LAWA IJO mendengus pendek. Sambil menggeleng ia berkata,
“Sama sekali tidak, kawan. Tetapi seperti yang kau katakan
tadi, bahwa yang aku hadiahkan kepadamu hanyalah gadis itu saja. Dan
sekehendakmulah kalau yang lain-lain akan kau bunuh. Tetapi orang ini tidak.
Sebab aku sendirilah yang akan membereskannya.”
Mendengar ucapan Lawa Ijo itu, wajah Jaka Soka menjadi
semakin menyala. Giginya gemeretak dan tubuhnya menggigil menahan marah. Dengan
suara gemuruh ia menjawab,
“Aku bukan perempuan yang perlu perlindungan laki-laki. Buat
apa aku menerima hadiah dari seekor kelelawar busuk seperti tampangmu itu? Lawa
Ijo… jangan coba merendahkan aku.”
Meskipun wajah Lawa Ijo nampaknya jauh lebih buas dari wajah
Jaka Soka yang tampan itu, namun ternyata kepala Lawa Ijo agak lebih dingin.
Karena itu ia sama sekali tidak menunjukkan kegusarannya mendengar kata-kata
Jaka Soka itu. Bahkan ia masih menjawab dengan tenang meskipun tampak pula
kegarangannya.
“Jaka Soka, aku tidak peduli atas tanggapanmu terhadap
permintaanku. Serahkan orang itu kepadaku. Sebab aku mempunyai urusan yang
lebih penting dari urusanmu. Urusanku menyangkut nama baik dan harga diri
perguruanku, sedang urusanmu hanyalah urusan perempuan itu saja.”
Oleh keterangan Lawa Ijo yang terakhir itu, nyala kemarahan
Jaka Soka menjadi surut.
Sedang pancaran matanya yang berapi-api itu pun segera redup
dan membayangkan keheranan. Tanyanya kemudian,
“Kau katakan bahwa kau mempunyai urusan dengan orang ini
perkara perguruanmu?”
Lawa Ijo mengangguk.
Jaka Soka menjadi bertambah heran. Dan tanpa disengaja ia
memandang Mahesa Jenar. Baru sekarang ia memperhatikan lawannya itu dengan
saksama. Tubuhnya tegap kekar. Dadanya bidang. Meskipun ia berwajah lunak,
tetapi pandangan matanya memancarkan kecermelangan pribadinya.
“Pantas bahwa aku tak dapat menjatuhkannya. Siapakah orang
ini?” pikir Jaka Soka.
Pertanyaan itu demikian saja meluncur dari mulut Jaka Soka.
Dan sekaligus semua telinga yang berada di sekitar arena itu
segera memperhatikan. Sebab pertanyaan yang demikian itu timbul pula di setiap
hati orang menyaksikan pertempuran itu. Bahkan diantara mereka telah timbul
harapan baru, setelah mereka menyaksikan kridha orang yang mereka anggap tidak
lebih dari seorang perantau. Lebih-lebih sepasang suami-istri yang telah merasa
terlanjur menyuruh orang itu membawakan beban mereka. Maka semua perhatian pada
saat itu tertambat pada mulut Lawa Ijo yang akan menjawab pertanyaan Jaka Soka.
Sementara itu terdengarlah Lawa Ijo tertawa pendek. Kemudian
barulah ia menjawab,
“Jaka Soka… jangan kau terkejut kalau aku mengucapkan nama
orang ini. Ia adalah orang yang telah membunuh adik seperguruanku kemarin lusa.
Watu Gunung. Dan yang tidak akan pernah aku lupakan, orang ini pernah pula
melukai bagian dalam dadaku.”
Berdebarlah setiap jantung mereka yang mendengar kata-kata
ini. Pastilah orang ini bukan orang sembarangan. Tidak terkecuali Jaka Soka.
Sudah sejak lama ia mengenal Lawa Ijo. Dan pernah pula ia berkelahi melawan
orang ini. Tetapi tak pernah salah seorang dari mereka berdua dapat mengatasi
yang lain. Kalau orang ini pernah melukai Lawa Ijo pastilah ia memiliki
kesaktian yang tinggi.
Kemudian terdengarlah Lawa Ijo melanjutkan kata-katanya,
“Sayang bahwa ia tidak bersikap perwira. Ia menyerang aku
pada saat aku sedang meloncat turun dari atap gedung perbendaharaan istana
Demak.”
Hati Mahesa Jenar melonjak mendengar sindiran Lawa Ijo. Ia
sama sekali tak mau menerima keterangan itu. Sebab pada saat ia menyerang Lawa
Ijo, ia sedang berusaha untuk melindungi Gadjah Alit yang justru diserang oleh
Lawa Ijo dengan sikap yang tidak perwira. Kecuali Lawa Ijo tidak menyerang dari
depan, juga pada saat itu Gadjah Alit sedang dikerubut oleh tiga orang. Tetapi
meskipun demikian ia tidak merasa perlu melayani fitnah itu. Karena itu ia diam
saja.
Dalam pada itu, Jaka Soka pun segera teringat bahwa memang
Lawa Ijo pernah bercerita kepadanya, tentang luka yang dideritanya pada saat ia
berusaha memasuki gedung perbendaharaan di Demak. Karena itu sebelum Lawa Ijo
menyebut nama Mahesa Jenar, ia mendahului berteriak,
“Lawa Ijo, kalau demikian inikah orangnya yang bernama
Mahesa Jenar dan bergelar Rangga Tohjaya yang terkenal itu?”
Mendengar nama itu tergetarlah perasaan mereka yang pernah
mengenal kebesarannya. Lebih-lebih para pengawal dan para pedagang yang datang
dari pesisir utara. Tetapi dalam pada itu, dalam dada masing-masing
terbersitlah semacam harapan baru yang menjadi semakin teguh, bahwa jiwa mereka
akan tertolong. Karena itu menjadi semakin besarlah hati mereka. Selain itu para
pengawal kemudian telah bersiap pula terjun ke dalam pertempuran seandainya
Lawa Ijo dan Jaka Soka akan bersama-sama menyerang Rangga Tohjaya.
Tetapi rupanya Lawa Ijo tidak akan berbuat demikian.
“Jaka Soka, karena itulah aku minta kerelaanmu untuk membuat
perhitungan dengan Rangga Tohjaya ini. Sebab aku mempunyai dugaan, bahwa ia pun
sedang mencari aku. Maka sebaiknya kami tidak menyia-nyiakan pertemuan ini,”
kata Lawa Ijo.
Sekarang, setelah mengerti persoalannya, Jaka Soka tidak
lagi merasa direndahkan oleh Lawa Ijo. Ia pun menganggap bahwa sikap Lawa Ijo
yang demikian itu adalah wajar. Karena itu ia menjawab,
“Sekehendakmulah Lawa Ijo. Sebab daerah ini adalah daerahmu.
Tetapi urusan gadis itu akan tetap menjadi urusanku, meskipun aku akan menunggu
sampai kau selesai. Kalau kau tak berhasil dalam usahamu untuk membalaskan
dendam adikmu, aku akan juga membuat perhitungan dengan orang ini. Sebab ia
dengan sengaja telah mempermainkan aku ketika ia bersama-sama dengan para
pengawal yang mengerubut aku.”
“Bagus. Sekarang minggirlah,” desis Lawa Ijo.
Sesudah itu maka Lawa Ijo menghadap ke arah Mahesa Jenar.
Matanya yang sudah memancarkan kekejaman serta kebengisan itu menjadi bertambah
mengerikan.
“Tohjaya, bersiaplah. Aku akan membuat perhitungan,” ujar
Lawa Ijo geram.
Mahesa Jenar tak menjawab sepatah kata pun. Mulutnya
terkatup rapat, tetapi ia maju beberapa langkah mendekati Lawa Ijo dengan sikap
yang meyakinkan dan penuh kepercayaan pada diri sendiri.
SEMENTARA itu langit telah menjadi semakin cerah. Angin pagi
yang bertiup lambat-lambat menggoyangkan daun-daun pepohonan dan membuat suara
berdesir diantara cabang-cabangnya. Suaranya merintih, seolah-olah suara lagu
yang mengiringi ratapan hati setiap orang yang menyaksikan permainan maut
antara Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tohjaya dengan Lawa Ijo. Dua orang
yang sama-sama terkenal dari aliran yang berlawanan, yang pada saat itu sedang
mengadakan perhitungan hutang pihutang nyawa.
Namun betapa moleknya wajah pagi, tak seorang pun yang
berada di sekitar arena pertempuran itu sempat memperhatikan. Bahkan tak seekor
burung pun di tempat itu yang sempat berkicau menyambut datangnya matahari.
Seperti Jaka Soka, Lawa Ijo pun tak akan merendahkan dirinya
melawan Mahesa Jenar dengan mempergunakan senjata. Tetapi setelah ia
mengembalikan tongkat hitam Jaka Soka, ia tidak menitipkan belati panjangnya,
melainkan dengan kekuatan jari-jarinya, belatinya itu dipatahkan, dan kemudian
dilemparkan jauh-jauh. Mau tidak mau, mereka yang menyaksikan pertunjukan itu
hatinya terguncang. Segera setelah itu, maka dengan suatu suitan nyaring, Lawa
Ijo mulai menyerang lawannya. Kedua tangannya direntangkan dan jari-jarinya
siap merobek tubuh lawannya. Dengan suatu loncatan yang dahsyat, ia menyambar
kepala Mahesa Jenar. Mahesa Jenar sadar bahwa apabila serangan ini mengenai
sasarannya, maka ia yakin bahwa kepalanya akan dapat berlubang sedalam jari.
Sebelum ini, Mahesa Jenar pernah bertempur dengan Lawa Ijo, karena itu ia tidak
dapat mengira-ngirakan kekuatannya, meskipun ia yakin bahwa selama ini pastilah
Lawa Ijo telah mendapat tambahan yang tidak sedikit.
Melihat serangan Lawa Ijo yang dahsyat itu, segera Mahesa
Jenar merendahkan dirinya, tetapi sekaligus dengan tangannya ia menyerang perut
lawannya dengan empat jari. Sebenarnya Lawa Ijo sadar bahwa serangannya yang
pertama pasti tak akan mengenai sasarannya. Karena itu ia selalu waspada,
sehingga ketika ia melihat serangan Mahesa Jenar, dengan tangkasnya pula ia
menghindarkan diri. Ia menarik sebelah kakinya ke belakang dan berputar
sedikit. Kemudian sambil merendahkan diri ia menghantam tangan Mahesa Jenar
dengan sikunya. Tetapi Mahesa Jenar tidak mau tangannya disakiti. Ia segera
menarik serangannya dan mendadak ia meloncat setengah langkah surut, tetapi
demikian kakinya menjejak tanah, demikian ia melontarkan dirinya ke samping
Lawa Ijo, dan dengan tumitnya ia menghantam lambung. Lawa Ijo terkejut melihat
gerakan ini. Kaki Mahesa Jenar bergerak demikian cepatnya. Tetapi Lawa Ijo pun
mempunyai cukup pengalaman. Segera ia merendah hampir rata tanah.
Tetapi demikian ia merendah, kakinya secepat kilat menyambar
betis Mahesa Jenar.
Sekarang Mahesa Jenar yang berada dalam keadaan yang sulit,
selagi satu kakinya terangkat. Untunglah bahwa Mahesa Jenar cukup tenang,
sehingga dalam keadaan yang nampaknya demikian sulitnya ia masih sempat
mengelakkan diri. Dengan sebelah kakinya ia menjejak tanah dan meloncat tinggi.
Dengan satu gerakan kakinya, Mahesa Jenar dapat mengubah arah, sehingga
tubuhnya terjatuh kembali beberapa depa dari lawannya. Lawa Ijo menjadi marah
melihat serangan-serangannya yang dilakukan dengan segenap tenaganya itu sama
sekali tak berhasil. Karena itu segera ia pun menyerang kembali dengan
dahsyatnya. Tangannya, dengan sepuluh jari yang kokoh bergerak
menyambar-nyambar dari segala arah. Mereka yang menyaksikan pertempuran itu
berdiri terpaku seperti patung. Hati mereka terpukau oleh pertunjukan maut yang
sedang berlangsung dengan dahsyatnya. Sebentar-sebentar terdengar suara
gemeretak batang-batang kayu yang patah terhantam, baik oleh Mahesa Jenar
maupun oleh Lawa Ijo. Sedang tanah tempat mereka bertempur, seolah-olah telah
berubah sedemikian rupa sehingga menjadi bersih dari segala tumbuh-tumbuhan.
Perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin hebat. Tampaklah betapa hebatnya
mereka berdua. Sampai sekian lama tidak nampak siapakah diantara keduanya yang
lebih unggul. Lawa Ijo bertempur dengan penuh dendam akan pembalasan, sedangkan
Mahesa Jenar bertempur dengan suatu tekad yang telah bulat pula, melenyapkan
kejahatan sampai ke akarnya. Demikian dahsyatnya pertempuran itu, sehingga
waktu berjalan cepat sekali. Dengan tak terasa, matahari telah miring rendah di
ufuk barat. Seolah-olah sengaja mempercepat jalannya untuk menghindari
kesaksian, bahwa di tengah-tengah hutan Tambak Baya telah terjadi suatu
pergulatan maut yang mengerikan.
Daerah pedalaman hutan yang selamanya tak pernah menerima
cahaya matahari sepenuhnya itu, kini telah kembali suram. Cahaya matahari yang
sudah semakin lemah, tidak mampu lagi menembus sepenuhnya kelebatan daun-daun
pepohonan rimba yang liar dan pekat itu. Dua orang perkasa yang sedang
bertempur mati-matian itu pun nampak tenaganya semakin lama menjadi semakin
kendor. Mereka berdua adalah orang-orang yang memiliki ketahanan jasmaniah yang
luar biasa. Baik Mahesa Jenar maupun Lawa Ijo memang pernah mengalami
pertempuran sampai berhari-hari. Kali ini mereka telah mengerahkan segala
tenaga mereka. Setelah hal itu berlangsung hampir sehari penuh, terasalah bahwa
kemampuan mereka mulai menurun. Dalam hal ini, yang lebih merasa gelisah adalah
Lawa Ijo. Perasaannya dibebani oleh dendam yang tiada taranya. Sejak dirinya
dilukai di halaman Kraton Demak, ia sudah berjanji di dalam hatinya, bahwa pada
suatu saat ia harus membinasakan orang yang telah melukainya itu. Ditambah
lagi, orang itu pula yang telah membunuh adik seperguruannya. Karena itu tidak
ada pilihan lain kecuali menghancurlumatkan orang ini. Tetapi ternyata, setelah
sekian lama ia merendam diri serta mencecap ilmu gurunya yang sakti, Pasingsingan,
dengan penuh semangat, namun sudah sehari ia bertempur masih belum ada
tanda-tandanya bahwa ia akan dapat mengalahkan lawannya, apalagi membinasakan.
Karena itu ia menjadi tidak sabar lagi. Tujuannya hanyalah secepat mungkin
membinasakan Rangga Tohjaya. Dengan demikian barulah ia merasa puas.
Untuk mencapai maksudnya itu, Lawa ijo meloncat mundur
beberapa langkah dari lawannya. Secepat kilat tangannya mengambil sebuah
kantong kecil di ikat pinggangnya. Segera cincin pemberian gurunya itu
dikenakan di jari tangan kanannya. Tampaklah bahwa cincin itu bermata batu akik
merah menyala. Itulah batu akik yang dinamai Kelabang Sayuta. Bentuk akik
Kelabang Sayuta tidaklah seperti kebiasaan batu-batu akik yang diasah halus,
tetapi batu ini permukaannya kasar dan bahkan bergerigi tajam. Mahesa Jenar
tertegun melihat lawannya mengenakan cincin. Pasti itu bukan sembarang cincin.
Tetapi belum lagi ia sadar benar Lawa Ijo telah meloncat menyerangnya dengan
garang. Lawa Ijo telah mengerahkan segenap sisa tenaganya yang terakhir. Mahesa
Jenar terkejut diserang secara demikian. Lawa Ijo ternyata tidak lagi
mempergunakan perhitungan, melainkan asal saja ia membenturnya. Secepat kilat
Mahesa Jenar menghindar ke samping, tetapi seperti orang gila Lawa Ijo
menerjangnya kembali. Demikian terjadi beberapa kali. Dalam keadaan yang
demikian, sebenarnya banyaklah kesempatan bagi Mahesa Jenar untuk memukul Lawa
Ijo. Meskipun demikian ia masih belum mempergunakan kesempatan itu, sebab ia
masih ingin mengetahui latar belakang dari tindakan-tindakan Lawa Ijo yang aneh
itu. Sebagai seorang yang telah banyak makan garam, seharusnya Lawa Ijo
tidaklah kehilangan akal sampai sedemikian itu.
Tetapi Mahesa Jenar tidak mempunyai kesempatan untuk banyak
menduga-duga maksud lawannya. Sebab Lawa Ijo merangsang semakin hebat. Sehingga
akhirnya terpaksa Mahesa Jenar melayani pula dengan segenap tenaganya. Maka
pertempuran itu menjadi semakin seru dan aneh. Gerak Lawa Ijo menjadi semakin
liar dan seolah-olah membabi buta namun tidak kurang pula berbahayanya.
Akhirnya Mahesa Jenar tak dapat lagi menahan dirinya mengalami tekanan yang
gila, kasar dan liar itu. Karenanya, ketika ia melihat suatu kesempatan, maka
segera ia meloncat maju, dan dengan gerakan yang dahsyat ia menghantam pelipis
lawannya. Melihat serangan yang demikian hebatnya, Lawa Ijo sama sekali tak
berusaha menghindarkan diri. Memang kesempatan yang demikianlah yang
ditunggunya setelah sekian lama ia berusaha membentur tubuh lawannya, tetapi
belum berhasil. Dengan mengerahkan segala sisa tenaganya yang ada, Lawa Ijo
melawan dengan sebuah pukulan yang dahsyat pula, menghantam tangan Mahesa
Jenar. Maka terjadilah suatu benturan yang mengerikan. Mulutnya menyeringai
menahan sakit, seolah-olah menjalar ke seluruh bagian tubuhnya. Sendi-sendi
tulangnya seakan-akan copot dari sambungannya. Sesaat pandangannya jadi kabur
berputar-putar. Sementara itu mereka yang menyaksikan perkelahian dahsyat itu,
darahnya serasa berhenti mengalir, ketika mereka melihat keadaan Mahesa Jenar.
Mereka menyaksikan suatu keadaan yang tak terduga-duga. Pada saat terjadi
benturan, tubuh Mahesa Jenar tergetar hebat, sehingga ia terlempar beberapa
langkah dan jatuh terguling pula. Ketika Mahesa Jenar berusaha untuk meloncat
berdiri, tiba-tiba tangan kanannya terasa pedih tak terhingga. Ketika ia
mengamati tangan itu, ternyata terdapat sebuah goresan kecil.
Itulah luka akibat batu akik Kelabang Sayuta.! Seterusnya,
tidak hanya rasa perih itu saja, tetapi tiba-tiba mengalirlah rasa dingin yang
seakan-akan menjalar menurut peredaran darahnya ke seluruh tubuh, sehingga
tubuhnya menjadi gemetar dan seakan-akan beku. Wajah Mahesa Jenar segera
berubah menjadi pucat seputih mayat. Jaka Soka yang selama itu, dengan enaknya
melihat perkelahian itu, menjadi keheran-heranan juga menyaksikan akibat dari
benturan itu. Lama sekali tidak menduga bahwa Mahesa Jenar yang sedemikian
gagahnya, yang sudah bertempur hampir sehari penuh, dapat dirobohkan justru
pada saat ia menyerang dan dibalas dengan sebuah serangan pula. Para pengawal
rombongan, yang merasa telah mendapat perlindungan dalam melakukan tugasnya,
melihat kejadian itu dengan hati yang remuk. Pemimpin pengawal, dengan tidak
menghiraukan keselamatan diri, segera meloncat mendekati Mahesa Jenar yang
masih terduduk dan menggigil hebat. Segera pemimpin pengawal itu berjongkok di
samping Mahesa Jenar sambil meraba-raba tangannya. Tetapi ketika ia menyentuh
tangan Mahesa Jenar itu, alangkah terperanjatnya. Tangan itu dingin seperti
beku dan di beberapa tempat tampaklah semacam bisul-bisul yang baru tumbuh.
Segera pemimpin pengawal yang tua dan berpengalaman itu mengetahui bahwa tubuh
Mahesa Jenar telah terkena racun yang mengerikan. Maka segera ia dapat
memastikan bahwa racun ini pasti berasal dari cincin yang dipakai oleh Lawa
Ijo, yang bermata batu akik merah menyala, yang bernama Kelabang Sayuta.
Sejenak kemudian Lawa Ijo perlahan-lahan dapat menguasai dirinya kembali.
Meskipun masih agak pening, ia sudah dapat berdiri tegak. Maka ketika ia
melihat Mahesa Jenar terduduk di tanah dengan wajah yang pucat, ia menjadi
bergembira. Dan tiba-tiba terdengarlah suara tertawanya yang menakutkan seperti
suara hantu yang memanggil-manggil dari lubang kubur. Semua yang mendengar
suara itu tegaklah bulu romanya. Kekalahan Mahesa Jenar berarti nyawa mereka akan
lenyap. Sebab Jaka Soka telah mengambil keputusan untuk menghilangkan jejak
penculiknya.
HATI pengawal tua yang menahan tubuh Mahesa Jenar yang lemas
itu, juga berdebar. Ia menjadi sangat sedih. Bukan karena takut menghadapi
kematian yang sudah membayang di matanya, tetapi hatinya menjadi pedih sekali
bahwa kemungkinan besar jiwa Mahesa Jenar, seorang pahlawan yang tanpa
menghiraukan dirinya sendiri telah berusaha menyelamatkan rombongan yang
sebenarnya menjadi tanggung jawabnya, tak akan tertolong lagi. Lebih-lebih
ketika diingatnya bahwa Lawa Ijo telah melakukan perbuatan yang curang dan
keji, dengan mempergunakan racun yang keras sekali untuk menumbangkan lawannya.
Maka hati pengawal tua itu serasa menyala dibakar oleh kemarahan. Ia sudah
mengambil keputusan untuk melawan sampai mati. Seperti serangga menjelang api.
Tetapi ketika ia akan bangkit dan melawan dengan mengamuk sejadi-jadinya,
tiba-tiba terasa hawa yang hangat mengalir dalam tubuh Mahesa Jenar. Mahesa
Jenar terkejut, tetapi ia tetap menahan dirinya. Hawa yang hangat itu ternyata
mengalir semakin deras dan bahkan hampir mencapai titik panas tubuh yang wajar.
Timbullah berbagai pertanyaan dalam dirinya. Apakah yang akan terjadi dengan
Mahesa Jenar ini? Sebentar kemudian bahkan panas itu dengan cepat naik
melampaui batas panas tubuh yang biasa. Hal ini menjadikan pengawal tua itu
semakin bingung. Apalagi sampai sekian lama Mahesa Jenar sendiri seolah-olah
pingsan dan tidak bergerak sama sekali.
Memang Mahesa Jenar pada saat itu sedang kehilangan tenaga.
Batu akik Kelabang Sayuta itu mempunyai kekuatan mirip dengan bekerjanya racun.
Bahkan hampir sekuat racun bisa ular Gundala Wereng. Sehingga tubuh yang
dikenainya, meskipun hanya segores kecil, akan menjadi bengkak-bengkak seperti
ditumbuhi oleh beribu-ribu bisul. Kemudian tubuh itu akan lemas dan mengalami
kelumpuhan menyeluruh, dan akhirnya disusul dengan kematian, dalam waktu yang
singkat. Ketika kekuatan akik Kelabang Sayuta itu sedang bekerja didalam tubuh
Mahesa Jenar dengan mengikuti peredaran darah, tiba-tiba terjadilah suatu
benturan yang dahsyat di dalam tubuh itu. Sebab pada saat itu, ketika tersentuh
rangsangan dari luar, bisa ular Gundala Seta yang ada dalam tubuhnya mulai
bekerja pula. Dalam pergolakan itu timbullah panas, sehingga tubuh Mahesa Jenar
menjadi melampaui titik panas yang wajar. Bisa ular Gundala Seta mempunyai
kasiat yang luar biasa. Lebih-lebih ular ini adalah senjata Wisnu untuk melawan
Kala, lambang dari keangkaramurkaan. Maka sedikit demi sedikit bisa ular
Gundala Seta yang memang sudah ada di dalam tubuh Mahesa Jenar itu mendesak
lawannya, menawar racun akik Kelabang Sayuta. Dengan demikian tubuh Mahesa
Jenar menjadi berangsur-angsur baik kembali. Meskipun demikian Mahesa Jenar
adalah orang yang cerdik. Ia tidak segera menunjukkan keadaan itu. Sebab
apabila sampai diketahui bahwa ia berangsur-angsur baik, tidak mustahil Lawa
Ijo akan segera bertindak. Membinasakannya sekaligus. Dalam hal yang demikian
ia masih saja berpura-pura tidak sadarkan diri dan membiarkan tubuhnya ditahan
oleh pengawal tua itu.
Lawa Ijo, dengan dada menengadah, memandang tubuh Mahesa
Jenar. Matanya memancarkan kepuasan hatinya. Ia tertawa berkepanjangan sampai
Jaka Soka membentaknya.
“Hai Kelelawar Hijau yang busuk. Jangan kau tertawa
demikian. Aku bisa jadi pening mendengar suaramu yang memuakkan itu.”
Tetapi Lawa Ijo sama sekali tak mendengarnya. Ia sedang
menikmati kemenangannya.
“Soka, lihatlah…. Orang ini yang diagung-agungkan oleh
prajurit Demak. Di sini ia menjumpai kematian sedemikian nistanya. Dan tak
seorang pun akan sempat menguburnya. Apalagi dengan suatu upacara keprajuritan,
diiringi dengan tunggul-tunggul dan panji-panji. Sebab orang-orang lain pun
segera akan mengalami nasib yang sama karena tanganmu,” kata Lawa Ijo.
Jaka Soka merasa diperingatkan akan tugasnya. Segera ia pun
tersenyum aneh, sedangkan matanya yang redup membayangkan tuntutan maut yang
mengerikan.
“Bagus, Lawa Ijo. Kita akan sama-sama menikmati kemenangan.
Dan tak seorang pun dapat menahan aku membawa gadis cantik itu pulang ke Nusa
Kambangan,” jawab Jaka Soka.
Tetapi sebentar kemudian, kepuasan mereka dipecahkan oleh
suatu kenyataan yang sangat aneh bagi Lawa Ijo. Tak pernah seorang pun yang
dapat melepaskan diri dari kematian, apabila tubuhnya tergores sedikit saja
oleh aji Klabang Sayuta. Tetapi apa yang disaksikan sekarang adalah sama sekali
tidak masuk akal. Ketika Mahesa Jenar merasa bahwa tubuhnya telah pulih
kembali, segera dengan kecepatan gerak laksana kilat menyambar, ia meloncat,
dan tahu-tahu ia sudah berdiri di hadapan Lawa Ijo. Semua yang menyaksikan
hatinya tercekam, seperti melihat mayat yang bangun dari kubur. Bahkan mereka
seolah-olah melihat diri mereka sendirilah yang karena pertolongan Tuhan Yang
Maha Esa telah dibebaskan dari daerah mati. Mahesa Jenar disamping rasa sukur
yang tak terhingga, bahwa lantaran sahabat karibnya, Kiai Ageng Sela, ia telah
menerima anugerah Tuhan yang telah membebaskannya dari pengaruh segala macam
bisa. Namun ia juga menjadi marah bukan kepalang kepada Lawa Ijo. Ternyata Lawa
Ijo yang telah mematahkan pedangnya sendiri dengan jari-jari sewaktu
perkelahian akan dimulai, bukanlah benar-benar seorang jantan. Seperti juga
Watu Gunung, Lawa Ijo sama sekali tidak memperhatikan sikap kejujuran dalam
segala masalah. Wajah Mahesa Jenar berubah menjadi merah membara. Mulutnya
terkatub rapat, tetapi giginya gemeretak. Terhadap orang-orang yang demikian,
tidak lagi ada sikap yang manis. Maka karena marahnya yang meluap-luap, Mahesa
Jenar tidak lagi dapat mengendalikan dirinya sendiri. Sebelum Lawa Ijo sadar
terhadap kejadian itu, Mahesa Jenar telah mengangkat satu kakinya yang ditekuk
ke depan, tangan kirinya disilangkan di atas dadanya, sedangkan tangan kanannya
diangkat tinggi-tinggi. Secepat kilat Mahesa Jenar meloncat maju, dan dengan
sedikit merendahkan diri ia menghantam lambung lawannya dengan ilmunya yang
terkenal, Sasra Birawa.
LAWA IJO melihat segala gerak-gerik lawannya seperti dalam
mimpi. Ia baru sadar ketika tiba-tiba dilihatnya Mahesa Jenar meloncat dekat
sekali di hadapannya, dan tangannya melayang ke arah lambungnya. Tetapi segala
sesuatunya telah terlambat. Terkena pukulan sisi telapak tangan Mahesa Jenar
yang dilambari ilmu Sasra Birawa itu rasanya bagaikan tertimpa seribu gunung
yang runtuh bersama-sama. Demikian Lawa Ijo merasakan kedahsyatan Sasra Birawa,
pandangannya terlempar dengan derasnya seperti anak panah yang terlepas dari
busurnya mengarah tepat ke sebatang pohon raksasa yang berdiri kokoh kuat bagai
benteng baja. Mereka yang menyaksikan peristiwa itu menjadi bingung. Mereka
tidak dapat mengerti perasaan apa yang berkecamuk di kepalanya, seolah-olah
terlepas dari kesadaran diri. Sebab kejadian yang dilihatnya itu adalah hal
yang tak dapat dibayangkan bisa terjadi. Tetapi belum lagi tersadar, telah disusul
pula oleh suatu peristiwa yang lain, yang tidak dapat mereka mengerti pula.
Beberapa orang menjadi sedemikian bingungnya sehingga pingsan. Tubuh Lawa Ijo
yang melayang demikian derasnya dan hampir-hampir membentur sebatang pohon
raksasa itu, tahu-tahu sudah berada dalam dukungan seorang yang berjubah
abu-abu. Tak seorang pun tahu dari mana dan kapan ia datang. Wajah orang itu
sama sekali tidak tampak, karena ia mengenakan topeng yang buatannya kasar dan
jelek. Semua orang memandang orang berjubah itu dengan tubuh gemetar. Dalam
pada itu, tiba-tiba Jaka Soka segera melangkah maju dan dengan hormatnya.
“Paman Pasingsingan, aku menyampaikan hormat
setinggi-tingginya!” kata Jaka Soka kepada orang berjubah itu.
Pasingsingan. Nama itu mendengung kembali di telinga Mahesa
Jenar. Inilah rupanya Guru Lawa Ijo yang telah datang untuk menolong muridnya.
Maka mau tidak mau hatinya tercekam pula.
Ia pernah mendengar kesaktian orang ini dari gurunya. Dan
sekarang, ia telah berhadap–hadapan dengan orang itu dalam keadaan yang tak
menguntungkan.
“Rangga Tohjaya….” Tiba-tiba terdengar Pasingsingan berkata,
tanpa menghiraukan salam Jaka Soka. Suaranya berat, dalam dan tak begitu jelas
seperti bergulung dalam perutnya, karena pengaruh topeng yang dipakainya itu.
“Untunglah Lawa Ijo bukan sembarang orang, sehingga meskipun
ia terluka parah, tetapi aku yakin bahwa ia masih akan dapat hidup,” sambung
Pasingsingan.
Orang itu berhenti sejenak. Matanya yang berada dibalik
topengnya itu memandang Mahesa Jenar dengan tajamnya.
“Hal itu adalah karena pertolonganku. Kalau tidak, ia pasti
sudah binasa terbentur pohon ini. Karena itu, kau aku anggap telah melakukan
pembunuhan atas muridku,” lanjut Pasingsingan.
Kembali hati Mahesa Jenar melonjak. Ia tahu apa arti
kata-kata itu. Dalam hal yang demikian, tiba-tiba ia teringat kepada almarhum
kedua gurunya yang merupakan angkatan yang sama dengan Pasingsingan itu. Kalau
saja mereka masih ada, pasti mereka tidak akan membiarkannya berhadap-hadapan
sendiri. Tetapi sekarang ia seorang diri menghadapinya. Sebagai seorang
prajurit pastilah Mahesa Jenar tidak selalu menggantungkan dirinya kepada orang
lain. Karena itu, meskipun ia tahu, bahwa kekuatannya tak seimbang, ia bertekad
untuk melawan mati-matian. Maka segera kembali ia memusatkan pikiran, mengatur
jalan pernafasannya dan mengumpulkan segala tenaganya pada sisi telapak
tangannya, meskipun ia belum bersikap.
Tiba-tiba terdengarlah Pasingsingan mendengus lewat
hidungnya,
“Hem…, kalau Sasra Birawa itu gurumu yang mempergunakan,
barangkali aku harus berpikir bagaimana menghindarinya. Tetapi kalau hanya kau
yang akan mencobakan pada tubuhku, barangkali sebaiknya aku menyediakan diri
sebelum aku membunuhmu!”
Mendengar kata-kata Pasingsingan itu, mau tidak mau hati
Mahesa Jenar bergetar hebat. Bukan karena ia takut mati. Tetapi kematian yang
demikian pada saat ia diperlukan untuk melindungi suatu rombongan yang akan
binasa, adalah sayang sekali. Tetapi apa boleh buat. Sementara itu tampaklah
Pasingsingan bergerak maju. Ia selangkah demi selangkah mendekati Mahesa Jenar
tanpa meletakkan Lawa Ijo dari dukungannya.
“Tohjaya, kau adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh. Dan kau
telah beruntung mewarisi ilmu saktinya Sasra Birawa. Karena itu lawanlah aku.
Supaya kau mati dengan tangan merentang, bukan mati sebagai seekor lembu yang
disembelih,” kata Pasingsingan.
Mahesa Jenar yang sudah tidak melihat kemungkinan lain
daripada mati, kini seperti sudah tidak mempunyai perasaan lagi. Tak perlu lagi
ada pertimbangan-pertimbangan lain. Maka segera ia pun bersiap untuk menerjang
lawannya, menjelang saat matinya. Sementara itu Pasingsingan berdiri dengan
acuh tak acuh saja seperti tidak akan terjadi sesuatu atas dirinya. Orang-orang
lain yang berada di situ, sudah seperti orang linglung yang tak tahu apa-apa.
Perasaan mereka sudah terbanting-banting beberapa kali sampai hancur. Meskipun
ada diantara mereka yang matanya terbuka dan seolah-olah memandang Mahesa Jenar
dan Pasingsingan berganti-ganti, tetapi mereka tidak mengerti tentang apa yang
dilihatnya. Mereka tidak lagi dapat membayangkan, bahwa sebentar lagi
Pasingsingan akan dapat berbuat sekehendaknya atas Mahesa Jenar tanpa ada yang
dapat merintanginya.
Tetapi sesaat kemudian mereka dikejutkan oleh suara
berdentangnya orang menebang pohon. Ini adalah suatu keanehan baru, sesudah
bertubi-tubi terjadi peristiwa-peristiwa yang aneh berturut-turut. Pada saat
itu, meskipun matahari belum tenggelam, tetapi sinarnya sudah demikian lemahnya
sehingga tidak dapat lagi menembus rimbunnya daun-daun pepohonan rimba,
sehingga di dalam hutan itu sudah menjadi agak gelap. Pada saat yang demikian,
tidaklah biasa seseorang menebang pohon.
APALAGI di tengah hutan Tambakbaya. Orang-orang yang mencari
kayu, baik kayu bakar maupun untuk perumahan, tidak akan menebang kayu di
tengah rimba yang demikian lebatnya. Lebih-lebih tidak jauh dari tempat itu,
baru saja terjadi pertarungan yang dahsyat antara Mahesa Jenar dan Lawa Ijo.
Berkali-kali terdengar Lawa Ijo bersuit atau berteriak nyaring. Mustahil kalau
suara-suara itu tak didengarnya. Tetapi ternyata suara itu terus terdengar.
Bahkan semakin lama semakin jelas. Makin nyatalah, bahwa sumber suara itu tidak
begitu jauh. Yang lebih mengherankan lagi, suara berdentangnya pohon yang
ditebang itu, bagaikan nada-nada lagu yang mempesona. Rupanya Pasingsingan
heran juga mendengar suara itu. Diangkatnya wajahnya yang terlindung dibalik
topengnya dan tampaklah ia mendengarkan suara itu dengan saksama. Dalam keadaan
yang demikian, suasana berubah menjadi sunyi. Suara berdentangnya pohon
ditebang itu menjadi bertambah jelas seakan-akan memenuhi seluruh rimba.
Gemanya bersahut-sahutan disegala arah sehingga amat sulitlah untuk mengetahui
dengan pasti sumber suara itu. Sebentar kemudian suara itu menjadi agak kendor
dan semakin perlahan-lahan pula. Tetapi sementara itu disusullah dengan
mendengungnya suara baru yang juga seharusnya tak mungkin terjadi. Di
tengah-tengah rimba yang liar pekat, dan yang diliputi oleh suasana perkelahian
dan hawa pembunuhan itu, menggemalah sebuah lagu. Dandanggula yang diungkapkan
oleh sebuah suara yang indah. Lagu itu sedemikian mempesona, sehingga semua
orang yang mendengarnya menjadi lupa akan segala-galanya kecuali lagu itu
sendiri. Jaka Soka dan Mahesa Jenar adalah orang yang cukup masak. Tetapi
meskipun demikian tampak juga bahwa mereka dihinggapi oleh perasaan-perasaan
yang aneh. Dandanggula itu terdengar begitu jelas sehingga kata demi kata dapat
dimengerti dengan baik. Bunyi syair dari tembang itu adalah:
Lir sarkara, wasianing jalmi
Ambudiya budining sasatnya
Memayu yu buwanane,
Ing reh hardaning kawruh,
Wruhing karsa kang ambeg asih,
Sih pigunane karya,
mBrasta ambeg dudu,
Mengenep nenging cipta,
Wruh unggayaning tindak kang ala lan becik,
Memuji tyas raharja (Kusw)
Tak seorang pun yang mengetahui tanggapan Pasingsingan atas
lagu itu dengan pasti, sebab wajah orang itu tertutup oleh kedok. Tetapi
melihat sikapnya, ia sama sekali tidak senang mendengarnya, meskipun lagu itu
dibawakan oleh suara yang merdu dan syairnya mengandung nasihat yang baik.
Sebagaimana seseorang harus berusaha menyelamatkan dunia ini dengan banyak
memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang luas tentang cinta manusia untuk
memberantas kejahatan. Serta dengan mengendapkan cipta untuk mengetahui batas
antara baik dan buruk. Disertai doa kepada Tuhan untuk kebahagiaan.
Kemudian malahan Pasingsingan menjadi gelisah ketika ia
mendengar lagu itu diulang kembali. Akhirnya, tiba-tiba ia berputar menghadap
ke utara dan dengan garangnya ia menggeram. Sedang kata-katanya sangat
mengejutkan mereka yang mendengarnya, seperti halilintar meledak di atas kepala
masing-masing. Termasuk Mahesa Jenar dan Jaka Soka.
”Setan tua…! Apa maksudmu mengganggu urusanku? Baiklah.
Hanya sayang kali ini aku tidak ada waktu untuk melayanimu. Karena itu lain
kali aku akan menemuimu, kalau aku tidak sedang membawa beban seperti kali ini.
Sampai ketemu Pandan Alas!” kata Pasingsingan. Setelah itu tanpa diketahui
arahnya, tahu-tahu Pasingsingan telah lenyap dari pandangan mereka beserta Lawa
Ijo. Lenyapnya Pasingsingan itu tidak begitu menarik perhatian Mahesa Jenar dan
Jaka Soka. Seperti berjanji, mereka setelah mendengar nama Pandan Alas, segera
meloncat ke utara, ke arah mana Pasingsingan tadi menghadap. Mereka menduga,
bahwa dari sanalah sumber suara tadi datangnya. Sebab kebetulan Mahesa Jenar
dan Jaka Soka berbareng ingin melihat wajah orang aneh itu. Tetapi setelah agak
jauh mereka menyusup, yang mereka temui hanyalah bekas luka pada pokok sebuah
pohon raksasa. Meskipun mereka hanya menemui bekasnya saja, namun telah cukup menggetarkan
hati mereka. Sebab menurut pendengaran mereka, waktu Ki Ageng Pandan Alas
menebang pohon itu hanyalah sebentar saja, sedang yang mereka lihat bekasnya
adalah luar biasa. Sebatang pohon raksasa yang besarnya lebih dari empat
pemeluk, ternyata telah luka hampir separonya. Sedang tatal kayu bekas tebangan
itu, berbongkah-bongkah hampir sebesar kepala anjing. Sungguh mengagumkan.
Apalagi ketika disamping pohon itu, yang mereka ketemukan hanyalah sebuah
kampak kuno dari batu, yang diikat pada setangkai dahan basah sebagai
pegangannya.
”Luar biasa,” desis Jaka Soka.
Mahesa Jenar mengangguk mengiakan.
”Aku tidak dapat mengira kekuatan apa yang telah membantu
orang itu, sehingga ia dapat berbuat sedemikian mengagumkan.”
Jaka Soka tidak menjawab. Tampaknya ia sedang berpikir
keras. Akhirnya setelah dipertimbangkan bolak-balik ia mengambil keputusan
untuk meninggalkan tempat itu serta mengurungkan maksudnya menculik gadis yang
memiliki keris Sigar Penjalin milik Ki Ageng Pandan Alas.
”Mahesa Jenar, ternyata aku salah duga kepadamu. Karena itu
baiklah kali ini aku mengaku kalah dan mengurungkan niatku menculik gadis
cantik itu. Aku merasa bersyukur, bahwa kau tidak mempergunakan ilmumu yang
menurut Paman Pasingsingan disebut Sasra Birawa, ketika melawan aku. Kalau
demikian halnya, maka aku kira aku pun akan jadi lumat. Juga benar apa yang
dikatakan oleh Lawa Ijo, bahwa Pandan Alas benar-benar berada di segala tempat.
Sekarang baiklah aku pergi dulu. Sampai lain kali,” kata Jaka Soka kepada
Mahesa Jenar.
SELESAI mengucapkan kata-kata itu, segera dengan lincahnya
Jaka Soka alias Ular Laut yang terkenal sebagai bajak laut yang bengis itu
meloncat dan lenyap diantara lebatnya hutan. Tinggallah kini Mahesa Jenar
seorang diri. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai masalah dan persoalan. Tetapi
yang penting adalah mengatur rombongan itu kembali. Dan kemudian membicarakan
kemungkinan-kemungkinan lebih lanjut. Ketika Mahesa Jenar sampai di tempat
rombongan, ia melihat bahwa beberapa orang telah tampak mulai agak tenang kembali.
Terutama para pengawal. Malahan ada diantaranya yang sudah dapat mengatur
barang-barangnya. Meskipun demikian mereka masih saja nampak ketakutan.
Ternyata ketika mereka mendengar gemerisik daun yang disebakkan oleh Mahesa
Jenar, mereka masih terkejut juga. Tetapi ketika mereka melihat, bahwa yang
datang adalah Mahesa Jenar, perasaan mereka nampak lega. Malahan ada yang
berlari-lari menyambut dan langsung berjongkok dan menyembahnya. Terutama
sepasang suami-istri yang telah minta kepadanya untuk membawa bebannya. Kedua
orang itu menyembah sambil menangis minta diampuni. Segera Mahesa Jenar pun
menenangkan mereka, serta segera minta agar para pengawal menyalakan api.
Sebentar kemudian beberapa orang telah mengumpulkan kayu, serta apipun segera
dinyalakan. Mereka, seluruh anggota rombongan, telah duduk mengelilingi api
yang menyala-nyala dan menjilat-jilat ke udara. Daun-daun di atas nyala api itu
bergerak-gerak seperti menggapai-gapai kepanasan. Malam pun segera turun dengan
cepatnya. Pepohonan serta dedaunan nampak seperti diselimuti oleh warna yang
hitam kelam. Di sana-sini mulai terdengar kembali suara-suara binatang malam.
Pada wajah-wajah di sekeliling api itu, masih menggores rasa cemas dan takut.
Kejadian-kejadian siang tadi sangat berkesan di hati mereka.
Pertarungan-pertarungan dahsyat dan kejadian-kejadian yang aneh terjadi
berturut-turut seperti peristiwa-peristiwa dalam mimpi yang menakutkan.
Terutama gadis cantik yang hampir-hampir saja menjadi sumber
bencana. Ia masih saja merasa bahwa dirinya bersalah sehingga rombongan itu
mengalami kekacauan, ia, bahkan hampir dimusnahkan, kalau tidak secara
kebetulan ada seorang perkasa yang melindunginya. Karena itu ia masih saja
belum berani memandang wajah-wajah kawan seperjalanannya. Sejenak kemudian, kesepian
itu dipecahkan oleh Mahesa Jenar yang berkata kepada orang-orang dalam
rombongan itu.
“Kawan-kawan, bahaya tidak lagi bakal datang,
setidak-tidaknya malam ini. Karena itu tenanglah dan beristirahatlah. Aku kira
kalian sehari penuh masih belum juga makan. Sekarang kesempatan itu ada.
Sesudah itu kalian bisa tidur nyenyak seperti tadi malam.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, mereka serentak
diperingatkan oleh rasa lapar yang semula tak dihiraukan. Segera diantara
mereka membuka bekal-bekal mereka, tetapi tidak sedikit diantara anggota
rombongan itu yang sudah tidak punya rasa lapar lagi. Juga sesudah itu, tak
seorang pun yang dapat merasa kantuk.
Sejenak kemudian mulailah Mahesa Jenar berunding dengan para
pengawal, tentang bagaimana baiknya rombongan tersebut. Menurut pendapat Mahesa
Jenar, sebaiknya rombongan itu tidak meneruskan perjalanan. Sebab kalau pada
langkah pertamanya mereka sudah menemui kesulitan, kelanjutannya pun akan tidak
menguntungkan. Kemungkinan-kemungkinan yang tak menguntungkan adalah banyak
sekali. Lawa Ijo, terang, bahwa ia tidak berdiri sendiri. Ia adalah seorang
pemimpin dari sebuah gerombolan yang cukup besar. Hanya sekarang gerombolan itu
seakan-akan sedang dibekukan. Tetapi, kalau sampai mereka mendengar, bahwa
kepala mereka dilukai, mereka pasti tidak akan tinggal diam. Karena itu, selagi
masih ada waktu, sebaiknya rombongan itu besok pagi berangkat kembali ke tempat
semula. Tak seorang pun diantara mereka yang dapat menolak pendapat ini. Memang
pada umumnya mereka telah dihinggapi perasaan takut yang luar biasa. Untunglah,
bahwa pada saat itu datang Mahesa Jenar menolong mereka. Kalau tidak, mereka
pasti sudah jadi bangkai.
Tetapi dalam suasana yang demikian, mendadak gadis cantik
yang merasa dirinya bersalah, berkata kepada Mahesa Jenar,
“Tuan, aku terpaksa tidak dapat menerima saran Tuan untuk
kembali. Sebab aku memang tidak punya tempat untuk kembali. Tetapi aku juga
tidak dapat memaksa rombongan ini berjalan terus. Karena itu, baiklah kalau
rombongan ini berjalan kembali dengan para pengawal, aku akan berjalan sendiri
melanjutkan perjalanan ke Pliridan. Hanya sebagai bekal perjalanan, aku minta
kerisku tadi dikembalikan kepadaku. Sebab kalau aku bertemu seorang seperti
pemuda yang akan menculik aku, sebaiknyalah kalau aku bunuh diri.”
Gadis itu mengucapkan kata-katanya dengan mata sayu diwarnai
oleh hatinya yang putus asa. Ia merasa tidak berhak lagi berkumpul dengan
orang-orang serombongannya. Sebab ia telah merasa berbuat kesalahan yang tak
termaafkan. Mahesa Jenar dan beberapa orang tampak mengerutkan keningnya.
Memang dalam keadaan terjepit, ada diantara mereka yang sampai hati mengumpati
gadis itu. Tetapi dalam keadaan yang demikian, timbul pulalah perasaan iba
terhadapnya.
GADIS itu menundukkan kepalanya semakin dalam. Matanya yang
bulat, nampak mengambang air mata yang ditahan sekuat-kuatnya. Tak ada jalan
buat kembali, ujarnya lirih. Dalam kata-kata itu, ternyata bahwa ada sesuatu
rahasia yang menyelubungi diri gadis itu. Tiba-tiba Mahesa Jenar ingin
mengetahui lebih banyak lagi tentang diri gadis itu, yang sampai saat itu masih
belum dikenal namanya. Siapakah sebenarnya kau ini? Serta apakah hubunganmu
dengan Ki Ageng Pandan Alas? tanya Mahesa Jenar kemudian. Gadis itu mengangkat
mukanya sedikit. Lalu jawabnya,
Tuan, sebenarnya aku sama sekali tidak mengenal siapakah Ki
Ageng Pandan Alas itu. Kalau aku memiliki keris yang tuan hubungkan dengan nama
Pandan Alas, adalah diluar pengetahuanku. Aku menerima keris itu dari almarhum
ibuku, sedangkan ibu menerimanya dari kakek. Seorang petani miskin yang sedang
merantau mencari daerah baru, dan sekarang menurut almarhum ibuku, kakek itu
tinggal di daerah Pliridan. Dan sama sekali tak bernama Pandan Alas, tetapi
bernama Ki Santanu, sedangkan aku sendiri dinamai oleh ayahku, Rara Wilis”.
Mahesa Jenar mendengarkan jawaban gadis yang bernama Rara
Wilis itu dengan seksama. Pengakuannya, bahwa ia sama sekali tak mengenal Ki
Ageng Pandan Alas semakin menarik perhatian Mahesa Jenar. Mendadak berkilatlah
dalam hatinya, suatu keinginan untuk mengetahui rahasia yang menyelubungi gadis
itu. Sehingga berkatalah Mahesa Jenar,
“Bapak-bapak para pengawal, serta saudara-saudara
seperjalanan. Barangkali aku mempunyai suatu cara yang dapat memenuhi kehendak
kalian. Sebaiknya kalian kembali dengan para pengawal, mungkin tak akan banyak
menemui halangan, sedangkan gadis ini, yang berkeras hendak melanjutkan
perjalanan dan menemui kakeknya, biarlah aku antarkan saja. Sebab perjalanan ke
Pliridan bukanlah suatu pekerjaan yang ringan”.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu melonjaklah kegirangan
di hati Rara Wilis. Tiba-tiba matanya yang berkaca-kaca itu jadi
berkilat-kilat. Tetapi sebentar kemudian kembali perasaan kegadisannya
menguasai dirinya, sehingga wajahnya jadi kemerah-merahan, serta kembali ia
menundukkan mukanya. Mahesa Jenar pun menangkap perubahan wajah Rara Wilis. Dan
tidak disadarinya hatinya pun bergoncang. Sebaliknya beberapa orang lain
menjadi kecewa mendengar keputusan Mahesa Jenar untuk tidak menyertai mereka
kembali. Sebab bersama sama dengan Mahesa Jenar, mereka semua merasa bahwa
keamanan mereka terjamin. Sementara itu kembali Mahesa Jenar berunding dengan
para pengawal, serta memberi petunjuk mengenai beberapa kemungkinan. Sehingga
akhirnya terdapat suatu keputusan, bahwa mereka semuanya akan kembali dengan
para pengawal, sedangkan Mahesa Jenar sendiri akan mengantar Rara Wilis sampai
ke Pliridan. Pada malam itu hampir tak seorang pun dapat tidur, kecuali
beberapa orang, karena lelah lahir dan batin, seakan-akan terlena sambil
bersandar di pokok pepohonan. Berbeda dengan siang tadi, dimana hari
seakan-akan berlari demikian cepatnya, malam itu rasa-rasanya tak bergerak.
Suara binatang malam, serta desiran angin rimba terasa sangat menjemukan dan
menakutkan. Mereka semua mengharap agar malam lekas berakhir. Sehingga
cepat-cepat mereka dapat pergi meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Baru
setelah mereka mengalami kejemuan yang luar biasa, terdengar ayam rimba
berkokok bersahut-sahutan. Dari celah-celah kelebatan dedaunan hutan, tampaklah
membayang warna merah di langit. Segera orang-orang itu semua mengatur
barang-barangnya dan menyiapkan diri untuk menempuh perjalanan yang berlawanan
dengan yang ditempuhnya kemarin, kecuali Rara Wilis yang setelah menerima
kembali kerisnya akan melanjutkan perjalanannya ke Pliridan, diantar oleh
Mahesa Jenar sendiri.
Maka setelah semuanya bersiap, serta setelah para pengawal
dan mereka yang mengadakan perjalanan sekali lagi mengucapkan terimakasih
kepada Mahesa Jenar, mulailah mereka berangkat kembali. Di depan sendiri
berjalan pengawal tua itu dengan senjata di tangan. Baru setelah rombongan itu
lenyap dibalik pepohonan, Rara Wilis beserta Mahesa Jenar pun berangkat
melanjutkan perjalanan ke barat, ke daerah Pliridan. Di perjalanan, tidak banyak
yang mereka percakapkan, kecuali apabila Mahesa Jenar memandang perlu untuk
memberitahukan tempat-tempat berbahaya atau binatang binatang berbisa. Tetapi
perjalanan Mahesa Jenar sekarang bertambah laju, karena tidak harus
bersama-sama dengan rombongan yang besar. Sekali dua kali Mahesa Jenar pun
harus berlaku seperti pemimpin rombongan pengawal, menuntun bahkan menggendong
Rara Wilis apabila jalan sangat sulit, meskipun keduanya agak segan-segan.
Tetapi terpaksalah hal itu dilakukan. Sebab memang sekali dua kali mereka
menjumpai rintangan yang berat. Mereka berjalan terus seakan-akan tak mengenal
lelah. Bagi Rara Wilis, perjalanan ini, meskipun melewati daerah hutan yang tak
kalah liarnya dengan yang ditempuh kemarin, tetapi rasanya tidak begitu berat.
Bahkan setelah lebih dari setengah hari ia berjalan, sama-sekali tak terasa
lelah olehnya, haus ataupun lapar. Perjalanan yang begitu sulit itu bagaikan
sebuah tamasya, diantara kehijauan ladang serta keindahan taman. Gemerisik daun
kering yang dilemparkan oleh angin, terdengar merdu. Rara Wilis sendiri tidak
begitu menyadari, kenapa hatinya menjadi sedemikian bening dan cerah. Tidak
banyak hal yang mereka temui di perjalanan. Ketika malam datang, mereka
beristirahat di bawah sebuah pohon yang cukup besar. Setelah rumput-rumput liar
di bawah pohon itu dibersihkan, segera Rara Wilis merentangkan tikarnya,
sedangkan Mahesa Jenar mengumpulkan kayu dan kemudian menyalakan api. Malam itu
pun dilampauinya dengan tak ada sesuatu yang terjadi. Pagi-pagi setelah mereka mempersiapkan
diri, segera perjalanan pun dilanjutkan. Perjalanan itu masih harus melampaui
satu malam lagi. Maka pada hari ketiga itu, Rara Wilis serta Mahesa Jenar
menempuh perjalanan yang terakhir untuk mencapai daerah Pliridan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar