kesadarannya, karena terdorong oleh kemarahannya yang memuncak. Sehingga
dalam tindakan selanjutnya, pastilah Gagak Ijo akan memperbaiki kesalahannya.
Gagak Ijo sendiri kemudian merasa bahwa tindakannya kurang diperhitungkan lebih
dahulu. Ia baru sadar ketika hidungnya sudah menyentuh tanah, dan sebentar
kemudian seluruh mukanya. Peristiwa ini adalah memalukan sekali. Tokoh seperti
Gagak Ijo dengan bulat-bulat terbanting di atas tanah tanpa dapat berbuat
sesuatu untuk menahannya. Karena itu ia menjadi semakin marah. Hatinya menjadi
seperti terbakar dan matanya merah menyala-nyala. Seluruh tubuhnya menggigil
seperti orang kedinginan. Tetapi setelah mengalami kejadian tersebut, ia tidak
berani menyerang dengan membabi buta. Karena itu, ketika ia mulai menyerang
lagi, ia berbuat lebih hati-hati. Dengan kecepatan yang tinggi, ia menyerang
dengan kakinya ke arah perut Mahesa Jenar. Tetapi dengan cepat pula serangan
ini dapat dihindari, dan sebelum Gagak Ijo dapat berdiri tegak kembali, Mahesa
Jenar telah membalas menyerang dadanya. Tetapi Gagak Ijo cukup waspada.
GAGAK IJO membuat gerakan setengah lingkaran ke belakang
untuk menghindari serangan Mahesa Jenar. Bersamaan dengan itu, kakinya
menyambar tangan Mahesa Jenar. Mahesa Jenar cepat-cepat menarik serangannya,
dan secepat itu pula tangannya yang lain menyentuh kaki Gagak Ijo itu ke atas.
Sekali lagi Gagak Ijo kehilangan keseimbangan, dan kali ini ia jatuh
terlentang. Dengan gugup Gagak Ijo berguling dan kemudian berusaha tegak
kembali. Sementara itu Mahesa Jenar telah jemu dengan permainan ini. Ia ingin
segera mengakhirinya. Maka ketika Gagak Ijo hampir berhasil menegakkan dirinya,
seperti sambaran kilat telapak tangan Mahesa Jenar melekat di dada Gagak Ijo.
Meskipun Mahesa Jenar hanya mempergunakan tenaga dorong yang tidak seberapa,
tetapi akibatnya hebat sekali. Nafas Gagak Ijo mendadak serasa berhenti, dan
pandangannya menjadi kuning berkunang-kunang. Meskipun dengan susah payah, ia
mencoba untuk menahan diri, tetapi perlahan-lahan ia terjatuh kembali. Ia
terduduk di tanah dengan nafas tersenggal-senggal, sedangkan kedua tangannya
berusaha untuk menahan berat badannya. Orang-orang yang melihat pertandingan
itu berdiri tanpa berkedip. Gagak Ijo termasuk orang yang dikagumi di desa itu.
Tetapi Mahesa Jenar dengan mudahnya dapat menjatuhkannya. Ilmu macam apakah
yang dimilikinya?
Belum lagi mereka sempat berpikir lebih banyak, mereka
dikejutkan oleh gertak Baureksa yang gemuruh seperti membelah langit. Ketika ia
menyaksikan Gagak Ijo, orang kepercayaannya dipermainkan orang asing itu,
hatinya menjadi panas. Meskipun di antara kemarahannya itu terselip pula
perasaan was-was. Ternyata orang yang dianggapnya barang mainan itu, adalah
barang mainan yang mahal. Itulah sebabnya maka sebelum mengadu tenaga, Baureksa
akan berusaha untuk mengurangi kegesitan lawannya dengan melukainya lebih
dahulu. Cambuknya yang besar dan panjang dengan potongan-potongan besi, batu
dan tulang-tulang itu diputarnya di atas kepala sampai menimbulkan suara
berdesing-desing. Mahesa Jenar kini harus benar-benar waspada. Suara yang
berdesing-desing itu sedikit-banyak dapat menunjukkan kira-kira sampai di mana
kekuatan Baureksa. Hanya apakah Baureksa dapat mempergunakan kekuatan serta
tenaganya dengan baik, itulah yang masih perlu diuji.
Orang-orang yang menyaksikan menjadi semakin berdebar-debar.
Apalagi ketika mereka melihat Baureksa akan mempergunakan senjatanya, maka
menurut pikiran mereka, sedikit kemungkinannya Mahesa Jenar dapat menyelamatkan
diri. Cambuk Baureksa yang berputar-putar itu, cepat sekali menyambar leher
Mahesa Jenar, tetapi secepat itu pula Mahesa Jenar membungkuk menghindari,
sehingga cambuk itu tidak mengenai sasarannya. Baureksa yang merasa serangannya
gagal menjadi semakin marah. Dengan cepat ia mengubah arah cambuknya dan dengan
mendatar ia menyerang arah dada. Mahesa Jenar sadar bahwa dalam jarak yang agak
jauh sulit baginya untuk menghindari serangan-serangan cambuk Baureksa yang
cukup cepat dan keras. Karena itu sebelum cambuk Baureksa sempat mengenainya,
Mahesa Jenar dengan gerakan kilat meloncat maju, dekat sekali di samping
Baureksa, dan menggempur tangan Baureksa yang memegang senjata itu. Gempuran
itu terasa hebat sekali dan tak terduga-duga. Terasa tulang-tulang Baureksa
gemertak. Perasaan sakit serta panas menyengat-nyengat, tidak hanya pada bagian
yang terkena, tetapi seakan-akan menjalar sampai ke ubun-ubun. Cambuknya segera
terlepas dan melontar jauh.
Baureksa sama sekali tidak mengira bahwa hal yang semacam
itu bisa terjadi. Karena itu sama sekali ia tak dapat memberikan perlawanan,
dan membiarkan cambuknya terlontar. Mengalami hal semacam itu, meskipun
terpaksa menahan sakit, Baureksa menjadi bertambah kalap. Ia mengumpulkan
segenap tenaganya dan ingin menebus malunya dengan mematahkan leher lawannya.
Dengan sekuat tenaga ia menyembunyikan rasa sakitnya, sehingga Mahesa Jenar tak
dapat mengukur akibat gempurannya dengan pasti. Baureksa cepat-cepat menarik
diri untuk segera bersiap-siap menyerang, sedangkan Mahesa Jenar pun telah
bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Kembali Baureksa menyerang lawannya
ke dua arah sekaligus. Tangan kanannya menyodok perut, sedangkan tangan kirinya
menghantam pelipis. Mendapat serangan ini Mahesa Jenar segera merendahkan diri
serta memutar tubuh. Tetapi ketika Baureksa melihat bahwa Mahesa Jenar mencoba
menghindar, segera Baureksa mengubah arah serangannya. Cepat-cepat ia menarik
tangannya dan dengan satu gerakan dahsyat ia meloncat dan menendang kepala
lawannya. Mahesa Jenar tidak menduga bahwa Baureksa dapat meloncat secepat itu.
Karena itu ia tidak lagi sempat mengelak.
Sebenarnya Mahesa Jenar masih akan menghindari
bentrokan-bentrokan secara langsung, sebab sampai sekian ia masih belum dapat
menjajagi sampai di mana kekuatan Baureksa yang sebenarnya. Tetapi kali ini, ia
harus melawan serangan kaki Baureksa itu. Maka untuk tidak mengalami hal-hal
yang tidak dikehendaki atas dirinya, terpaksa Mahesa Jenar mempergunakan
sebagian besar dari tenaganya yang dipusatkan pada siku tangan kanannya. Ia
merendah sedikit sambil memiringkan tubuhnya. Maka, terjadilah suatu benturan
yang hebat antara kaki Baureksa dengan siku tangan Mahesa Jenar. Akibatnya
hebat pula. Baureksa ternyata telah mengerahkan seluruh tenaganya, dan ketika
ia melihat bahwa Mahesa Jenar tidak sempat mengelakkan serangannya, ia sudah
memastikan bahwa orang asing itu akan terpelanting dan tidak akan dapat bangun
kembali. Tetapi dugaan itu ternyata meleset sama sekali. Ketika kaki Baureksa
yang sudah mengerahkan seluruh tenaganya itu menyentuh siku tangan Mahesa
Jenar, Baureksa merasa bahwa kakinya seolah-olah menghantam dinding batu yang
keras sekali. Dan kini tulang-tulang kakinyalah yang bergemeretakan, sedangkan
ia terpental oleh kekuatannya sendiri dan dengan kerasnya terbanting di tanah,
sehingga tidak sadarkan diri.
Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu, serentak hatinya
bergetar, sampai beberapa orang menggigil karena tegang. Beberapa orang tidak
dapat mengikuti dengan pandangan matanya tentang apa yang terjadi. Yang mereka
ketahui hanyalah Baureksa terbanting di tanah hingga pingsan. Demang Pananggalan, demikian nama Demang tua
itu, hatinya menjadi cemas menyaksikan pertempuran itu. Sebab kalau sampai
terjadi sesuatu hal, dia lah yang harus bertanggungjawab. Cepat-cepat ia
mendekati Baureksa yang sedang pingsan. Dirabanya seluruh tubuhnya. Ia menjadi
terkejut sekali ketika tangannya meraba kaki Baureksa yang membentur siku
Mahesa Jenar. Kaki itu terasa dingin sekali dan di beberapa bagian terasa
adanya luka dalam yang berbahaya bila tidak lekas-lekas mendapat pertolongan.
Orang-orang yang berkerumun menjadi terdiam seperti patung. Mereka tidak tahu
lagi bagaimana harus menilai kehebatan orang asing itu, yang dengan
bermain-main saja telah dapat mengalahkan Gagak Ijo dan kemudian sekaligus
Baureksa.
SEMENTARA itu Baureksa dan Gagak Ijo telah diangkat orang ke
dalam sambil menunggu Ki Asem Gede. Kini perhatian orang seluruhnya tertumpah
kepada Mahesa Jenar yang masih belum bergeser dari tempatnya. Hanya sebentar
mereka melirik juga kepada Demang Pananggalan, sambil bertanya-tanya di dalam
hati, apakah seterusnya yang akan diperbuat oleh demang tua itu? Sebenarnya
pada saat itu Demang Pananggalan telah mengambil keputusan untuk mempersilahkan
Mahesa Jenar masuk ke rumah kademangan dan memberikan keterangan-keterangan.
Tetapi segera keadaan menjadi tegang kembali ketika seseorang dengan langkah yang
tegap dan tenang memasuki gelanggang.
“Kakang Demang,” kata orang itu dengan nada yang berat
berwibawa,
“perkenankanlah aku memperkenalkan diri terhadap orang asing
ini.”
Alangkah terkejutnya Demang Pananggalan melihat orang itu
memasuki gelanggang. Ia menjadi kebingungan, sebab sama sekali ia tidak menduga
bahwa persoalannya akan berlarut-larut. Orang itu adalah pemimpin pasukan yang
menangkap Mahesa Jenar tadi, dan ia adalah adik kandung demang tua itu.
Beberapa kali adik kandungnya yang bernama Mantingan itu menyatakan
ketidaksenangannya atas sikap Baureksa yang sering adigang-adigung-adiguna. Dan
mendadak ia ingin membelanya. Melihat kebingungan dan keragu-raguan Demang
Pananggalan, Mantingan menyambung,
“Aku tidak akan membela seseorang, Kakang. Tetapi aku tidak
mau orang lain menyangka betapa lemahnya kademangan ini. Kami tidak tahu
siapakah orang asing itu. Syukurlah kalau ia bermaksud baik, tetapi kalau orang
itu ingin menjajagi kekuatan kita, alangkah berbahayanya. Sedangkan keterangan
yang diberikan bukanlah berarti suatu kebenaran yang harus kita percaya
demikian saja.”
“Tetapi maksudku bukan kau, Mantingan,” kata demang itu
tergagap. Sebab ia tahu bahwa adiknya adalah orang yang berilmu. Ia adalah
orang yang lebih hebat daripada dirinya sendiri. Ia adalah murid kedua Ki Ageng
Supit di Wanakerta.
Mantingan adalah seorang dalang yang secara kebetulan sedang
mengunjungi kampung halamannya, yang baru saja didatangi oleh gerombolan yang
menculik gadis-gadis. Dan Mantingan diminta untuk sementara tetap tinggal,
kalau ada kemungkinan gerombolan penculik itu datang kembali. Tetapi saat itu
Mantingan seperti tidak mendengar kata-kata kakaknya. Ia segera menyerahkan
trisulanya kepada orang terdekat yang dengan gugup menerima senjata itu tanpa
kesadaran.
“Ki Sanak,” kata Mantingan kepada Mahesa Jenar dengan sopan,
“aku belum pernah bertemu dengan kau sebelumnya dan juga
belum pernah mempunyai suatu persoalan apapun. Tetapi tadi kau telah
mempertunjukkan ketangkasan dan ketangguhanmu. Maka perkenankanlah aku sekarang
mencoba untuk melayanimu dengan sedikit pengetahuan yang aku miliki.”
Mahesa Jenar sibuk menduga-duga dalam hati. Orang ini
sikapnya agak berbeda dengan orang lain yang berada di situ. Menilik sikapnya,
sudah seharusnya kalau Mahesa Jenar lebih berhati-hati melawannya.
“Dan sekarang,” sambung Mantingan,
“awaslah… aku mulai.”
Dan sesudah itu, benar-benar ia mulai menyerang. Langkahnya
tetap ringan. Ia membuka serangannya dengan kaki, sedangkan kedua tangannya
bersilang melindungi dada. Melihat serangan ini, Mahesa Jenar terkejut. Ia
kenal gerakan pembukaan ini. Ketika orang itu dipanggil namanya, sama sekali ia
tidak menduga bahwa orang itu pulalah yang berdiri di hadapannya. Bahkan sedang
mengadu tenaga dengan dirinya. Ia adalah Dalang Mantingan dari Wanakerta, murid
Ki Ageng Supit. Ia sering mendengar nama itu. Bahkan pernah tersebar khabar di
Demak bahwa Dalang Mantingan seorang diri dapat menangkap tiga saudara perampok
dari Jarakah, di kaki Gunung Merapi, yang dikenal dengan satu nama: Samber Nyawa.
Gerak pembukaan ini jelas berasal dari Ki Ageng Supit, yang
meskipun belum setaraf dengan gurunya tetapi Ki Ageng Supit juga mempunyai nama
yang dikagumi.
Tetapi Mahesa Jenar tidak sempat berpikir banyak. Sebab ia
segera sibuk melayani lawannya, yang bergerak menyambar-nyambar dengan
gerakan-gerakan yang cukup tangguh. Akhirnya Mahesa Jenar tidak dapat hanya
bersikap mengelak dan menghindar saja. Ia tidak bisa hanya bersikap
mempertahankan diri saja. Untuk mengurangi kebebasan gerak lawannya, ia harus ganti
menyerang. Serangan Ki Dalang Mantingan semakin lama menjadi semakin hebat
pula. Tangannya bergerak-gerak dengan cepat dibarengi gerak kakinya yang ringan
cekatan. Sekali tangan Mantingan itu sudah berubah menyambar kening. Tetapi
Mahesa Jenar adalah bekas prajurit pengawal raja, dan ia adalah murid Pangeran
Handayaningrat yang juga disebut Ki Ageng Pengging Sepuh. Untuk melawan
Mantingan, sengaja Mahesa Jenar mempergunakan tanda-tanda khusus dari
perguruannya, sebab jelas bahwa perguruannya mempunyai beberapa persamaan
dengan gerak-gerak yang dilakukan oleh Mantingan. Segera Mantingan pun dapat
pula mengenal tata berkelahi Mahesa Jenar yang juga seperti ilmunya sendiri,
mempunyai sumber yang sama. Yaitu peninggalan almarhum Bra Tanjung, yang
diwarisi oleh Raden Alit yang sedikit bercampur dengan gerak-gerak penyerangan
yang mantap dari Lembu Amisani. Tetapi yang ia tidak tahu dari manakah Mahesa
Jenar mempelajari tata berkelahi itu, yang memiliki banyak perubahan dan
penyempurnaan-penyempurnaan dengan gabungan-gabungan yang tepat dan berbahaya.
Itulah sebabnya Mantingan harus berhati-hati benar dan memeras segala
kepandaiannya untuk memenangkan pertandingan ini.
KETIKA Mantingan berhasrat untuk cepat-cepat mengakhiri
pertandingan ini, ia memusatkan segala tenaga dan pikiran untuk kemudian
sebagai angin ribut melanda lawannya.
“Hebat …!” pikir Mahesa Jenar ketika ia menerima serangan
bertubi-tubi dari Mantingan.
“Memang perguruan Wanakerta memiliki keistimewaan yang tak
dapat diabaikan.”
Kemudian terpaksa ia membuat beberapa langkah surut. Tetapi
Ki Dalang Mantingan tidak menyia-nyiakan tiap kesempatan. Cepat ia maju dengan
melancarkan gempuran-gempuran hebat. Rupa-rupanya Ki Dalang Mantingan menjadi
agak gusar ketika serangan serangannya tidak segera dapat mengenai lawannya,
bahkan lawannya itu dapat pula mendesaknya. Karena itu gerakan-gerakan serta
serangan-serangannya menjadi bersungguh-sungguh. Ia tidak mau mengorbankan
namanya seperti Gagak Ijo dan Baureksa.
Demang Panggalan menjadi semakin cemas dan bingung. Ia tidak
menghendaki orang asing yang belum diketahuinya benar-benar asal-usulnya itu
mendapat cedera, sebab tidak mungkin ia berdiri sendiri. Apalagi kalau
benar-benar ia orang Istana Demak. Tetapi disamping itu, Demang Pananggalan
sangat sayang kepada adiknya, dan ia sama sekali tidak rela kalau adiknya
mengalami hal-hal yang tidak diharapkan, baik tubuhnya maupun namanya.
Sementara itu pertarungan menjadi semakin sengit. Serangan-serangan Mantingan
menjadi semakin dahsyat dan ia sudah hampir kehilangan pengamatan diri sehingga
geraknya tak terkekang lagi. Ketika serangannya yang dilancarkan dengan kedua
tangannya sekaligus mengarah ke sasaran yang berbeda dapat dihindari oleh
Mahesa Jenar, cepat ia mengubah serangan itu dengan serangan berikutnya, dengan
kaki yang mengarah ke perut Mahesa Jenar. Melihat perubahan itu Mahesa Jenar
terpaksa meloncat mundur.
Tetapi Mantingan rupa-rupanya sudah bertekad untuk
memenangkan pertempuran itu dengan segera. Maka, demikian Mahesa Jenar meloncat
mundur, disusulnya pula dengan kaki yang lain setelah ia memutarkan tubuhnya
setengah lingkaran atas kaki yang pertama. Rupa-rupanya Mahesa Jenar sama
sekali tidak menduga bahwa serangan-serangan Mantingan akan sedemikian
bertubi-tubi datangnya, sehingga terasalah tumit Mantingan mengenai
pinggangnya. Gempuran ini demikian hebat sehingga tubuh Mahesa Jenar bergetar
dan hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Meskipun tubuh Mahesa Jenar sudah
cukup terlatih serta mempunyai daya tahan yang kuat, namun terasa juga bahwa
tumit yang mengenai pinggangnya itu menimbulkan rasa sakit. Kena tendangan ini,
hati Mahesa Jenar menjadi agak panas juga. Karena itu ia berketetapan hati
untuk melayani Ki Demang Mantingan dengan lebih bersungguh-sungguh lagi. Maka
segera geraknya berubah menjadi semakin cepat dan keras. Ia membalas setiap
serangan dengan serangan pula. Dan ia sama sekali tidak mau tubuhnya disakiti
oleh lawannya lagi.
Ki Dalang Mantingan terkejut melihat perubahan tendangan
lawannya. Maka segera ia sadar bahwa orang yang dilawannya itu berilmu tinggi.
Tetapi segala sesuatunya telah terlanjur. Satu-satunya kemungkinan baginya
adalah, lawannya menghendaki pertempuran itu akan berlangsung mati-matian. Dan
memang sebenarnyalah demikian. Serangan-serangan Mahesa Jenar berikutnya datang
bertubi-tubi seperti ombak yang bergulung-gulung menghantam pantai.
Bagaimanapun kukuhnya batu-batu karang tebing, namun akhirnya segumpal demi
segumpal berguguran jatuh juga ke laut. Dalang Mantingan mengeluh di dalam
hati. Sebagai seorang yang telah banyak mempunyai pengalaman, ia merasa bahwa
lawannya memiliki kepandaian yang lebih tinggi. Dan yang kemudian terjadi
adalah, Ki Dalang Mantingan mulai tampak terdesak. Bagaimanapun ia berusaha,
kini ia terpaksa untuk bertahan saja. Ia sama sekali tidak berkesempatan untuk
menyerang. Bahkan beberapa kali ia telah dapat dikenai oleh lawannya, meskipun
tidak di tempat-tempat yang berbahaya. Tubuh Mantingan terasa nyeri sekali.
Meskipun demikian ia bukanlah Mantingan kalau sampai ia menyerah.
Demang Pananggalan semakin kebingungan. Ia segera melihat
kesulitan adiknya. Bagaimanapun, ia mempunyai perasaan tidak rela melihat hal
yang demikian itu berlangsung. Mantingan yang dibangga-banggakan seluruh
penduduk Kademangan, sekarang akan dikalahkan oleh orang asing di hadapan
penduduknya sendiri. Karena itu hampir di luar sadarnya ia meloncat maju.
Meskipun umurnya sudah lanjut dan tidak sekuat Mantingan, namun karena
pengalamannya maka Demang tua ini nampaknya berbahaya juga. Langsung ia
menyerang Mahesa Jenar dengan gerakan-gerakan yang tak terduga-duga untuk
mengurangi tekanannya pada Mantingan. Maka segera Mahesa Jenar menjadi sibuk
berpikir, apakah maksud yang sebenarnya dari Demang tua ini. Penduduk yang
mengitari pertarungan itu dengan asyiknya menyaksikan gerak masing-masing
dengan keheran-heranan, sebagai suatu hal yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Mendadak mereka terkejut sekali melihat Demang terjun langsung ke arena. Mereka
serentak merasa bangun dari sebuah mimpi yang dahsyat. Dalam hal yang demikian,
bagaimanapun hebatnya lawan, mereka merasa wajib membela pemimpin mereka
meskipun harus menyerahkan nyawanya.
Serentak mereka menggenggam senjata masing-masing makin
erat. Sedangkan beberapa orang yang berdiri di baris paling depan sudah mulai
bergerak. Mahesa Jenar segera melihat kesulitan yang bakal datang. Karena itu
ia semakin waspada. Ia mulai menghimpun kekuatan-kekuatannya untuk membuat
gempuran-gempuran terakhir, meskipun hal itu dilakukan dengan berat hati. Ia
sama sekali tidak menduga, bahwa ia harus terlibat dalam masalah yang sama
sekali tak diketahui sebab-sebabnya. Tetapi bagaimanapun, ia tidak mau
dijadikan bulan-bulanan dari peristiwa-peristiwa yang tak diketahui ujung-
pangkalnya itu. Tiba-tiba ketika keadaan sudah sedemikian memuncaknya, halaman
itu digetarkan oleh sebuah teriakan nyaring.
“Adi Pananggalan dan Adi Mantingan, apa yang terjadi?”
<<<prolog cerita bagian 02 >>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar