DALAM keadaan yang demikian tidak ada jalan lain bagi Wadas
Gunung kecuali harus menyelamatkan diri, meskipun hanya untuk sementara, sampai
dapat tersusun kekuatan untuk membalas dendam. Karena itu segera ia bersiul
keras dan dengan segera pula anak buahnya berloncatan mengundurkan diri dari
gelanggang perkelahian. Bagolan, yang ternyata mempunyai tenaga raksasa, segera
mendukung Wadas Gunung, dan dengan cepatnya berlari menjauhi lawannya.
Sementara itu, yang lain berusaha melindungi apabila mereka dikejar.
Melihat lawan-lawannya berlari, Mahesa Jenar sama sekali
tidak berusaha mengejarnya. Orang berkapak itu juga tidak. Pada saat itu, warna
langit di sebelah timur sudah semakin terang. Bayangan pepohonan serta
bentuk-bentuk batang-batang ilalang menjadi semakin jelas. Juga wajah orang
berkapak itu menjadi jelas. Kalau sebelumnya, kecuali karena gelapnya malam,
juga karena Mahesa Jenar tidak sempat mengamati orang berkapak itu, kini ia
dapat dengan jelas melihat wajahnya. Dan ketika Mahesa Jenar melihat wajah
orang itu, darahnya tersirap, seakan-akan ada sesuatu masalah yang memukul
rongga dadanya. Karena itu sampai beberapa saat ia berdiri diam seperti patung.
Sedang orang berkapak itu, setelah melihat bahwa lawan-lawan Mahesa Jenar
berlari, berdiri seperti acuh tak acuh saja. Juga ketika ia melihat Mahesa
Jenar memandangnya dengan wajah yang membayangkan keruwetan hatinya, orang
berkapak itu sama sekali tidak mempedulikannya. Akhirnya, setelah agak tenang
hatinya, Mahesa Jenar segera mendekati orang itu sambil berkata,
”Terimakasih atas segala pertolongan yang telah aku terima,
sehingga aku terbebaskan dari tangan mereka.”
Orang itu masih saja berdiri acuh tak acuh. Meskipun
demikian ia menjawab pula,
”Tak usah kau menyatakan terimakasih kepadaku. Ketahuilah
bahwa kedatanganku membawa suatu masalah yang harus kita selesaikan. Kalau aku
menolongmu, itu adalah karena aku takut bahwa masalah kita akan tetap merupakan
masalah yang tidak selesai.”
Mendengar jawaban orang itu, sebenarnya Mahesa Jenar merasa
sedikit tersinggung oleh ketinggian hatinya. Tetapi meskipun demikian ia
berusaha juga menyabarkannya. Katanya pula,
”Bagaimanapun kali ini engkau telah melepaskan aku dari
kekuasaan mereka.”
”Mungkin…. Tetapi belumlah pasti bahwa kau dapat melepaskan
diri dari persoalan yang kau hadapi sekarang,” jawab orang itu, masih dengan
nada dingin.
Kembali Mahesa Jenar terpaksa menyabarkan dirinya. Meskipun
hatinya bergetar hebat. Sampai orang tadi melanjutkan,
”Kedatanganku kemari adalah pertama-tama karena seseorang
merasa mempunyai pinjaman sesuatu barang kepadamu. Dan tak seorangpun dapat
disuruhnya menyerahkan kembali. Akulah yang menyanggupkan diri untuk
mengembalikan barang itu kepadamu. Kedua, adalah karena masalahku sendiri.
Masalah yang pada saat itu kau putar-balikkan kenyataannya dengan mengumpankan
seorang yang sama sekali tak berarti. Kau kira bahwa dengan perbuatan yang
demikian itu kau akan dapat menyembunyikan kenyataan untuk seterusnya. Dengan
kesombonganmu, menyediakan diri dalam sayembara tanding itu, aku kira kau
adalah seorang yang benar-benar jantan. Tetapi menghadapi suatu masalah
terakhir, kau melarikan diri.”
Darah Mahesa Jenar benar-benar bergolak hebat.
Tuduhan-tuduhan yang datang bertubi-tubi seperti mengalirnya sungai yang sedang
banjir melanda dirinya tanpa diduga-duganya. Sebenarnya Mahesa Jenar bukanlah
termasuk seorang pemarah. Karena itu untuk menahan diri, Mahesa Jenar
menekankan giginya sampai gemeretak.
Apalagi ketika orang itu menyambung bicaranya,
”Nah, aku beri waktu kau sehari ini untuk beristirahat. Aku
kira kau masih lelah setelah mengalami pertempuran pagi ini. Sesudah hari ini
dan malam nanti, baiklah besok kita selesaikan masalah kita. Sayang aku tak
dapat menyaksikan sebaik-baiknya cara kau membela diri terhadap orang yang mengeroyokmu.
Sebab aku terlalu cemas menyaksikan pertarungan tadi. Kalau-kalau kau dapat
dibinasakan, maka aku akan tetap menyesali hidupku selama-lamanya. Tetapi
mengingat apa yang telah kau lakukan, serta apa yang baru saja terjadi,
meskipun aku tidak menyaksikan dengan jelas, kau adalah termasuk orang yang
berkepandaian tinggi. Mungkin pula aku tak akan dapat menyamai kepandaianmu.
Tetapi bagaimanapun juga aku akan puas dengan penyelesaian terakhir yang akan
kita tentukan bersama.”
Hampir saja kemarahan Mahesa Jenar meledak. Tetapi untunglah
bahwa ia masih dapat menahan diri. Apalagi ketika tiba-tiba dilihatnya orang
itu memutar tubuhnya, lalu berjalan perlahan-lahan menjauhinya. Mahesa Jenar
masih saja berdiri tegak dengan gemetar menahan diri. Dipandangnya punggung
orang itu dengan seksama. Alangkah tinggi hatinya. Tetapi sejenak kemudian
Mahesa Jenar telah dapat menenangkan hatinya. Ia dapat memahami kenapa orang
itu harus bersikap sedemikian, bahkan sudah hampir merupakan sebuah kesombongan
yang besar. Tetapi menurut keterangan yang pernah didengarnya, sebenarnya ia
bukanlah seorang yang jahat. Ia hanyalah seorang yang mempunyai dua alam yang
terpisah. Alam angan-angan dan alam kenyataan. Juga ceritera tentang masa
mudanya, yang selalu dipenuhi dengan perantauan-perantauan yang penuh dengan
kejadian-kejadian yang hebat-hebat, tetapi kemudian tak ada lagi kesempatan
baginya untuk mengalami kembali, membuatnya seperti orang yang tak tahu melihat
kenyataan.
PERLAHAN-LAHAN Mahesa Jenar dapat menguasai dirinya kembali.
Apa yang baru saja terjadi dianggapnya sebagai suatu kesalahpahaman saja. Hanya
ia masih belum menemukan jalan penyelesaian yang sebaik-baiknya. Sementara itu
matahari telah semakin tinggi menanjak kaki langit. Terasalah betapa segar
sinarnya menyentuh tubuh Mahesa Jenar yang kelelahan. Tiba-tiba saja terasa
betapa penatnya setelah semalam suntuk harus melayani 19 orang gerombolan Lawa
Ijo. Juga terasa betapa kantuknya. Alangkah nikmatnya kalau tubuhnya segera
beristirahat, meskipun hanya sejenak. Tapi baru saja Mahesa Jenar melangkah
akan memasuki guanya, berdesirlah hatinya mendengar seruling yang seperti
membelai hatinya. Segera ia menghentikan langkahnya dan melemparkan pandang ke
arah suara seruling yang berderai sesegar wajah pagi. Dilihatnya di atas sebuah
batu hitam yang besar, orang berkapak itu duduk meniup serulingnya. Kapaknya
disandarkan pada batu tempat ia duduk. Mahesa Jenar adalah juga seorang
penggemar lagu. Ia sendiri sebenarnya pandai juga meniup seruling. Karena itu,
ia sangat tertarik mendengar lagu yang demikian indahnya. Maka ia mengurungkan
niatnya untuk beristirahat. Malahan ia berdiri bersandar bibir goa dan dengan
nyamannya mendengarkan lagu yang memancar begitu segar.
Dan diluar sadarnya ia bergumam,
“Pantaslah kalau orang menyebutnya Seruling Gading.
Kepandaiannya meniup seruling hampir sampai pada tingkat sempurna. Ternyata apa
yang diceriterakan Ki Asem Gede sama sekali tidak berlebih-lebihan.”
Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba saja ia teringat kepada
masalah yang harus diselesaikannya dengan Seruling Gading. Masalah yang ingin
ia kuburkan sedalam-dalamnya. Yang kini tiba-tiba saja telah muncul kembali
dalam bentuk yang justru lebih tegas. Karena itu ia menjadi gelisah. Bukan
karena ia harus berhadapan dengan Seruling Gading yang apabila ia tetap dalam
pendiriannya, akan merupakan suatu pertempuran yang tak dapat dianggap ringan,
tetapi seperti masalah yang pernah dihadapinya beberapa waktu yang lalu, ialah
menang atau kalah, ia akan tetap menyesali dirinya. Berpikir tentang masalah
itu, perhatiannya terhadap lagu itu jadi berkurang. Malahan kembali terasa
betapa penatnya setelah ia bekerja keras semalam suntuk. Karena itu timbullah
kembali keinginannya untuk beristirahat. Maka segera ia pun melangkah masuk ke
dalam goa, dan merebahkan diri diatas sebuah tikar batang ilalang yang
dibentangkan diatas sebuah batu panjang. Tetapi bagaimanapun ia berusaha untuk
melupakan, meskipun hanya sejenak, namun pikirannya tetap masih saja
melingkar-lingkar kepada Seruling Gading.
Tiba-tiba saja Mahesa Jenar teringat sesuatu, sampai ia
terloncat berdiri. Bukankah Seruling Gading itu pada saat ia tinggalkan berada
dalam keadaan lumpuh…? Dan bukankah Ki Asem Gede telah meminjam biji bisa
ularnya untuk mencoba menyembuhkan kelumpuhan itu…? Ia jadi teringat pula
kata-kata Seruling Gading bahwa ia mendapat suatu titipan untuknya. Karena pada
saat pikirannya sedang digelisahkan oleh sikap tinggi hati orang itu, sampai ia
tidak begitu memperhatikan kata-katanya. Titipan itu pastilah dari Ki Asem Gede
untuk mengembalikan biji bisa yang telah menyembuhkan kaki Seruling Gading.
Mengingat hal-hal itu semua, Mahesa Jenar menjadi bimbang. Apakah Ki Asem Gede
tidak mengatakan kepadanya bahwa barang yang dibawa untuknya itulah yang telah
menyembuhkan kakinya? Ataukah Ki Asem Gede takut bahwa dengan demikian si
Tinggi Hati itu akan semakin tersinggung? Mula-mula Mahesa Jenar berhasrat
untuk mengatakan hal itu, tetapi niat itu diurungkan. Sebab kalau Ki Asem Gede
saja tidak mau mengatakannya, pastilah ada sebabnya. Tetapi sejenak kemudian,
mendadak wajah Mahesa Jenar menjadi terang. Ia telah menemukan suatu cara untuk
menyelesaikan masalah itu, meskipun ia terpaksa sedikit menyombongkan diri,
serta mempunyai kemungkinan yang berlawanan dengan tujuannya. Maka setelah
mendapat pikiran yang demikian, agak legalah hatinya, sehingga pikirannya tidak
lagi digelisahkan oleh kehadiran Seruling Gading. Bahkan tiba-tiba kembali ia
bisa menikmati suara seruling yang lincah membentur dinding-dinding goa. Dalam
tangkapan Mahesa Jenar, Seruling Gading itu ingin berceritera tentang derai air
laut yang membelai pantai. Suaranya gemericik berloncat-loncatan. Alangkah
riangnya. Seriang anak domba yang dilepaskan di padang hijau, di bawah
lindungan gembala yang pengasih.
Namun tiba-tiba hampir mengejutkan, nada itu melonjak
berputaran melukiskan datangnya topan yang dahsyat serta kemudian mengguruh
menimbulkan badai. Ombak yang dahsyat datang bergulung-gulung menghantam
keriangan wajah pantai. Tetapi yang mengagumkan Mahesa Jenar adalah, Seruling
Gading dalam lagunya yang gemuruh dahsyat itu, berhasil menyelipkan sebuah nada
yang melukiskan seolah-olah sebuah perahu kecil sedang berusaha mencapai pantai
sambil melawan tantangan alam yang ganas itu. Tetapi mendadak lagu itu berhenti
sampai sekian, sehingga Mahesa Jenar agak terkejut pula karenanya. Rupanya
Seruling Gading dengan demikian ingin mengatakan kepadanya bahwa ia sendiri,
dalam perjalanan hidupnya, bagaikan sebuah perahu kecil yang diombang-ambingkan
gelombang keadaan yang maha dahsyat. Namun demikian ia tetap berjuang untuk
masa depannya. Untuk ketenteraman hidupnya. Sehingga mau tidak mau Mahesa Jenar
memuji di dalam hatinya. Hanya saja, perwujudan dari ketabahan Wirasaba dalam
menghadapi tantangan hari depannya, kadang-kadang dilahirkan dalam bentuk yang
kurang tepat, sehingga sifatnya yang memang sudah tinggi hati itu, mencapai
bentuk yang agak berlebih-lebihan. Sampai sekian, Mahesa Jenar tidak sempat
lagi terlalu banyak menilai Seruling Gading. Kelelahan dan kantuknya tak dapat
lagi ditahannya, sehingga sesaat kemudian ia jatuh tertidur.
SERULING GADING yang baru saja menempuh perjalanan yang
cukup jauh, ditambah pula dengan pertempuran yang baru saja dilakukan, tidak
pula kalah lelahnya. Maka, ketika matahari sudah melewati puncak langit, segera
ia pun terserang kantuk pula. Apalagi ketika angin silir mengusap tubuhnya.
Terasa betapa nyamannya. Karena itu segera Seruling Gading mencari tempat yang
teduh, di bawah bayangan pohon yang rindang, untuk merebahkan diri. Dan sejenak
kemudian ia pun tertidur. Baru ketika matahari hampir tenggelam, Seruling
Gading terbangun oleh suara seruling. Alangkah terkejutnya, ketika ia mendengar
lagu yang berkumandang demikian merdunya. Ia sendiri demikian mahirnya meniup
seruling sampai orang menyebutnya Seruling Gading. Tetapi di sini, di padang
rumput, di sela-sela hutan rimba, ia mendengar dengan telinganya sendiri suara
seruling yang demikian indahnya, sampai ia sendiri tak dapat menilainya.
Siapakah yang lebih pandai, selain ia sendiri, yang mendapat julukan Seruling
Gading? Siapakah peniup seruling di tengah-tengah padang ilalang ini…? Lebih
kagum lagi ketika ia mendengar, bagaimana orang yang meniup seruling itu
berusaha untuk mengulang kembali ceriteranya yang telah diungkapkan lewat nada
siang tadi. Ceritera tentang derai air laut yang membelai pantai, gemericik
berloncat-loncatan. Bahkan ceritera itu kini dilengkapi dengan desir angin yang
bermain bersama burung-burung camar yang beterbangan dengan lincahnya. Tetapi
dengan tiba-tiba pula, nada itu melonjak melingkar-lingkar bagaikan topan yang
dengan dahsyatnya menimbulkan putaran-putaran air serta gelombang yang bergolak
mengerikan. Sedangkan di sela-sela riuhnya gelombang yang membentur pantai itu,
terselip pula sebuah nada yang melukiskan seolah-olah sebuah perahu yang kecil
sedang menyusup diantara gelegak ombak, berusaha mencapai pantai. Sampai sekian
perasaan Seruling Gading menjadi tegang. Ia tidak tahu, siapakah yang telah
meniup seruling sedemikian pandainya sehingga hampir mencapai tingkat sempurna.
Juga ia sama sekali tidak tahu maksud peniup seruling itu, kenapa ia berusaha
melukiskan kembali ceriteranya, meskipun dalam ungkapan yang berbeda, tetapi
mempunyai bentuk yang sama. Tetapi tiba-tiba Seruling Gading terlonjak bangkit.
Perahu kecil yang sedang berjuang mati-matian untuk mencapai pantai itu,
tiba-tiba terseret oleh deru gelombang dahsyat, serta kemudian diputar oleh
topan yang ganas. Sehingga nada lagu itu menjadi menjerit seperti tangis
anak-anak yang kehilangan ibunya. Mendengar akhir lagu itu, hati Seruling
Gading tersinggung bukan main. Tahulah ia sekarang maksudnya, bahwa peniup
seruling ingin menghinanya sebagai seorang yang minta belas kasihan, serta
sedang berteriak-teriak minta pertolongan. Sebagai seorang yang tinggi hati,
Seruling Gading marah bukan buatan. Darahnya tiba-tiba menjadi bergelora.
Timbullah keinginannya untuk menjawab hinaan itu, serta menghantam lewat nada
pula.
Tetapi ketika ia ingin mengambil serulingnya dari dalam
bajunya, kembali Seruling Gading terperanjat, sampai menjerit nyaring karena
marahnya. Serulingnya yang dibuat dari pring gadhing, serta tak pernah terpisah
dari tubuhnya itu, ternyata sudah tidak ada lagi. Ketika sekali lagi ia
memperhatikan warna suara yang masih saja melingkar-lingkar di telinganya,
ternyata bahwa seruling itu adalah miliknya. Kembali Seruling Gading menggeram.
Dua kali ia dihinakan oleh orang yang meniup seruling itu. Pertama-tama orang
itu menuduhnya sebagai anak-anak yang berteriak-teriak minta belas kasihan, sedang
yang kedua, orang itu berhasil mencuri serulingnya tanpa diketahui. Maka
cepat-cepat ia berdiri. Diangkatnya kepalanya untuk mengetahui dari mana arah
suara seruling itu. Tetapi kembali darahnya meluap-luap. Suara seruling itu
ternyata melingkar-lingkar tak tentu arahnya. Meskipun sudah beberapa lama ia
mencoba untuk mengetahui, tetapi ia tidak berhasil. Semakin keras suara
seruling itu, semakin ribut pulalah gemanya bersahut-sahutan susul-menyusul
dari segala arah. Sehingga semakin bingung pulalah Seruling Gading. Ia sendiri
adalah seorang peniup seruling yang hampir sempurna pula. Tetapi ia tidak
memiliki tenaga lontar yang sedemikian membingungkan. Getaran yang dapat
diisinya dengan tenaga, hanyalah dapat untuk menghantam perasaan seseorang,
sebagai suatu tenaga kekerasan. Tetapi tenaga yang sedemikian lunak, namun
memusingkan tidaklah dipunyainya. Dengan demikian ia dapat mengambil kesimpulan
bahwa orang yang meniup dan sekaligus mencuri serulingnya itu, pastilah bukan
orang sembarangan. Meskipun demikian Seruling Gading bukanlah orang yang lekas
menjadi cemas dan takut. Tetapi ia adalah orang yang tinggi hati dan terlalu
percaya kepada kekuatan sendiri. Apalagi ketika diingatnya bahwa satu-satunya
orang yang berada di daerah itu hanya Mahesa Jenar. Marahnya semakin
menjadi-jadi. Sehingga ia tidak lagi bisa menguasai gelora perasaannya,
Seruling Gading itu berteriak keras,
“Hai pengecut yang hanya berani menghina dari tempat yang
jauh dan tersembunyi, coba tampakkanlah dirimu…!”
Tetapi suaranya sendiri juga hanya menghantam bukit kecil di
padang ilalang itu, serta berpantulan susul-menyusul. Sedangkan suara seruling
itu masih saja merintih-rintih hampir putus asa. Ketika suara teriakannya tidak
mendapat sahutan, Seruling Gading semakin marah. Sekali lagi ia berteriak
bertambah keras. Tetapi juga suaranya tak mendapat sahutan.
Maka sedemikian marahnya Seruling Gading, serta
ketidaktahuannya, kepada siapa kemarahannya itu harus diarahkan. Tiba-tiba
kapaknya diayunkannya deras sekali menghantam sebatang pohon sebesar tubuh
orang, yang berdiri di hadapannya. Sedemikian besar tenaganya, sehingga pohon
itu sekaligus berderak-derak patah dan roboh seketika. Bersamaan dengan
robohnya pohon itu, terdengarlah suara memujinya dari kejauhan.
“Bagus…, bagus Wirasaba. Tenagamu memang tenaga raksasa.”
Seruling Gading terkejut mendengar suara itu. Segera ia
membalikkan diri untuk mencari siapakah yang telah memujinya. Tetapi juga ia
tak dapat menemukan seseorang. Apalagi pada saat itu matahari telah tenggelam.
Yang tampak hanyalah bentuk-bentuk bukit-bukit kapur dan puntuk-puntuk kecil
yang dibalut oleh hitamnya malam.
RASANYA darah Seruling Gading sudah benar-benar mendidih. Ia
merasa sebagai seorang kanak-kanak yang sedang dipermainkan. Demikian bingung
serta marahnya, akhirnya ia berlari ke mulut goa di bukit kapur, dimana
dilihatnya Mahesa Jenar siang tadi masuk. Kembali di sana ia berteriak ke dalam
goa.
“Hai… pengecut yang tak tahu malu. Keluarlah. Tak perlu kita
menunggu esok. Marilah kita selesaikan masalah kita sekarang juga.”
Seruling Gading berteriak asal berteriak saja, tanpa
mengharapkan jawaban. Sebab telah sekian kali ia melakukannya, namun tidak ada
jawaban. Tetapi tiba-tiba saat itu terdengarlah orang menjawab, sehingga
malahan Seruling Gading terkejut sampai tersentak. Arah jawaban itu ternyata
sama sekali tidak dari dalam goa, tetapi malahan dari arah belakangnya,
sehingga secepat kilat ia pun membalikkan diri.
“Wirasaba…” kata suara itu,
“janganlah kau terlalu cepat berpanas hati. Sebab dengan
demikian itu, akan mudah menghilangkan ketenangan berpikir. Kalau kita tidak
lekas-lekas menjadi marah, mungkin kau tidak akan terlalu sulit mencari aku.
Nah di sinilah aku.”
Mendengar kata-kata itu, serta ketika ia melihat bahwa orang
yang dicarinya itu duduk di atas batu hitam, tempat ia meniup seruling siang
tadi, tubuhnya menjadi gemetar karena kemarahan yang memuncak. Benar-benar ia
dipermainkan. Karena itu, tanpa berpikir panjang segera ia berlari ke arah
bayangan di atas batu hitam itu. Apalagi ketika ia melihat bahwa orang yang
dicarinya itu benar-benar Mahesa Jenar, maka menggeramlah Seruling Gading.
“Setan, kau jangan mencoba menolong dirimu, menakuti aku
dengan permainan hantu-hantuan itu. Bagaimanapun juga aku tetap dalam
pendirianku. Menyelesaikan masalah kita dengan laku seorang jantan, sekarang
juga.”
Sementara itu bulan yang sudah tidak bulat lagi mulai
menampakkan dirinya, seperti mengapung di langit, diantara mega-mega yang
mengalir dihembus angin. Sinarnya yang kuning berpencaran diantara batang-batang
ilalang, serta bukit-bukit kapur. Diantara cahaya bulan berkedipan, wajah-wajah
bintang yang iri hati atas kurnia alam kepada bulan itu, yang memiliki
kecantikan yang sempurna. Dalam taburan sinar bulan, tampaklah wajah Wirasaba
yang merah menyala, membayangkan kemarahan yang meluap-luap. Tangan kanannya
menggenggam kapaknya erat sekali, siap diayunkan untuk membelah kepala Mahesa
Jenar. Mahesa Jenar melihat gelagat itu. Karena itu ia pun segera mempersiapkan
diri, meskipun tampaknya ia tidak mengubah sikap duduknya. Bahkan masih dengan
tersenyum ia berkata tidak menjawab tantangan Seruling Gading.
“Wirasaba…, maafkan kalau aku meminjam serulingmu tanpa
izinmu. Sebab aku tidak mau mengganggu membangunkan kau, nampaknya kau terlalu
nyenyak tidur. Mungkin kaupun sangat lelah setelah menempuh perjalanan yang
begitu jauh serta permainan pagi tadi yang sama sekali tak menyenangkan.”
“Cukup!” bentak Wirasaba.
“Jangan kau coba lagi merendahkan aku. Sebaiknya kau jangan
terlalu yakin akan kehebatanmu dengan mengalahkan Samparan dan Watu Gunung,
serta dengan pertunjukanmu pagi tadi. Sebelum kau mampu melenyapkan diri dalam
satu kedipan mata, jangan kau merasa dirimu tak terkalahkan. Sekarang
bersiaplah kau. Ambillah senjatamu, tombak berkait yang kau pergunakan pagi
tadi. Biarlah kita lihat bersama bagaimanakah akhir persoalan kita.”
Mahesa Jenar melihat bahwa kemarahan Seruling Gading telah
mencapai puncaknya. Meskipun demikian ia masih ingin berusaha untuk
menyelesaikan masalah ini dengan baik. Baru kalau usahanya gagal ia akan
melaksanakan rencananya.
“Wirasaba… baiklah tawaranmu aku terima, tetapi tidakkah kau
ingin mendengarkan dari mulutku keterangan-keterangan yang barangkali belum
pernah kau dengar sebelumnya?” kata Mahesa Jenar.
“Ha…?” teriak Wirasaba,
“alangkah pengecutnya kau. Dengan pembelaan-pembelaan itu
kau ingin menghindari penyelesaian secara jantan. Kau barangkali ingin
menjelaskan bahwa kau sama sekali tak mempunyai pamrih apa-apa dengan memasuki
sayembara tanding itu. Kau tentu akan berkata, bahwa karena kau adalah sahabat
mertuaku Ki Asem Gede. Tetapi pasti kau tidak mengatakan bahwa kau takut
menghadapi cara penyelesaian seperti yang aku maui. Juga kau pasti tidak akan
mengatakan bahwa kau telah mengumpankan Samparan untuk membersihkan namamu, setelah
kau tak berani menerima tawaranku.”
“Wirasaba…” potong Mahesa Jenar.
“Bagaimana aku sempat mengumpankan Samparan, sedang saat itu
aku selalu berada di hadapanmu?”
“Ooo…. tidakkah ada pencuri yang berhasil mengambil milik
orang lain di hadapan orang itu sendiri…?” jawab Seruling Gading.
Sampai sekian Mahesa Jenar yakin bahwa Seruling Gading tidak
lagi dapat diajak berunding. Karena itu kemungkinan yang lain adalah,
menyelesaikan menurut rencananya.
MAHESA JENAR kemudian berkata,
“Wirasaba yang digelari orang Seruling Gading… kau adalah
orang yang perkasa dengan memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada
kekuatan orang biasa. Seseorang yang belum pernah melihat kau mengayunkan
kapakmu pun tentu dapat menduga yang demikian itu, dengan menilik senjatamu
yang mempunyai ukuran terlalu besar bagi senjata umumnya itu telah menunjukkan
betapa tinggi hatimu. Kau adalah orang yang tidak dapat mendengarkan keterangan
orang lain selain mendengarkan angan-anganmu sendiri. Tetapi, Wirasaba,
ketahuilah bahwa bagaimanapun perkasanya kau, jangan kau menepuk dada serta
menyangka bahwa aku tidak berani menerima tantanganmu pada saat itu. Dengarlah,
apa yang dapat dilakukan oleh seorang yang lumpuh seperti kau pada waktu itu?
Apa pula arti keperkasaanmu dengan hanya mampu duduk di pinggir ranjang….?”
Belum lagi Mahesa Jenar selesai dengan kata-katanya,
Wirasaba sudah tidak dapat menahan diri lagi. Darahnya sudah bergelora membakar
kepalanya. Karena itu dengan tidak mengucapkan sepatah katapun, serta dengan
menekan giginya, dihimpunnya segala kekuatannya. Dan dengan dahsyatnya ia
berteriak. Bersamaan dengan itu, kapak besar itu terangkat dan dengan derasnya
terayun mengarah kepala Mahesa Jenar yang masih saja duduk di atas batu hitam
itu. Memang Wirasaba benar-benar memiliki tenaga raksasa. Ayunan kapak yang
dilambari kemarahan itu, menimbulkan suara berdesing yang hebat sekali,
sehingga seolah-olah bunyi sangkakala yang memberi pertanda bahwa dewa maut
akan melakukan kewajibannya. Tetapi sementara itu Mahesa Jenar telah siap pula.
Memang ia menunggu-nunggu saat yang demikian itu. Saat kemarahan Wirasaba
mencapai ke puncaknya. Maka ketika kapak itu dengan cepatnya mengarah
kepalanya, iapun segera meloncat selangkah ke samping, sehingga kapak itu tidak
mengenai sasarannya. Demikian kerasnya Wirasaba menghantamkan senjatanya, maka
ketika kapak itu tak mengenai Mahesa Jenar, terhantamlah batu hitam yang semula
dipakai sebagai tempat duduknya. an ternyatalah betapa besar kekuatan Wirasaba.
Dalam benturan itu, berderailah bunga-bunga api. Serta bertebaranlah
pecahan-pecahan yang dilemparkan dari luka batu hitam itu, yang ditimbulkan
karena hantaman kapak Wirasaba, meskipun batu itu sangat keras.
Melihat luka di atas batu hitam itu, Mahesa Jenar memuji di
dalam hatinya. Tetapi sementara itu sampailah ia kepuncak permainannya. Ia
ingin menaklukkan ketinggian hati Seruling Gading dengan sebuah pertunjukan
yang tidak kalah seramnya. Dalam waktu yang sekejap itu, segera ia mengatur
jalan pernafasannya, memusatkan perhatian serta kekuatannya di sisi telapak
tangan kanannya. Segera disilangkannya tangan kirinya di muka dada. Satu
kakinya diangkat ke depan serta tangan kanannya diangkatnya tinggi-tinggi.
Sejenak kemudian dengan garangnya ia meloncat ke depan batu itu, dan sebelum Wirasaba
menarik kapaknya, segera Mahesa Jenar menyusul menghantam batu hitam itu dengan
tangannya yang dilambari dengan ilmu Sasra Birawa. Alangkah dahsyat akibatnya.
Batu hitam yang sedemikian kerasnya, yang terluka tak sampai sejengkal oleh
pukulan kapak Wirasaba dengan tenaga raksasanya, pada saat itu, dengan bunyi
yang mengejutkan pecah berserakan karena sisi telapak tangan Mahesa Jenar.
Wirasaba terkejut bukan alang kepalang, sampai tanpa disengaja ia terloncat
surut serta kapaknya terlepas dari tangannya. Tubuhnya menggigil serta
jantungnya berdegupan tanpa dapat dikuasainya. Sampai beberapa saat ia berdiri
termangu seperti kehilangan kesadaran, dan tak mengerti apa yang harus
dilakukannya, karena ia telah melihat suatu kejadian yang sama sekali tak dapat
dibayangkan sebelumnya. Sampai beberapa saat Wirasaba berdiri kaku, sampai
tiba-tiba terasa pundaknya ditepuk orang. Dengan geragapan ia memandang kepada
orang itu, yang tidak lain adalah Mahesa Jenar yang membangunkannya sambil
berkata,
“Tenanglah hatimu Wirasaba. Itu tadi hanyalah suatu
permainan yang jelek.”
Wirasaba masih belum memiliki seluruh kesadarannya, sehingga
ia tidak dapat menjawab kata-kata Mahesa Jenar, kecuali memandangnya saja
dengan pandangan yang berputar-putar kebingungan. Sampai kembali Mahesa Jenar
berkata sambil menuntunnya duduk di atas sebuah gundukan tanah.
“Wirasaba…, lupakan semua yang telah terjadi. Marilah kita
bercakap-cakap sebagai sahabat yang telah beberapa hari tidak bertemu. Bukankah
kau dapat banyak berceritera tentang Ki Asem Gede, Kakang Dalang Mantingan,
Kakang Demang Penanggalan serta sahabat-sahabat lain di Pucangan dan
Prambanan…? Sesudah itu aku juga banyak sekali mempunyai ceritera yang
barangkali menarik.”
Seperti kanak-kanak yang dibimbing ibunya, Wirasaba sama
sekali tak menolak. Ia menurut saja kemana Mahesa Jenar menuntunnya, serta
seperti orang bermimpi pula ia duduk disamping Mahesa Jenar. Ketika sampai
beberapa saat Wirasaba masih berdiam diri, kembali Mahesa Jenar bertanya,
“Wirasaba… siapakah yang memberitahukan kepadamu serta Ki
Asem Gede bahwa aku berada di sini?”
Kini lamat-lamat Wirasaba telah dapat mendengar
pertanyaan-pertanyaan Mahesa Jenar serta telah dapat mengerti. Tetapi meskipun
demikian ia masih belum juga dapat menjawab, sebab ia baru mengumpulkan kembali
ingatan-ingatan atas kejadian-kejadian yang baru saja berlalu. Wirasaba adalah
seorang tinggi hati yang dalam perbendaharaan pengalamannya selalu dipenuhi
dengan kejadian-kejadian dahsyat di masa mudanya, serta keunggulan kekuatan
atas hampir terhadap semua lawan-lawannya. Sampai ia dipisahkan dari cara
hidupnya itu oleh racun-racun yang melumpuhkan simpul-simpul saraf kakinya.
Tetapi meskipun dalam keadaan lumpuh, masih saja ia merasa keperkasaannya tidak
berkurang. Sehingga suatu ketika sampailah saatnya kakinya dapat sembuh
kembali. Dengan demikian ia semakin merasa dirinya akan dapat mengulangi
peristiwa kemenangan demi kemenangan yang pernah dicapainya. Apalagi pada saat
itu ia menghadapi suatu peristiwa yang menurut pendapatnya adalah suatu hinaan
bagi sifat kejantanannya. Kehadiran Mahesa Jenar yang telah membebaskan
istrinya dari tangan Samparan, diterimanya dengan pengertian yang salah.
KETIKA seseorang yang bernama Sagotra datang kepada mertua
Wirasaba dan mengabarkan bahwa Mahesa Jenar berada di daerah Pliridan, maka
maksud Wirasaba untuk membuat perhitungan tak dapat dikekang lagi, meskipun
kakinya baru saja sembuh dan belum pulih kembali seperti sediakala. Tetapi
tiba-tiba, ketika ia telah dapat bertemu dengan orang yang dicarinya itu,
disaksikannya suatu peristiwa yang bermimpipun belum pernah diangankan. Hanya
dengan telapak tangan saja, batu hitam sebesar itu dapat dihantam hancur.
Bagaimanakah jadinya kalau yang dikenai sisi telapak tangan itu kepalanya?
Menghadapi peristiwa itu, rontoklah sifat tinggi hatinya. Mendadak tanpa
menjawab pertanyaan Mahesa Jenar, Wirasaba berdiri serta membungkuk hormat.
“Siapakah sebenarnya Tuan yang telah membingungkan
perasaanku?”
Sambil tersenyum, Mahesa Jenar menunduk hormat pula. Lalu
jawabnya,
“Sebagaimana kau ketahui, aku adalah Mahesa Jenar”.
Wirasaba mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tampaklah
bahwa ia sama sekali tidak puas dengan jawaban itu. Sebab orang yang dapat
berbuat demikian pastilah orang yang sudah punya nama. Karena itu ia
memberanikan diri untuk mendesak,
“Tuan, tetapi barangkali Tuan mempunyai sebuah gelar lain
yang dapat memperkenalkan diri Tuan…?”
Mahesa Jenar ragu-ragu sejenak. Adakah untungnya kalau
disebutkannya gelar keprajuritannya? Tetapi kemudian ia berpikir, barangkali
dengan demikian ia dapat mengurangi kepahitan yang baru saja dialami oleh
Wirasaba. Sebagai seorang yang tinggi hati, pastilah Wirasaba akan menderita
batin untuk seterusnya kalau ia sampai dapat dikalahkan oleh orang yang tak
bernama. Karena itu, jawabnya,
“Wirasaba…, ketahuilah bahwa sebenarnya akulah yang bernama
Rangga Tohjaya”.
Mendengar nama itu, membersitlah warna merah di wajah
Wirasaba, serta jantungnya berdegup keras. Pantaslah kalau yang dapat berbuat
sedemikian dahsyatnya itu adalah orang yang bergelar Rangga Tohjaya. Karena itu
kembali ia membungkuk hormat.
“Tuan Rangga Tohjaya yang perwira, maafkanlah segala
kelancanganku. Karena Tuan telah berbuat kemurahan hati untuk membebaskan
istriku. Maka berdosalah aku, yang telah berani menuduhkan hal yang sama sekali
tidak wajar kepada Tuan. Karena itu aku serahkan diriku kepada Tuan untuk
menerima hukuman apapun yang Tuan kehendaki,” kata Wirasaba dengan suara yang
berat penuh penyesalan.
Kembali Mahesa Jenar tersenyum.
“Wirasaba… tidaklah ada hukuman yang pantas aku berikan
kepadamu. Sebab wajarlah kalau seseorang dalam perjalanan hidupnya suatu kali
mengalami keterlanjuran. Hanya pengalaman yang demikian itulah yang dapat
menjadi peringatan. Bahwa untuk selanjutnya kita harus lebih hati-hati dalam
tiap-tiap tindakan kita. Tetapi selain dari itu semua, tadi kau katakan bahwa
kau mendapat suatu titipan dari seseorang. Apakah itu? kata Mahesa Jenar.
Wirasaba menjadi seperti tersadar. Lalu ia menjawab,
“Tuan, aku mendapat titipan dari mertuaku Ki Asem Gede.
Sebuah bumbung kecil yang aku tidak tahu isinya”.
Sesudah berkata demikian segera Wirasaba mengambil bumbung
dari kantong ikat pinggangnya dan diserahkannya kepada Mahesa Jenar.
Segera bumbung itu pun diterima oleh Mahesa Jenar, serta
ketika dilihat isinya, betul bahwa yang di dalamnya adalah biji bisa ular yang
telah dipinjamkan kepada Ki Asem Gede.
“Wirasaba…,” kata Mahesa Jenar kemudian,
“tidakkah Ki Asem Gede mengatakan kepadamu, apakah kasiat
benda yang kau bawa ini?”
Tidak Tuan, jawab Wirasaba sambil menggelengkan kepalanya.
“Ketahuilah, benda ini adalah biji ular yang sangat keras,
yang dapat dipergunakan sebagai obat pemusnah bisa atau racun yang lain. Bagi
perjalanan hidup, benda ini sangat penting artinya, sebab dengan benda ini pula
Ki Asem Gede telah berhasil menyembuhkan kelumpuhanmu,” jelas Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar ini, Wirasaba kembali
terkejut. Ditambah pula dengan perasaan haru yang mendalam. Ternyata atas
pertolongan Rangga Tohjaya ini pula kelumpuhan kakinya itu disembuhkan.
Mengingat hal itu semua, semakin dalamlah penyesalan yang dirasakannya.
Sementara itu Mahesa Jenar telah mengajukan pula beberapa
pertanyaan mengenai Ki Asem Gede. Kademangan Pucangan serta Prambanan, dan
banyak hal mengenai orang-orang yang pernah dikenalnya. Karena itu sebentar
kemudian pembicaraan telah dapat berlangsung lancar. Dari pembicaraan itu
diketahui, ternyata sepeninggal Mahesa Jenar, Ki Dalang Mantingan pun segera
kembali ke Prambanan. Dan menurut Wirasaba yang mendengar dari Ki Asem Gede,
bahwa orang yang bernama Mantingan itu telah kembali ke Wanakerta.
Setelah pembicaraan mereka berlangsung beberapa lama,
berkisar dari yang satu ke yang lain, maka berkatalah Mahesa Jenar, Nah,
Wirasaba, marilah kita anggap bahwa apa yang pernah terjadi itu merupakan suatu
mimpi yang tak menyenangkan. Dan sekarang ternyata kita telah bangun dan
melupakan mimpi itu. Karena itu kembalilah kepada istrimu seperti pada masa kau
datang untuk mengambilnya dahulu.
“Baiklah Tuan…, aku akan kembali kepada keluargaku, serta
mengatakan apa yang sudah aku lihat,” jawab Wirasaba.
“Sekarang,” sambung Mahesa Jenar,
“Marilah kita beristirahat. Besok kita akan melakukan tugas
kita masing-masing. Kau akan kembali kepada keluargamu, sedang aku masih
dinanti oleh suatu tugas berat”.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar, Wirasaba termenung
sejenak. Lalu katanya,
“Kalau Tuan masih harus melalukan tugas berat, dapatkah
kiranya aku membantu?”
Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya.
“Wirasaba…, bagaimanapun beratnya, tetapi aku tak dapat
membagi pekerjaan itu dengan orang lain. Karena itu dengan menyesal aku tak
dapat menerima tawaranmu”.
Wirasaba menjadi terdiam. Tugas apakah yang sedang dihadapi
Mahesa Jenar? Tetapi karena Mahesa Jenar sendiri telah menyatakan keberatan atas
tawarannya, maka ia pun tidak berani lagi mendesak.
SEJENAK kemudian Mahesa Jenar telah berdiri, sambil
melangkah ia berkata,
”Selamat malam Wirasaba, beristirahatlah. Kalau kau mau,
tidurlah di dalam goa bersama aku. Besok kita bisa menuai jagung. Dan sesudah
itu kita berangkat dengan tujuan masing-masing.”
Segera Wirasaba pun berdiri, serta berjalan mengikuti Mahesa
Jenar, masuk ke dalam goa, untuk bersama-sama beristirahat, sebelum esok
paginya mereka masing-masing akan menempuh perjalanan yang cukup berat. Bagi
Mahesa Jenar, adalah sebaik-baiknya segera meninggalkan tempat itu. Sebab
apabila Wadas Gunung beserta kawan-kawannya sampai dapat mencapai sarangnya,
sebelum ia meninggalkan tempat itu, mungkin untuk selama-lamanya ia tidak akan
lagi dapat pergi. Karena tidaklah mustahil kalau Pasingsingan sendiri akan
melakukan pembalasan. Ketika ayam hutan pada fajar pagi harinya mulai berkokok,
Mahesa Jenar pun segera bangun. Wirasaba bangun pula. Sejenak kemudian ketika
sudah mulai terang tanah, keduanya berkemas. Tetapi sebelum mereka pergi,
Mahesa Jenar bersama Wirasaba memerlukan memenuhi pesan Ki Ageng Pandan Alas
untuk menuai jagung di belakang bukit kapur, serta menyimpannya di dalam goa.
Mungkin pada suatu saat Ki Ageng Pandan Alas akan kembali lagi ke goa itu, atau
salah satu dari mereka pada suatu kali akan mengunjungi tempat itu. Ketika
semuanya sudah selesai, maka yang pertama-tama siap untuk berangkat adalah
Wirasaba. Atas permintaan Mahesa Jenar, Wirasaba membawa bekal beberapa ontong
jagung. Sesudah sekali lagi Wirasaba minta maaf serta menyatakan terima
kasihnya, maka segera ia pun berangkat ke timur, kembali kepada keluarganya
dengan perasaan yang seolah-olah baru sama sekali.
Sepeninggal Wirasaba, segera Mahesa Jenar pun ingat akan
tugasnya. Maka tanpa disengaja, ia berdiri di atas sebuah gundukan tanah sambil
memandang ke arah barat, ke arah hutan Mentaok yang pekat oleh pepohonan liar,
dari yang paling kecil sampai yang paling besar. Pohon-pohon raksasa serta
pohon-pohon yang membelit. Meskipun masih agak jauh, tetapi lamat-lamat hutan
yang liar itu telah tampak sebagai suatu tabir yang di belakangnya tersembunyi
banyak sekali rahasia dan bahaya. Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia
sama sekali tidak pernah takut untuk menghadapi bahaya yang bagaimanapun besar.
Tetapi sebagai seorang prajurit, ia bisa memperhitungkan tindakan-tindakannya.
Apa yang harus diusahakannya sekarang adalah membebaskan keris Nagasasra dan
Sabuk Inten dari tangan Sima Rodra. Sebelum itu berhasil, harus dihindari
kemungkinan-kemungkinan yang akan menggagalkan usahanya. Bahaya yang paling
besar yang dihadapinya, apabila ia menempuh hutan itu adalah kemungkinan
bertemu dengan Pasingsingan. Sebab bila ia bertemu dengan orang itu, pastilah
ia tidak akan dapat melepaskan diri. Bahkan tidak mungkin baginya untuk dapat
bertahan menghadapi tokoh yang terkenal itu. Karena itu timbul pikiran dalam
diri Mahesa Jenar untuk menempuh jalan lain. Ia bisa pula mengambil jalan
utara. Lewat hutan Turi di kaki Gunung Merapi. Lalu sesudah itu akan dilaluinya
lapangan batu-batu yang luas. Konon daerah ini telah pernah dilanda banjir batu
yang dimuntahkan dari Gunung Merapi, sehingga merupakan daerah yang sama sekali
tak dapat ditumbuhi pepohonan. Karena itu daerah ini biasa disebut Ngentak-entak.
Dari sana akan sampailah perjalanan itu ke daerah hutan di lembah antara Gunung
Merapi dan Merbabu. Dan apabila ia mendaki sedikit lambung Gunung Merbabu itu,
akan sampailah ia di daerah Parangrantunan. Dari sana ia harus turun dan
berjalan ke barat agak ke selatan. Meskipun perjalanan melewati daerah ini pun
harus menerobos rimba-rimba yang tak kalah dahsyatnya dari alas Mentaok, tetapi
kemungkinan untuk bertemu dengan Pasingsingan adalah tipis sekali.
Setelah mempertimbangkan masak-masak, akhirnya Mahesa Jenar
mengambil keputusan untuk mengambil jalan utara, meskipun daerahnya agak lebih
sulit. Kecuali hutan-hutan yang cukup lebat, juga harus didaki tebing-tebing
yang curam serta harus dituruni lembah-lembah yang terjal. Setelah tetap hatinya,
maka dengan berbekal beberapa ontong jagung , Mahesa Jenar segera berangkat.
Tidak ke barat, tetapi ke utara, untuk menghindari kemungkinan
rintangan-rintangan yang akan dapat menggagalkan usahanya. Saat itu, matahari
telah cukup tinggi. Sinarnya telah terasa hangat mengenai tubuh. Tetapi
meskipun demikian, burung liar masih bersiul ramai, seolah-olah menyatakan
ucapan selamat jalan kepada Mahesa Jenar yang sedang memulai kembali
perjalanannya untuk menemukan pusaka yang lenyap dari perbendaharaan Kraton Demak.
Namun demikian pikirannya masih saja terganggu oleh kata-kata Samparan, bahwa
yang sedang diperebutkan oleh golongan hitam itu adalah keturunannya saja dari
keris Nagasasra dan Sabuk Inten, jadi bukan keris aslinya. Kalau demikian, bila
Sima Rodra benar-benar menyimpan keris itu, adalah hanya keturunannya saja,
ataukah aslinya seperti yang digambarkan oleh Ki Ageng Pandan Alas…?
DUA tokoh ternama ternyata mempunyai pendapat yang berbeda
tentang Keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Pasingsingan menganggap bahwa yang ada
di luar Kraton itu adalah keturunannya saja, sehingga ia menyuruh Lawa Ijo
untuk mencari pusaka aslinya. Menilik hal tersebut ternyata Pasingsingan tidak
mengetahui bahwa pusaka aslinya itu sedang lenyap dari perbendaharaan Kraton.
Dengan beberapa pemikiran dan persoalan Mahesa Jenar berjalan dengan cepatnya,
dengan satu harapan untuk dapat segera sampai ke tempat tujuannya. Menurut
perhitungannya, apabila tidak ada suatu halangan, ia akan sampai ke tujuan
kira-kira lima hari empat malam. Tidak banyak hal-hal yang dialami Mahesa Jenar
dalam perjalanannya, kecuali kesulitan-kesulitan melawan alam. Tetapi itu pun
satu demi satu dapat diatasinya. Dan hal-hal yang demikian bagi Mahesa Jenar
bukanlah merupakan rintangan dibandingkan dengan orang yang bernama
Pasingsingan. Apabila malam tiba, Mahesa Jenar selalu mencari tempat untuk
tidur, di atas cabang-cabang pohon untuk menghindari gangguan-gangguan binatang
buas. Sedang di siang hari, ia berjalan sejak matahari terbit sampai matahari
terbenam. Maka pada hari ketiga, Mahesa Jenar telah dapat meninggalkan
daerah-daerah hutan di lereng Gunung Merbabu, untuk segera sampai ke
Pangrantunan.
Tetapi demikian ia sampai ke daerah persawahan Pangrantunan,
hatinya segera dikejutkan oleh sebuah panji-panji yang terpancang dengan
megahnya, bergambar harimau hitam yang sedang mengaum hebat. Harimau hitam itu
digambar di atas dasar merah darah, pada kain yang dianyam dari serat kulit
kayu yang dikemplong halus. Melihat panji-panji itu segera Mahesa Jenar dapat menebak,
bahwa panji-panji itu adalah tanda-tanda yang ditinggalkan oleh Gerombolan Sima
Rodra. Tetapi apakah kepentingannya, panji-panji itu dipasang di tempat ini?
Itulah yang menjadi pertanyaan. Apalagi di daerah Pangrantunan. Menurut
keterangan gurunya, Pangrantunan pernah menjadi pusat percaturan para tokoh
sakti. Sebab di daerah ini beberapa puluh tahun yang lalu pernah diadakan
semacam pertemuan dari beberapa tokoh sakti yang saat ini pada umumnya sudah
tidak pernah menampakkan diri lagi. Diantara beberapa tokoh yang pernah
mengadakan pertemuan itu adalah Almarhum Ujung Kulon, Pasingsingan, Titis
Anganten serta Ki Ageng Pandan Alas. Adapun yang menjadi tuan rumah dalam
pertemuan itu adalah Ki Ageng Sora Dipayana, yang pada saat itu menjadi kepala
daerah Perdikan Pangrantunan. Sekarang, di bekas daerah yang terkenal itu
berkibar panji-panji sebuah gerombolan dari golongan hitam. Ini adalah suatu
hal yang aneh. Tidak adakah seorangpun murid Ki Ageng Sora Dipayana yang dapat
mempertahankan kebesaran namanya…? Ataukah memang Ki Ageng Sora Dipayana tidak
mengambil seorang murid pun…? Atau barangkali gerombolan Sima Rodra ini sudah
merasa demikian kuatnya sehingga berani meremehkan kebesaran Ki Ageng Sora
Dipayana…?
Hal itu hanyalah mungkin apabila gerombolan Sima Rodra ini
seperti juga gerombolan Lawa Ijo, yang didalangi oleh salah seorang dari
tokoh-tokoh golongan hitam. Tetapi kemungkinan ini adalah tipis sekali.
Keberadaan Pasingsingan dalam kalangan hitam telah cukup mengejutkan, sehingga
Ki Ageng Pandan Alas sendiri perlu membayanginya, untuk membuktikan
kebenarannya. Apalagi tokoh-tokoh lain, yang tidak seaneh Pasingsingan,
pastilah akan semakin menggemparkan. Karena hal-hal yang mencurigakan itu, maka
Mahesa Jenar harus berhati-hati untuk tidak mengalami hal-hal yang merugikan
dirinya serta tugasnya. Dengan penuh kewaspadaan ia berjalan selangkah demi
selangkah mendekati desa yang berada di hadapannya, yang menurut ingatannya
adalah desa Pangrantunan. Dahulu, saat Mahesa Jenar belum lama berguru, pernah
diajak gurunya bersama sama dengan Kebo Kenanga menjelajahi hampir seluruh
pulau Jawa bagian tengah. Dan pada suatu kali ia pernah diajak pula mampir ke
Pangrantunan. Sayang pada saat itu Ki Ageng Sora Dipayana sedang tidak di
rumah, sehingga mereka tidak dapat bertemu. Meskipun demikian, oleh gurunya
banyak yang diceriterakan tentang orang ini. Tentang
keistimewaan-keistimewaannya, serta tentang budinya yang luhur. Ketika Mahesa
Jenar telah mendekati desa itu, maka kesan pertama-tama didapatnya adalah,
daerah ini telah mengalami banyak kemunduran. Dinding-dinding desa sudah tidak
serapi beberapa tahun yang lalu. Saluran-saluran air juga telah tidak teratur,
bahkan banyak parit yang kering. Maka semakin nyatalah bagi Mahesa Jenar bahwa
sepeninggal Ki Ageng Sora Dipayana, tak ada orang lain, baik keturunannya
maupun muridnya yang dapat melanjutkan memelihara kebesaran nama daerah ini.
Rupanya Ki Ageng Sora Dipayana setelah memutuskan menarik diri dari pergaulan,
sudah tidak menaruh perhatian lagi kepada daerahnya.
Maka, ketika Mahesa Jenar melihat seorang petani tua sedang
mencangkul tanah yang tampaknya keras dan tandus, ia memerlukan mendekatinya.
Barangkali darinya dapat didengar ceritera tentang sebab-sebab kemunduran
daerah ini, serta yang penting panji-panji yang dipancangkan oleh Sima Rodra
itu. Melihat orang asing mendatanginya, maka petani tua itu pun berhenti
mencangkul, serta mengawasi Mahesa Jenar dengan saksama. Meskipun pandangan
matanya tidak memancarkan kecurigaan, tetapi jelas mengandung
pertanyaan-pertanyaan. Setelah sampai di hadapan orang itu, segera Mahesa Jenar
membungkuk hormat. Orang itu ternyata juga orang yang ramah dan sopan. Karena
itu sambil tertawa ia pun membungkuk hormat. Malahan sebelum Mahesa Jenar
bertanya, ia sudah mendahuluinya.
“Selamat datang di daerah ini Anakmas, rupa-rupanya Anakmas
memerlukan pertolonganku?”
Mendapat sambutan yang demikian ramahnya serta tak
diduga-duga, Mahesa Jenar terperanjat. Maka cepat-cepat dijawabnya,
“Mudah-mudahan kedatanganku tidak mengganggu pekerjaan
Bapak.”
“Tidak… tidak… sama sekali tidak. Apakah yang dapat aku
kerjakan untuk Anakmas?” sahut orang itu.
“Aku ingin mendapat beberapa keterangan mengenai daerah
ini,” jawab Mahesa Jenar.