MAHESA Jenar tak dapat berbuat lain kecuali mengiakan semua
kata-kata Ki Ageng Sora Dipayana, meskipun ia sendiri tak habis heran, kenapa
orang tua itu dapat menebak maksudnya dengan tepat.
“Meskipun demikian…,” sambung orang tua itu,
“kau harus tetap waspada. Sebab penghuni Gunung Tidar bukan
pula orang yang patut direndahkan. Dan jagalah bahwa kau dapat langsung
mendekati tempat tinggal Sima Rodra. Usahakan untuk tidak diketahui oleh para
penjaga-penjaganya. Sebab bagaimanapun, jumlah yang banyak akan turut serta
menentukan keseimbangan pertempuran. Apalagi disamping Sima Rodra sendiri masih
ada beberapa orang yang termasuk orang-orang yang berilmu.”
Kata-kata Ki Ageng Sora Dipayana itu bagi Mahesa Jenar
merupakan petunjuk yang sangat berharga. Maka dengan perasaan yang gembira ia
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga.
“Kau pernah ke Gunung itu?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana
kemudian.
“Belum Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi aku pernah lewat desa Gelangan di dekat Gunung itu.”
“Desa yang berbentuk gelang serta di tengah-tengahnya ada
danaunya?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
“Benar Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar.
Ki Ageng Sora Dipayana kemudian menyarankan Mahesa Jenar
agar mengambil jalan ke arah desa itu.
“Sebab kau akan terlalu banyak membuang waktu. Sebaiknya kau
mengambil jalan yang biasa dilalui oleh gerombolan itu, melewati hutan bagian
selatan. Kau tidak perlu lagi mencari-cari jalan, sebab daerah itu sering
dilewati oleh anak buah Sima Rodra sehingga seakan-akan telah menjadi sebuah
jalan raya. Sedang kalau kau bertemu dengan satu-dua orang dari mereka maka hal
itu bukanlah hal yang perlu diributkan. Kau dapat dengan mudah menyembunyikan
diri, atau dengan semudah itu pula membinasakan mereka,” kata Ki Ageng.
Mahesa Jenar mendengarkan semua nasihat itu dengan saksama.
Memang pekerjaan yang akan dilakukan bukanlah pekerjaan yang gampang. Dengan
petunjuk-petunjuk yang diterima dari Ki Ageng Sora Dipayana, semakin teranglah
jalan yang akan ditempuhnya.
“Nah Mahesa Jenar,” kata Ki Ageng Sora Dipayana akhirnya,
“memang sebaiknya kau tidak banyak membuang waktu. Kau dapat
segera berangkat sekarang juga. Kalau tidak ada halangan, besok malam kau sudah
akan sampai ke pusar pulau Jawa itu. Ingatlah, hindari pertemuan dengan para
pengawal gunung. Pergilah langsung ke lambung utara. Di sana terletak sebuah
goa tempat tinggal suami-istri Sima Rodra itu. Sedang untuk mendekati bukit itu
ambillah jalan sebelah selatan, ambillah waktu ketika matahari telah terbenam.”
Sekali lagi Mahesa Jenar mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga. Dan sesudah itu ia mohon diri untuk segera melanjutkan perjalanannya
ke Gunung Tidar. Ia sudah memutuskan untuk mengikuti segala petunjuk yang
diberikan oleh Ki Ageng Sora Dipayana.
Tetapi satu hal yang sama sekali tak diduganya, adalah bahwa
dengan memberikan segala petunjuk itu, Ki Ageng Sora Dipayana telah membuat
suatu rencana. Rencana yang hanya diketahui oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu
sendiri. Karena itu ketika ia melihat Mahesa Jenar dengan langkah yang tetap
berjalan menurut petunjuknya, tampaklah orang tua itu tersenyum sambil
bergumam,
”Mudah-mudahan rencanaku berhasil. Bukankah dengan demikian
aku telah membuat suatu jasa pada mereka…”
Sementara itu Mahesa Jenar berjalan dengan langkah yang
cepat. Ia mengharap bahwa besok malam ia sudah dapat sampai ke tempat tinggal
Sima Rodra. Menilik rencana pertemuan dari golongan hitam, dimana Sima Rodra
akan ikut serta, maka dapatlah dibayangkan bahwa setidak-tidaknya Sima Rodra
sendiri atau berdua dengan istrinya, pasti mempunyai tingkat kepandaian sama
dengan Lawa Ijo. Ditambah lagi mereka ternyata memiliki pusaka keris Nagasasra
dan Sabuk Inten. Karena itu, ia harus berhati-hati dalam tiap tindakannya untuk
mendapatkan kembali keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Ketika itu, ketika ia
telah agak jauh meninggalkan desa Pangrantunan, matahari telah condong ke
barat. Angin yang bertiup agak kencang dari hutan terasa betapa silirnya.
Meskipun demikian panas yang dipantulkan oleh debu-debu di jalan terasa seperti
menyengat-nyengat kaki. Karena itu Mahesa Jenar semakin mempercepat langkahnya.
Sekali-kali ia meloncat-loncat di atas rumput yang tumbuh di tepi-tepi jalan.
Sebentar kemudian Mahesa Jenar telah meninggalkan daerah-daerah persawahan
Pangrantunan. Ia mulai memasuki daerah-daerah padang ilalang dan hutan-hutan
kecil untuk segera sampai ke induk hutan yang memagari tanah perdikan
Pangrantunan.
Tiba-tiba Mahesa Jenar yang sedang berjalan cepat-cepat itu
mendengar suara ringkik kuda. Segera ia menghentikan langkahnya serta
bersiap-siap, kalau-kalau suara ringkik kuda itu berasal dari gerombolan Sima
Rodra. Tetapi sampai beberapa saat ia sama sekali tidak mendengar langkahnya.
Karena itu Mahesa Jenar menduga bahwa kuda itu pastilah berhenti.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar menyusup batang-batang ilalang, mendekati arah
suara ringkikan kuda itu. Setelah beberapa langkah, benar-benar Mahesa Jenar
melihat kuda lengkap dengan pelananya, tetapi tidak ada penunggangnya. Maka
timbullah kecurigaannya. Tiba-tiba ia menjadi sangat terkejut ketika dilihatnya
di samping kuda itu, menggeletak sesosok tubuh yang rupa-rupanya sudah tidak
bernyawa lagi. Perlahan-lahan dan hati-hati ia merunduk mendekati mayat itu.
Ternyata bahwa mayat itu adalah mayat seorang laki-laki yang gagah. Di tangannya
masih tergenggam sebatang tombak pendek. Ketika Mahesa Jenar mengamat-amati
daerah di sekitar mayat itu, sama sekali tidak terdapat bekas-bekas telapak,
baik telapak kuda maupun telapak kaki manusia yang lain kecuali telapak kuda
yang seekor itu. Ketika Mahesa Jenar sudah yakin bahwa di sekitar tempat itu
sama sekali tidak ada bahaya, maka mulailah ia mengamat-amati mayat orang gagah
itu dengan saksama. Wajah mayat itu tampak biru kemerah-merahan, hampir di
seluruh permukaan kulitnya tampak noda-noda biru kemerah-merahan. Melihat
tanda-tanda itu segera Mahesa Jenar dapat menerka bahwa orang itu pasti
meninggal karena racun.
Sampai beberapa lama Mahesa Jenar mencari, masih belum dapat
ditemukan luka yang menyebabkan kematian orang itu. Baru ketika mayat itu
ditelungkupkan, tampaklah sebuah jarum sumpit yang masih menancap di
punggungnya. Maka tahulah Mahesa Jenar bahwa orang itu telah diserang dari
belakang. Atau kemungkinan lain orang itu dikenai sumpit pada waktu ia sedang
melarikan diri. Lebih heran lagi Mahesa Jenar ketika melihat pada ikat pinggang
orang itu, yang lebarnya hampir selebar telapak tangan, dan dibuat dari kulit
kerbau, tampaklah sebuah pahatan yang mirip dengan dua ekor ular yang saling
membelit. Mula-mula Mahesa Jenar agak bingung menafsirkan gambar itu, tetapi
akhirnya berdesirlah jantungnya. Ini pastilah gambar dua ekor uling. Kalau
demikian maka orang ini pasti termasuk salah seorang anggota gerombolan yang
dikenal dengan nama pimpinannya, sepasang uling dari Rawa Pening. Tetapi kenapa
ia sampai kemari, juga siapa yang membunuhnya, merupakan suatu teka-teki bagi
Mahesa Jenar. Yang terang baginya adalah, bahwa orang itu belum terlalu lama
meninggal. Mungkin pagi tadi, atau malahan sesudah hampir tengah hari.
BELUM lagi Mahesa Jenar selesai meneliti tubuh mayat itu,
tiba-tiba terdengarlah derap beberapa ekor kuda. Cepat-cepat Mahesa Jenar
memperhatikan arahnya, lalu dengan cepat sekali ia meloncat ke gerumbul yang
terdekat. Ia harus berusaha untuk bersembunyi, sebab ia masih belum tahu siapakah
yang datang. Beberapa saat kemudian derap kuda itu sudah dekat benar, dan
segera muncullah dari dalam hutan beberapa orang berkuda. Rupanya mereka sedang
mencari sesuatu atau mencari jejak, sebab hampir semua dari mereka mengawasi
jalan yang akan dilewatinya. Melihat rombongan itu, sekali lagi Mahesa Jenar
tersirap. Diantara orang-orang berkuda itu, Mahesa Jenar melihat, bahwa
meskipun orang itu berpakaian laki-laki, tetapi jelas bahwa ia adalah seorang
perempuan. Maka tanggapan Mahesa Jenar segera mengarah kepada istri Sima Rodra.
Sedangkan apakah Sima Rodra sendiri ada diantara mereka, Mahesa Jenar masih
belum tahu. Rombongan itu ternyata benar-benar sedang mencari jejak kaki.
Malahan jejak kaki orang yang meninggal itu. Karena itu, pada mayat orang gagah
itulah rombongan berkuda itu mengarah. Dengan demikian Mahesa Jenar harus
semakin rapat bersembunyi. Ternyata setelah mereka dekat serta semakin jelas,
jumlah mereka seluruhnya ada tujuh orang, satu diantaranya seorang perempuan
yang sudah hampir setengah umur, tetapi menilik tubuh serta wajahnya ia masih
tampak lincah dan cantik.
Ketika salah seorang dari mereka melihat mayat itu, ia
segera berteriak,
“Itulah dia… Ki Lurah.”
Mendengar teriakan itu, seorang yang bertubuh tegap, gagah,
bahkan lebih agak gagah dari mayat itu, segera meloncat turun dari kudanya dan
berjalan mendekati mayat itu, yang segera disusul oleh satu-satunya perempuan
dalam rombongan itu. Melihat mereka berdua, segera Mahesa Jenar menebak bahwa
mereka berdualah yang terkenal dengan suami-istri Sima Rodra. Setelah mereka
sampai pada mayat itu, segera suami-istri itu berjongkok mengamat-amati.
Kemudian segera tangannya meraih tombak pendek itu.
”Hem.., sayang adi Gemak Paron. Terpaksa aku membunuhnya.
Kalau tidak, pastilah Kiai Kala Tadah ini jatuh ke tangan sepasang Uling Rawa
Pening,” gumamnya.
“Mungkin tujuannya lebih dari itu,” sahut istrinya,
”Mungkin Adi Gemak Paron mendapat tugas untuk mengambil
kedua keris itu.”
“Mungkin juga,” jawab si suami,
“sebab kalau tidak, tugas yang penting itu pastilah bukan
Adi Gemak Paron yang harus melaksanakan.”
“Tetapi kejadian ini pasti ada akibatnya,” sela istrinya,
“Apakah kakak-beradik dari Rawa Pening itu akan tinggal
diam?”
“Pasti tidak,” jawab si suami,
“Tetapi ia tidak pula akan bertindak gegabah. Sebab kalau
tindakannya terdengar oleh golongan lain, pasti akan menimbulkan keributan
pula. Pastilah Lawa Ijo, Jaka Soka dan sebagainya tidak pula akan tinggal
diam.”
Si istri tampak berpikir sejenak, lalu katanya,
“itu berarti akan mempercepat saat pertemuan akhir tahun ini
di Rawa Pening. Mungkin mereka akan bersama-sama datang ke Gunung Tidar untuk
memperebutkan pusaka-pusaka itu.”
“Mungkin,” jawab suaminya.
“Itu berarti pekerjaan kita bertambah berat. Lalu bagaimana
dengan Adi Gemak Paron itu?” potong istrinya.
“Sebab Adi Yuyu Rumpung yang lolos dari kejaran kami pasti
segera akan melaporkan kejadian ini.”
Belum lagi mereka menentukan sikap, tiba-tiba terdengarlah
derap kuda dari arah lain. Tampaklah bahwa semua orang dalam gerombolan itu terkejut.
Tidak terkecuali suami-istri Sima Rodra.
“Rupa-rupanya Adi Gemak Paron tidak hanya berdua,” desis si
istri.
“Kau benar,” jawab suaminya.
“Bersiaplah kalian,” perintahnya kepada anak buahnya.
Maka segera mereka pun bersiap menghadapi setiap kemungkinan.
Suara derap kuda itu semakin lama semakin jelas. Dan Mahesa Jenar pun tidak
kalah cemasnya, sebab arah derap kuda itu menuju kepadanya. Karena itu, ia pun
melipat dirinya lebih kecil lagi di bawah sebuah gerumbul yang berdaun rapat.
Sejenak kemudian kuda yang larinya seperti terbang meluncur hanya beberapa
langkah di samping Mahesa Jenar. Melihat penunggang-penunggangnya, Mahesa Jenar
agak keheran-heranan pula. Mungkinkah mereka dari gerombolan Uling Rawa Pening?
Sebab tampaklah wajah mereka berbeda dengan wajah-wajah gerombolan Sima Rodra.
Sedangkan pakaian mereka pun sama sekali tidak seperti pakaian orang yang mati
itu. Rombongan yang kedua ini terdiri dari orang yang jumlahnya lebih banyak.
Semua kira-kira ada 15 orang. Ketika rombongan yang kedua ini melihat rombongan
Sima Rodra, mereka pun tampak terkejut. Maka dengan segera mereka menarik tali
kekang kuda mereka, sehingga kuda-kuda mereka berdiri dan berhenti seketika.
Melihat rombongan yang baru saja datang itu, ternyata Sima Rodra beserta anak buahnya
bertambah terkejut lagi, sehingga ketika rombongan yang kedua itu telah
berhenti. Sima Rodra segera berkata,
“Aku menyampaikan hormat yang setinggi-tingginya kepada
rombongan Ki Ageng Lembu Sora.”
Mendengar sapa Sima Rodra itu, giliran Mahesa Jenar yang
terkejut bukan kepalang. Inilah orangnya yang bernama Ki Ageng Lembu Sora,
putra kedua dari Ki Ageng Sora Dipayana. Ki Ageng Lembu Sora adalah seorang
yang bertubuh sedang, berwajah keras. Matanya memancarkan sinar ketamakan dan
pemujaan kepada nafsu-nafsu jasmaniah. Sambil masih duduk di atas kudanya ia
menjawab,
“Salamku kepada kalian.”
“Terima kasih Ki Ageng,” jawab Sima Rodra.
“Kenapa kalian berada di tempat ini?” tanya Ki Ageng Lembu
Sora.
“Kami sedang mengejar orang ini, Ki Ageng,” jawab Sima Rodra
sambil menunjuk kepada mayat Gemak Paron.
“Siapakah dia?” tanya Lembu Sora kembali.
“Ia berusaha untuk mencuri pusaka kami, Kiai Kala Tadah.
Untunglah bahwa aku dapat mengenainya dengan sumpit, sehingga ia tidak dapat
melarikan diri lebih jauh lagi,” jawab Sima Rodra.
LEMBU SORA tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya,
“Dari manakah dia?”
“Dari daerah Rawa Pening,” jawab Sima Rodra.
“Gerombolan yang dipimpin oleh Uling Rawa Pening…?” Lembu
Sora menegaskan.
“Ya,” jawab Sima Rodra.
Sekali lagi Lembu Sora mengangguk-angguk.
“Untunglah gerombolan Uling itu sampai sekarang masih diberi
kesempatan berdiri. Kalau saja Kakang Gajah Sora sudah mau bertindak maka umur
gerombolan itu tidak akan lebih dari satu senja,” kata Lembu Sora kemudian.
“Rupanya hal itu pun disadari oleh sepasang Uling itu,
sehingga mereka tidak berani berbuat apa-apa di dalam wilayah kekuasaan Ki
Ageng Gajah Sora. Meskipun secara perseorangan belumlah pasti bahwa
kakak-beradik Uling itu dapat dikalahkan oleh Gajah Sora,” sahut Sima Rodra.
“Kau yakin akan hal itu?” potong Lembu Sora.
“Hal yang mungkin sekali,” jawab Sima Rodra.
Lembu Sora tampak mengernyitkan alisnya. Ia tampak tidak
begitu senang mendengar keterangan Sima Rodra itu.
“Seperti kau yakin bahwa kau tidak dapat aku kalahkan,”
katanya kemudian.
Sima Rodra menarik nafas panjang. Tampaklah betapa tajam
pandangan matanya.
Perlahan-lahan ia menegakkan kepalanya, memandang ke arah
puncak-puncak pohon raksasa yang bertebaran di hutan. Jelas, betapa ia mencoba
menguasai dirinya untuk tidak bertindak tergesa-gesa.
Sebentar kemudian, baru Sima Rodra menjawab,
“Ki Ageng, aku tidak ingin berkata demikian. Selama kita
masih saling menghormati persetujuan kita. Biarlah, apa saja yang akan terjadi
di daerah Banyu Biru dan Rawa Pening. Sedang diantara kita hendaknya tetap
berlaku persetujuan yang sudah sama-sama kita terima, supaya kita tidak usah
menilai, siapakah diantara kita yang lebih kuat. Sedangkan apa yang berlaku
sekarang aku rasa sudah saling menguntungkan.”
Wajah Lembu Sora menjadi tegang pula. Rupanya ia pun sedang
berusaha untuk menguasai perasaannya.
Sejenak kemudian dengan mata yang berapi-api ia berkata,
“Bagus, kalau kau masih tetap dalam pendirianmu itu. Tetapi
aku dengar kau mulai membuat perkara. Karena itu aku sekarang memerlukan
berkeliling pagar perdikanku untuk mengetahui kebenaran berita bahwa kau mulai
merambah ke daerah lalu lintas dengan Pamingit.”
“Itu tidak benar, ” potong Sima Rodra,
“Aku tidak biasa berbuat kecurangan-kecurangan yang naif
semacam itu. Mungkin dalam kehidupanku telah ribuan kali aku berbuat curang,
tetapi untuk keperluan yang cukup bernilai dan seimbang dengan kecurangan yang
terpaksa aku lakukan.”
Sima Rodra diam sejenak. Suasana segera meningkat semakin
tegang. Tampaklah bahwa masing-masing telah mempersiapkan dirinya untuk
menghadapi setiap kemungkinan.
“Yang benar… dua orangku pagi ini telah mati di
Pangrantunan, ” lanjut Sima Rodra.
Lembu Sora tampaknya agak terkejut mendengar berita itu,
sehingga ia bertanya,
“Kenapa?”
“Sebabnya masih belum begitu jelas, sebab aku masih belum
sempat mengusutnya, karena ada peristiwa pencurian pusaka ini. Tetapi dua-tiga
hari yang akan datang, pastilah aku sendiri akan datang ke Pangrantunan untuk
melihat siapakah yang telah berbuat kejahatan itu,” jawab Sima Rodra.
“Sima Rodra…, yang termasuk dalam persetujuan kita hanyalah
sumbangan hasil bumi dari penduduk Pangrantunan, bukan orang-orangnya,” sahut
Sima Rodra.
“Tetapi aku tidak membiarkan pembunuhan itu menjadi
kebiasaan. Karena itu, yang bersalah harus mendapat hukuman,” jawab Sima Rodra.
“Aku beri wewenang kau melakukan hukuman hanya kepada yang
bersalah. Tetapi awas, jangan berbuat sekehendakmu saja atas orang-orangku.
Sebab ganti yang kau berikan kepadaku akhir-akhir ini ternyata mulai merosot
nilainya,” kata Lembu Sora.
Mendengar kata-kata Lembu Sora yang terakhir, tiba-tiba Sima
Rodra tertawa menggelegar.
Katanya kemudian,
“Jangan takut Ki Ageng, lain kali pasti akan lebih memberi
kepuasan kepada Ki Ageng…”.
“Aku berkata sebenarnya, karena itu segala sesuatunya
terserah kepadamu. Aku akan melanjutkan perjalanan sekarang,” potong Ki Lembu
Sora.
Sehabis mengucapkan kata-kata itu, segera ia menarik tali
kekang kudanya, serta mencambuknya keras-keras, sehingga kudanya terloncat dan
berlari kencang. Para pengikutnya segera mengikutinya pula. Suami-istri Sima
Rodra bersama anak buahnya mengawasinya sampai hilang di balik semak-semak.
Setelah itu kembali terdengar Sima Rodra tertawa
tergelak-gelak.
“Orang gila. Rupa-rupanya masih juga ada sisa-sisa minatnya
untuk meninjau daerah perdikannya yang sebentar lagi pasti akan dapat aku telan
seluruhnya,” kata Sima Rodra kemudian.
“Jangan terlalu tergesa-gesa. Apa kau kira Ki Ageng Gajah
Sora akan tinggal diam? potong istrinya.
“Dengan kedua pusaka keris Nagasasra dan Sabuk Inten itu di
tangan kita, pastilah bahwa kita akan menguasai segenap aliran hitam di pulau
Jawa, seperti apa yang pernah kita janjikan bersama. Sesudah itu apakah arti
kekuasaan Gajah Sora. Sedangkan Demak sendiri lambat laun pasti akan dapat aku
lenyapkan pula,” kata Sima Rodra.
Istri Sima Rodra mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu
katanya,
“Mudah-mudahan semua itu tidak hanya merupakan sebuah impian
yang akan lenyap bersama terbitnya matahari.
Si suami tertawa perlahan-lahan. Seperti kepada dirinya
sendiri ia berkata,
“Aku harus bekerja lebih keras. Mungkin akan banyak hal yang
harus aku hadapi dalam perjalanan ke istana Demak.”
“Lalu apa yang akan kita perbuat sekarang?” Tiba-tiba
istrinya bertanya.
Sima Rodra itu menjadi seperti orang yang tersadar dari
lamunannya. Kembali ia mengamat-amati mayat Gemak Paron. Sebentar kemudian ia
berkata,
“Marilah Nyai, sebaiknya kita kembali. Mungkin sehari dua
hari kakak-beradik Uling dari Rawa Pening akan berkunjung ke rumah kita. Baru
sesudah itu kita pergi ke Pangrantunan untuk mencari pembunuh-pembunuh itu.”
“Tidakkah kita selesaikan sama sekali masalah Pangrantunan
yang tinggal tidak seberapa jauh lagi?”
Sima Rodra tampak agak berpikir, tetapi segera ia menjawab,
“Masalah Pangrantunan sama sekali bukan masalah yang perlu
mendapat perhatian banyak. Tetapi sepasang Uling itu benar-benar memerlukan
persiapan yang cukup untuk menyambutnya.”
Setelah itu maka segera ia pun berdiri meninggalkan mayat
Gemak Paron, langsung menuju ke kudanya. Dan sejenak kemudian rombongan itu pun
pergi meninggalkan mayat itu tetap terkapar, sambil membawa kembali pusaka yang
disebutnya Kiai Kala Tadah. Setelah derap kuda mereka tak terdengar lagi,
Mahesa Jenar perlahan-lahan keluar dari persembunyiannya. Tanpa sadar ia menggelengkan
kepalanya sambil mengusap dadanya. Meskipun ia tidak tahu bunyi perjanjian
antara Ki Ageng Lembu Sora dan Sima Rodra, tetapi bahwa Ki Ageng Lembu Sora
bersedia menyerahkan sebagian dari wilayahnya untuk sumber perbekalan dari
golongan hitam, adalah suatu tindakan yang tercela.
Apapun yang diterima Lembu Sora dari Sima Rodra sebagai
gantinya, hal itu adalah suatu penghinaan atas kekuasaan yang dipegangnya,
dengan membiarkan adanya kekuasaan asing turut serta mencampuri masalah di
dalam rangkah. Apalagi ketika Mahesa Jenar teringat akan rencana Sima Rodra,
tidak saja menguasai Perdikan ini, tetapi ia sudah mulai merintis jalan ke
Demak. Tetapi ketika ia teringat bahwa Ki Ageng Sora Dipayana dengan ujudnya
yang baru telah kembali ke Pangrantunan, hatinya menjadi agak tenteram. Pasti
orang tua itu tidak akan membiarkan pengkhianatan itu tetap berlangsung. Sebab
kekuasaan yang selalu dibayangi oleh kekuasaan lain tidaklah lebih dari
kekuasaan boneka. Sebentar kemudian segera Mahesa Jenar sadar akan tugasnya. Ia
harus cepat-cepat pergi ke Gunung Tidar. Kalau benar apa yang diperhitungkan
oleh Sima Rodra, yaitu kemungkinan akan datangnya Uling dari Rawa Pening, maka
ia harus berusaha untuk mendahuluinya. Sebab kalau tidak, dan sepasang Uling
itu sampai berhasil merebut kedua keris pusaka itu, maka tugasnya akan
bertambah sulit. Karena itu Mahesa Jenar pun segera melanjutkan perjalanannya.
Sejenak kemudian ia telah memasuki daerah hutan yang cukup lebat pula. Tepatlah
apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Sora Dipayana, bahwa di dalam hutan itu
seolah-olah telah dibuat sebuah jalan, yang walaupun sempit tetapi cukup baik
untuk lalu lintas kuda maupun orang berjalan. Maka tidaklah ada kesulitan
apa-apa bagi Mahesa Jenar untuk langsung menuju ke Gunung Tidar. Tetapi belum
lama ia menyusur jalan rimba, tiba-tiba didengarnya telapak kuda yang lari
sangat kencang dari arah depan.
Mula-mula Mahesa Jenar mengira orang-orang Sima Rodra.
Tetapi ketika diketahuinya bahwa suara derap kuda itu tidak lebih dari seekor,
maka maksudnya untuk menghindar itu diurungkan. Ia tetap saja berdiri menepi
dengan maksud untuk mendapatkan suatu pengertian baru tentang Sima Rodra dari
orang itu. Sebentar kemudian tampaklah seekor kuda yang lari seperti terbang
menuju ke arahnya. Penunggangnya adalah orang yang pendek kokoh dan berjambang
tebal. Ketika orang itu melihat Mahesa Jenar, ia pun tampak terkejut. Segera ia
menarik kekang kudanya sehingga kuda itu berhenti beberapa langkah di hadapan
Mahesa Jenar. Mula-mula wajah orang itu tampak tegang. Tetapi ketika ia melihat
ikat pinggang orang itu, yang lebarnya hampir selebar telapak tangan serta
dibuat dari kulit kerbau, menjadi terkejut. Segera ia ingat kepada Gemak Paron
yang mati kena sumpit punggungnya, juga memakai ikat pinggang yang serupa. Maka
kesimpulan bagi Mahesa Jenar, orang ini pasti juga salah seorang dari
gerombolan Uling Rawa Pening. Mungkin orang inilah yang tadi disebut-sebut
dengan nama Yuyu Rumpung, yang berhasil meloloskan diri dari kejaran Sima
Rodra. Kalau demikian, kiranya Yuyu Rumpung tadi telah berhasil menyelinap ke
dalam hutan, sementara gemak Paron berlari terus. Kemudian setelah diketahuinya
bahwa Sima Rodra telah kembali ke sarangnya, ia segera berusaha untuk melarikan
diri. Orang berkuda itu, setelah memandangi Mahesa Jenar sejenak segera
bertanya, Siapakah kau yang berani lewat di jalan yang khusus bagi gerombolan
Sima Rodra?
Tiba-tiba timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk menjajagi
kekuatan gerombolan Uling ini, dengan mencoba kekuatan salah seorang anggotanya
yang terkemuka. Dengan demikian ia akan dapat mengetahui kira-kira sampai
dimana kekuatan anggota-anggota yang lain. Sedang pimpinan rombongannya sendiri
pastilah tidak akan banyak terpaut dengan Lawa Ijo, Jaka Soka dan mungkin juga
Sima Rodra.
SETELAH berpikir sejenak, Mahesa Jenar segera menjawab,
“Namaku Yuyu Rumpung, dan berasal dari Rawa Pening. Aku
adalah salah seorang kepercayaan kakak-beradik Uling untuk mencari keris
Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi sayang bahwa aku dan Gemak Paron hanya
berhasil mengambil tombak pendek yang bernama Kala Tadah. Itu saja Gemak Paron
terpaksa menebus dengan nyawanya, sedang tombak itu kembali kepada pemiliknya.”
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, segera wajah orang itu, yang
sebenarnya adalah Yuyu Rumpung, menjadi merah menyala. Ia menjadi marah sekali
karena jawaban itu seolah-olah merupakan suatu sindiran akan ketidakmampuannya
melakukan tugas yang dibebankan kepadanya bersama Gemak Paron. Karena itu
dengan gigi yang gemeretak ia berteriak.
“Orang gila, jangan kau mau main-main dengan Yuyu Rumpung.
Meskipun aku tidak berhasil mencuri kedua pusaka itu, tetapi aku pasti akan
bisa mematahkan lehermu. Tetapi sebelum itu, supaya aku tahu, siapakah yang
telah aku bunuh, hendaknya kau mengatakan namamu yang sebenarnya.”
Mendengar teriakan Yuyu Rumpung, Mahesa Jenar hanya tertawa
dingin.
“Kau memang lekas marah. Untuk melaksanakan tugas yang sulit
itu seharusnya Uling Rawa Pening memilih orang yang tenang dan dapat menguasai
perasaannya. Mungkin Gemak Paron tidak selekas engkau ini menjadi marah,” jawab
Mahesa Jenar.
Rupanya Yuyu Rumpung sudah tidak dapat menguasai dirinya
lagi. Segera ia meloncat dari kudanya dan dengan suatu gerakan yang dahsyat ia
langsung menyerang Mahesa Jenar dengan suatu pukulan ke arah pelipis. Ternyata
Yuyu Rumpung adalah orang yang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Pukulannya
mengandung tenaga yang hebat, serta cepat. Mendapat serangan yang demikian
cepatnya, Mahesa Jenar segera merendahkan diri dan dengan sebagian tenaganya ia
mempergunakan ujung sikunya untuk menyerang lambung lawannya. Tetapi Yuyu
Rumpung pun ternyata lincah sekali, sehingga ia tidak terlambat meloncat mundur
menghindar. Tetapi dalam hati ia pun tidak habis heran. Siapakah orang yang
berjalan di dalam hutan seorang diri, tetapi mempunyai keuletan yang sedemikian
tinggi. Apalagi ia sudah tahu nama, asal serta tugas yang sedang dilaksanakan.
Mahesa Jenar tidak sempat merenung-renung, sebab ketika
sadar bahwa serangannya gagal, segera ia memutar tubuhnya, dan dengan kaki
kirinya ia menghantam perut Yuyu Rumpung. Sekali lagi Yuyu Rumpung terpaksa
meloncat ke samping, tetapi kali ini ia tidak mau terus-menerus diserang.
Karena itu demikian kakinya melekat diatas tanah, segera ia maju menyodok perut
Mahesa Jenar. Kali ini sengaja Mahesa Jenar tidak menghindarkan diri, tetapi
dengan tangannya ia memukul tangan Yuyu Rumpung ke samping. Yuyu Rumpung yang
percaya pada kekuatannya, ketika melihat Mahesa Jenar menangkis pukulannya sama
sekali ia tidak berusaha menarik tangannya, malahan seluruh tenaganya
dikerahkan. Maka segera terjadilah suatu benturan yang keras sekali. Dengan tak
diduga sama sekali oleh Yuyu Rumpung, bahwa lawannya memiliki tenaga yang
dahsyat, sehingga ia jatuh terguling. Sebaliknya Mahesa Jenar pun merasakan
kekuatan Yuyu Rumpung sehingga tangannya terasa agak sakit. Sampai sekian
Mahesa Jenar dapat mengetahui bahwa orang ini kira-kira tidak lebih dari Carang
Lampit, orang kedua sesudah Wadas Gunung dalam gerombolan Lawa Ijo. Maka ketika
dengan sedikit kesulitan Yuyu Rumpung berdiri, segera Mahesa Jenar
meloncatinya, dan dengan tangannya yang kokoh kuat, segera ia menangkap kedua
lengan Yuyu Rumpung, dan dengan lututnya ia menekan punggungnya. Yuyu Rumpung
terkejut melihat kegarangan lawannya. Tetapi tak ada lagi kesempatan baginya
untuk melepaskan diri. Selanjutnya terdengar Mahesa Jenar bertanya,
“Yuyu Rumpung, selain kau dan Gemak Paron, siapakah yang
termasuk orang-orang penting dalam gerombolanmu?”
Pertanyaan ini telah memusingkan kepala Yuyu Rumpung. Ia pun
segera mengetahui bahwa orang ini pasti bukan dari golongan hitam, sebab dari
golongan itu, pada umumnya sudah mengenal siapa-siapa yang menjadi orang-orang
terpenting dalam gerombolan masing-masing. Ketika sampai beberapa lama ia tidak
menjawab, terasa tekanan lutut di punggungnya semakin keras semakin keras.
Sehingga terpaksa ia berkata,
“Apakah kepentinganmu dengan mengetahui orang-orang kami?”
“Itu adalah soalku, yang kuminta hanyalah kau sebutkan
nama-nama itu, dan jangan bohong,” jawab Mahesa Jenar,
Sementara itu punggung Yuyu Rumpung semakin terasa sakit,
sehingga akhirnya ia tak dapat mengelak lagi.
“Gemak Paron adalah orang kedua dalam gerombolan kami,
sedang aku adalah orang ketiga,” jawabnya.
“Siapakah orang pertama?” tanya Mahesa Jenar lagi.
“Orang pertama adalah kakang Seri Gunting.”
“Kenapa bukan Seri Gunting itu yang pergi untuk mencuri
pusaka-pusaka itu?”
“Kakang Seri Gunting sedang tidak ada di rumah.”
“Kemana dia?”
“Ke Nusa Kambangan.”
“Ke tempat Jaka Soka?”
Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu, Yuyu Rumpung menjadi
bertambah heran. Rupanya orang ini sudah agak banyak mengenal tokoh-tokoh
hitam. Karena itu ia harus lebih berhati-hati, sebab mungkin malahan seluruhnya
sudah diketahui, sehingga pertanyaan-pertanyaannya hanya merupakan sebuah
pancingan saja.
Maka jawabnya,
“Ya, kakang Seri Gunting pergi ke tempat Jaka Soka.”
Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Tahulah ia bahwa kekuatan
gerombolan hitam itu benar-benar seimbang, sehingga pertemuan akhir tahun di
Rawa Pening benar-benar akan menarik.
Ketika Mahesa Jenar tidak memerlukan hal-hal lain lagi,
segera Yuyu Rumpung dilepaskan, tetapi ia tidak membiarkannya pergi berkuda.
“Yuyu Rumpung, kau boleh pergi, tetapi aku ingin meminjam
kudamu. Sedang kau dapat mencari kuda Gemak Paron untuk kau pakai. Aku temukan
tadi mayatnya di luar hutan. Kalau kau akan mencarinya, pergilah membelok ke
selatan, di mulut lorong ini,” kata Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar sengaja membiarkan Yuyu Rumpung berjalan kaki
dan menunjukkan arah yang salah atas mayat Gemak Paron, supaya orang ini tidak
segera sampai di Rawa Pening. Ia mengharap untuk dapat mendahului kakak beradik
Uling itu. Yuyu Rumpung yang tidak tahu maksud Mahesa Jenar, menjadi keheranan.
Tetapi bagaimanapun juga ia merasakan keperkasaan orang itu. Maka ketika ia mendapat
kesempatan untuk pergi, segera iapun meloncat dan melangkah cepat sekali
menjauhi Mahesa Jenar, meskipun ia menggerutu tak habisnya karena kudanya
dirampas. Sedangkan Mahesa Jenar merasa mendapat keuntungan dengan pertemuannya
dengan Yuyu Rumpung. Ia sudah mendapat gambaran sedikit tentang kekuatan
gerombolan Uling Rawa Pening, sedangkan keuntungannya yang lain ia telah dapat
menghambat di jalan orang itu, sehingga, kemungkinan untuk dapat mendahului
sampai ke Gunung Tidar semakin besar. Sedangkan kuda yang dirampasnya, sama
sekali tak diperlukannya, sebab dengan kuda itu, ia tidak lagi bebas untuk
dapat menyusup ke gerumbulan apabila ia berjumpa dengan orang yang perlu
dihindari. Juga jarak yang ditempuhnya sudah tidak begitu jauh lagi. Kalau
misalnya ia dapat mencapai Gunung itu sebelum sore, ia masih juga harus
menunggu sampai matahari terbenam. Maka akhirnya dilepaskannya kuda Yuyu
Rumpung itu, dan Mahesa Jenar melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki.
Sementara itu cahaya merah telah membayang di langit
mewarnai mega yang betebaran. Sedang didalam hutan, sinar matahari yang sudah
sangat lemah itu tidak kuasa lagi untuk melawan kegelapan yang perlahan tapi
pasti akan turun menyeluruh sampai kesegenap lekuknya. Malam itu seperti biasa
dalam perjalanannya di hutan, Mahesa Jenar memilih tempat tidurnya diatas
cabang pohon untuk menghindari serangan binatang buas. Meskipun hutan itu tidak
segarang hutan Mentaok, tetapi di dalamnya hidup pula jenis harimau yang cukup
berbahaya, yaitu harimau loreng. Malam itu tak ada sesuatu hal yang terjadi.
Kecuali tubuh Mahesa Jenar menjadi gatal digigit nyamuk yang banyaknya bukan
main. Ketika langit disebelah Timur mulai meremang, Mahesa Jenar segera turun
dari tempat istirahatnya. Dan setelah sekali dua kali ia menggeliat, maka ia
segera memulai kembali perjalanannya ke Gunung Tidar sambil mencari sumber air
untuk mencuci mukanya. Jalan yang ditunjukkan oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu
ternyata jauh lebih dekat daripada apabila ia menempuh jalan yang direncanakannya
semula. Jalan ini langsung memotong arah ke tujuannya. karena itu maka ia tidak
perlu untuk tergesa sebab ia masih harus menunggu gelap untuk bertindak.
Pada saat ia melewati longkangan hutan itu, ia dapat jelas
melihat Gunung Tidar berdiri tegak seperti jamur raksasa, yang konon merupakan
pusar Pulau Jawa, sudah tidak begitu jauh lagi dihadapannya. Sehingga
perjalanan Mahesa Jenar kali ini merupakan sebuah perjalanan yang justru
diperlambat. Meskipun demikian ia masih juga agak kesiangan sampai didataran
yang mengitari bukit itu, sehingga ia mempunyai waktu sekedar untuk
beristirahat.
Ketika sampai saaatnya matahari turun serta burung mulai
berkitaran mencari tempat untuk tidurnya, berdirinya Mahesa Jenar dengan wajah
yang tegang memandangi Gunug Tidar dimana berdiam suami isteri Sima Rodra, yang
telah berhasil menyimpan sepasang keris Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten. Dalam
keadaan yang demikian seolah-olah ia mulai menilai dirinya kembali. Sudahkah ia
siap untuk melakukan tugas yang penting itu. Ia seorang diri harus terjun
langsung ke dalam sarang sepasang harimau yang cukup ganas. Berkali-kali ia
meremaskan tangannya dimana disimpan senjata kepercayaannya Sasra Birawa.
Sementara kemudian, ketika benar-benar matahari telah melenyapkan diri dibalik
Gunung Tidar itu, mulailah Mahesa Jenar melaksanakan tugas untuk membebaskan
kedua pusaka itu berdasarkan petunjuk dari Kiai Ageng Sora Dipayana. Untuk naik
ke bukit itu, ia tidak langsung mendaki dari arah Timur, tetapi ia melingkar ke
Selatan dan dari sanalah dengan hati-hati sekali selangkah demi selangkah
mendekati lereng bukit itu. Sebentar ia berhenti untuk mendengarkan kalau ada
langkah seseorang ataupun tarikan napas. Untunglah bahwa telinga dan matanya
cukup terlatih. Ketika sampai pada tanjakan pertama dari Bukit Tidar tampaklah
bahwa Sima Rodra benar-benar memasang perbentengan untuk melindungi sarangnya.
Batu besar yang tampaknya berserak itu ternyata merupakan pasangan yang apabila
sedikit saja tersentuh, pasti akan tergelincir dan menggelundung ke bawah.
Untunglah bahwa tiap gerak Mahesa Jenar selalu dilandasi oleh ketelitian serta
kehati-hatian. Setelah merayap beberapa saat Mahesa Jenar berhasil melintasi
pagar yang pertama untuk kemudian menjumpai benteng. Batu padas yang besar
disusun meninggi sampai hampir dua kali tinggi orang. Dengan hati-hati Mahesa
Jenar mendekati benteng itu. Kemudian dengan tangannya ia meraba-raba, seolah
ingin mengetahui sampai dimana kira-kira kekuatan padas itu. Mungkin dengan
kekuatan tangannya ia bisa, meskipun tidak sekaligus tetapi setidaknya sedikit
demi sedikit menghancurkan padas yang tidak sekeras batu.
KALAU Mahesa Jenar menghancurkan padas itu, maka besar
kemungkinannya bahwa kedatangannya akan segera diketahui oleh pengawal-pengawal
yang pasti berkeliaran di dalam benteng itu. Maka dicarinya cara lain untuk
dapat melampauinya. Sekali lagi Mahesa Jenar meraba-raba serta menaksir
kekuatannya. Kemudian dipilihnya cara dengan memanjat saja, dan kemudian
meloncat masuk. Mahesa Jenar dengan hati-hati memanjat dinding batu padas itu.
Sampai di atasnya ia tidak langsung meloncat, tetapi dengan perlahan-lahan
sekali ia melekatkan dirinya merapat dinding dan untuk beberapa lama ia
menelungkup di situ sambil mengamat-amati keadaan di dalam daerah sarang Sima
Rodra itu. Malam itu rasanya sepi sekali. Lebih sepi daripada malam-malam yang
pernah dilewatinya. Sekali duakali terdengar anjing liar menyalak di kejauhan,
disaut dengan pekikan burung hantu yang sedang mencari mangsa. Mahesa Jenar
masih saja berbaring menelungkup di atas dinding batu. Matanya berputar
menjelajahi seluruh lingkaran yang membentang di hadapannya. Adapun daerah di
dalam benteng Sima Rodra itu pun merupakan suatu lapangan yang bersemak-semak
dan rumput-rumput liar bertebaran tumbuh di sana sini. Sebenarnya tempat itu
merupakan tempat yang baik sekali untuk dapat menyusup mendekati goa Sima Rodra
di lambung sebelah utara bukit itu. Sebab dengan adanya semak-semak dan
rumput-rumput liar itu, justru memberi kemungkinan yang lain, bahwa di dalam
semak-semak itulah orang-orang Sima Rodra berjaga-jaga untuk mengawasi keamanan
sarangnya. Sampai beberapa lama Mahesa Jenar masih saja melekatkan dirinya pada
dinding padas itu. Tiba-tiba terasalah angin yang bertiup perlahan-lahan
menghembuskan bau yang wangi. Bau yang dibawa angin dari utara ini mempunyai
pengaruh yang aneh sekali. Terasa betapa tubuh Mahesa Jenar menjadi nyaman,
serta matanya menjadi berat sekali.
Angin yang aneh ini datang mengalir terus-menerus seperti
mengalirnya air sungai. Sehingga pengaruhnya semakin lama semakin mencengkeram
diri Mahesa Jenar. Tetapi Mahesa Jenar adalah seorang prajurit yang terlatih
lahir-batin. Untunglah bahwa ia segera menyadari keadaannya, bahwa pasti ia
telah kena pengaruh bau wangi itu, yang sengaja disebarkan orang untuk
melemahkan syaraf, sehingga orang menjadi kantuk. Inilah kekuatan sirep yang
seperti pernah dialami beberapa tahun lalu, yang disebarkan oleh Lawa Ijo.
Tetapi menilik kekuatannya, rasanya sirep kali ini agak lebih kuat dari yang
dahulu, serta sifatnyapun berlainan pula. Karena itu Mahesa Jenar segera
memusatkan kekuatan batin, dan seperti orang yang sedang mengheningkan cipta,
Mahesa Jenar diam tanpa bergerak di tempatnya berusaha melawan pengaruh sirep
itu. Meskipun agak lambat, tapi sedikit demi sedikit ia berhasil menguasai
dirinya kembali, sehingga akhirnya ia merasa bahwa ia telah lepas dari daya
sirep itu. Mengalami hal yang demikian Mahesa Jenar berpikir keras. Apakah
sirep ini datang dari Sima Rodra? Tetapi kalau benar demikian, maka anak
buahnya sendiri yang tidak mempunyai daya tahan yang cukup akan tertidur pula.
Dengan demikian maka kekuatan mereka akan jauh berkurang. Jadi adalah suatu
kemungkinan bahwa sirep ini datangnya dari luar. Dari orang lain. Tetapi siapa?
Kakak-beradik Uling tak mungkin akan secepat ini mencapai Bukit Tidar, kecuali
kalau ia berada pada jarak yang dekat sejak Gemak Paron menyusup masuk ke goa
Sima Rodra ini. Akh…, tak akan selesai pekerjaan ini dengan menimbang-nimbang
saja. Lebih baik aku masuk dan melihat keadaan, gerutu Mahesa Jenar.
Segera setelah itu, dengan tidak meninggalkan ke
hati-hatian, Mahesa Jenar meloncat masuk ke dalam lingkungan sarang sepasang
harimau yang cukup ganas itu. Dengan mengendap-endap ia berjalan, lewat lambung
sebelah timur ia memutar ke arah utara.
Tetapi mendadak ia dikejutkan oleh teriakan yang mirip
dengan aum seekor harimau, disusul oleh jerit yang mengerikan. Pastilah suara
ini berasal dari suami-istri Sima Rodra yang sedang marah. Cepat Mahesa Jenar
meloncat semakin dekat ke arah suara itu. Beberapa kali ia melihat beberapa
penjaga tidak dapat meloloskan diri dari pengaruh sirep yang tajam itu. Ketika
ia sudah semakin dekat, ia bertambah terkejut lagi ketika ia mendengar derap
orang berkelahi. Darah Mahesa Jenar segera bergejolak hebat. Siapakah yang
telah mendahuluinya masuk sarang Sima Rodra…?
Perlahan-lahan ia maju setapak demi setapak, sehingga
akhirnya ia mendapat perlindungan sebuah padas yang cukup besar di sebelah
timur goa Sima Rodra.
Kembali darah Mahesa Jenar tersirap ketika ia menyaksikan
suami-istri Sima Rodra itu sedang bertempur dengan seorang yang bertubuh
tinggi, berwajah bulat, serta berdada lebar. Tetapi karena gelap, ia tidak
dapat segera mengenal wajahnya. Pertempuran itu ternyata berlangsung dengan
hebatnya. Suami-istri Sima Rodra ternyata memang bukan namanya saja yang
garang. Tetapi tandangnya pun tidak kalah hebat dengan namanya. Kakinya yang
meskipun besar-besar, sebesar bumbung petung, tetapi seperti seekor harimau,
dengan lincahnya ia meloncat, menyerang dan menghantam. Sedang istrinya
bertempur dengan tangan yang dikembangkan. Segera Mahesa Jenar mengenal bahwa
cara yang demikian selalu dipergunakan oleh seorang yang sangat percaya akan
kekuatan jari-jarinya, atau yang lebih mengerikan, ia bersenjatakan kuku-kukunya
yang beracun.
Melihat cara suami-istri Sima Rodra bertempur, segera ia
mengingat akan ceritera Demang Pananggalan. Maka Mahesa Jenar hampir dapat
memastikan bahwa yang pernah datang ke Prambanan serta pernah menculik gadis
dan dibawa ke Gunung Baka adalah gerombolan Sima Rodra ini. Maka ketika ia
telah menyaksikan sendiri kegarangannya, ia pun menjadi yakin bahwa Demang
Pananggalan memang bukan lawan dari orang ini.
DALAM menghadapi segala hal, tampaknya suami-istri Sima
Rodra selalu bertempur bersama, sehingga untuk melawan orang yang baru
setingkat Pananggalan pun mereka bertempur bersama. Kalau demikian halnya, maka
bagaimanakah kira-kira yang akan terjadi dalam pertemuan golongan hitam di Rawa
Pening? Bolehkah mereka bertempur berpasang-pasang, ataukah hanya
seorang-seorang? Menilik gerak serta keperkasaannya, maka pastilah Sima Rodra
sendiri memiliki kehebatan yang sama dengan Lawa Ijo, sedang istrinya ternyata
sedikit di bawahnya. Tetapi karena perempuan itu bersenjatakan kuku-kukunya
sendiri maka ia pun nampak sangat berbahaya. Apalagi ketika sekali tampak di
ujung kuku itu berkilat suatu cahaya, maka sudah pasti bahwa di ujung kuku-kuku
itu ditaruh logam yang mungkin sekali beracun. Tetapi lawan Sima Rodra itu pun
ternyata orang luar biasa. Mahesa Jenar sendiri pernah bertempur berpuluh kali
menghadapi orang-orang perkasa. Yang terakhir adalah Jaka Soka serta Lawa Ijo.
Tetapi untuk menghadapi dua orang sekaligus baginya adalah pekerjaan yang berat
sekali. Kalau ia terpaksa bertempur melawan keduanya, maka pastilah pagi-pagi
ia sudah mempergunakan ilmunya Sasra Birawa. Sedang orang itu, yang bertempur
dengan Sima Rodra, nampaknya tanpa mempergunakan lambaran ilmu apapun, kecuali
ketangkasan serta kekuatan jasmaniah yang cukup terlatih. Maka, Mahesa Jenar
tak berhenti menebak. Siapakah gerangan dia. Kalau yang datang kakak-beradik
Uling, hampir dapat dipastikan bahwa mereka akan bertempur berpasangan pula.
Ataukah dia yang bernama Sri Gunting? Kalau orang ini Sri Gunting, maka Uling
Rawa Pening itu seharusnya mempunyai kesaktian yang luar biasa. Sambil berpikir
berputar balik, Mahesa Jenar menyaksikan pertempuran yang berjalan seru itu.
Berkali-kali suami-istri Sima Rodra itu mengaum dan memekik hebat dibarengi
dengan serangan-serangan sangat berbahaya. Tetapi orang yang melawannya itu
meskipun agak kerepotan selalu juga berhasil menghindar, bahkan beberapa kali
ia dapat mengadakan pembalasan-pembalasan.
Gerak suami-istri Sima Rodra itu tampaknya memang serasi
sekali dalam keganasannya. Mereka selalu berhasil saling mengisi dengan
gerak-gerak membingungkan. Kadang-kadang mereka tidak menyerang, tetapi hanya
berlari berputar mengelilingi lawannya, dan kadang-kadang mereka bersama-sama
menerkam dari arah yang berlawanan. Sebaliknya, lawannya pun memiliki ketangkasan
yang luar biasa pula. Sekali-kali ia melesat jauh, tetapi sesaat kemudian ia
sudah berdiri di satu sisi dari kedua-duanya dan menyerang dengan pukulan yang
dahsyat. Beberapa kali ia melingkar, meloncat dan berputar selagi masih di
udara. Tangannya bergerak menyambar-nyambar, seolah-olah berubah menjadi
seorang raksasa jelmaan Harjuna Sasra Bahu yang mempunyai seribu tangan
memegang seribu macam senjata, dalam ceritera pewayangan. Maka pertempuran itu
berlangsung dengan dahsyatnya. Tetapi karena Sima Rodra seolah-olah dapat
mensenyawakan diri, serta kekuatannya, maka semakin lama tampaklah bahwa
lawannya menjadi semakin terdesak. Melihat keadaan itu, otak Mahesa Jenar
bekerja keras. Bagaimanakah kalau ia mengambil keuntungan dari pertempuran itu?
Ia masih belum tahu sama sekali, siapakah gerangan yang bertempur itu. Tetapi
menurut perhitungan Mahesa Jenar, ia lebih baik melawan yang seorang itu
apabila terpaksa, daripada melawan Sima Rodra suami-istri. Karena itu ia
memutuskan untuk menerjunkan diri dalam kancah pertarungan itu untuk membantu
lawan Sima Rodra. Dan sesudah itu ia akan mengadakan perhitungan dengan
lawannya. Mudah-mudahan lawan Sima Rodra itu tidak bersamaan maksud dengan
kedatangannya, sehingga ia tidak perlu berhadap-hadapan sebagai lawan.
Setelah Mahesa Jenar mendapatkan ketetapan hati, maka segera
ia mempersiapkan diri. Dibetulkannya ikat pinggangnya, kancing-kancing bajunya,
dan ikat kepalanya, supaya nanti tidak mengganggunya. Dengan menggeram keras
untuk menandai kehadiran, Mahesa Jenar langsung menyerang istri Sima Rodra,
dengan suatu kepercayaan bahwa ia telah dibebaskan dari akibat racun karena
jasa kawan sepermainannya, Anis dari Sela.
<<<cerita silat bagian 13 cerita silat bagian 15 >>>
<<<cerita silat bagian 13 cerita silat bagian 15 >>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar