“TUAN, barangkali aku dapat
mengenal semua orang di sini sedemikian baiknya, seperti juga Ki Ardi. Tetapi
nama itu belum aku dengar. Mungkin disamping namanya ia mempunyai sebutan lain,
atau barangkali Tuan dapat mengatakan kepadaku bagaimanakah ciri-ciri orang
itu?” jawab Sagotra.
Mahesa Jenar menggeleng
perlahan-lahan. Katanya,
“Aku sendiri belum pernah
mengenal wajahnya. Ia adalah kakek gadis itu. Nah, mungkin kau dapat bertanya
kepadanya. Marilah kita tengok ia, barangkali sudah bangun.”
Sagotra tidak menjawab. Segera ia
berdiri dan berjalan di belakang Mahesa Jenar. Tetapi mendadak terjadilah
sesuatu yang mengejutkan. Cepat seperti kilat, Mahesa Jenar meloncat ke arah
tikar yang masih terbentang. Tetapi Rara Wilis sudah tidak ada lagi terbaring
diatasnya. Jantung Mahesa Jenar bergelora hebat sekali. Sadarlah ia bahwa ia
telah berbuat suatu kelengahan. Di daerah yang berbahaya serta mengandung
banyak rahasia ini, ia telah terlalu lama meninggalkan Rara Wilis seorang diri.
Segera ia berdiri tegak serta mengangkat kepalanya. Memusatkan pikiran serta
segenap pancainderanya untuk menangkap tiap-tiap gerakan maupun suara di
sekitarnya. Tetapi tidak ada yang tampak selain daun dan ranting yang
digoyangkan angin, serta tak ada yang didengar selain gemersik dedaunan itu,
serta tarikan nafas Sagotra.
MAHESA JENAR adalah seorang yang
cukup matang. Ia memiliki ketenangan pikiran serta kecepatan bertindak. Tetapi
meskipun demikian, kali ini hampir kehilangan semua sifat-sifatnya itu. Pada
saat ia menghadapi Pasingsingan, ia masih tetap sadar dan dapat menguasai
pikiran sepenuhnya. Tetapi sekarang ia menghadapi suatu peristiwa yang belum
pernah dirasakan. Hilangnya Rara Wilis dirasakannya sebagai suatu peristiwa
yang langsung menusuk perasaannya yang paling dalam. Dalam ketidaksadarannya
tiba-tiba Mahesa Jenar berlari ke sana ke mari sambil memanggil-manggil nama
Rara Wilis. Melihat sikap Mahesa Jenar yang demikian itu, Sagotra menjadi heran
bercampur cemas, sehingga terpaksa ia pun turut berlari-lari kian kemari.
Tetapi sebagai orang yang lebih tua, tahulah Sagotra bahwa Mahesa Jenar tidak
hanya merasa bertanggung jawab atas hilangnya Rara Wilis, tetapi pastilah ada
suatu perasaan yang jauh lebih dalam daripada itu. Dan memang demikianlah
kiranya. Mahesa Jenar mencoba mendesak perasaan-perasaan yang menyentuh-nyentuh
hatinya terhadap Rara Wilis, tetapi ternyata perasaan itu telah menyangkut di
hatinya sedemikian eratnya. Hilangnya Rara Wilis dirasakannya sebagai hilangnya
sebagian dari jiwanya sendiri.
Sampai beberapa saat masih saja
Mahesa Jenar memanggil-manggil Rara Wilis. Tetapi tidak ada suara yang
menyambutnya. Sehingga ketika Mahesa Jenar sudah pasti, bahwa Rara Wilis telah
lenyap, menggelegaklah darahnya. Tubuhnya bergetar, serta giginya gemeretak.
Tiba-tiba saja ia ingin menghancurkan apa saja yang ada di sekitarnya untuk
menyalurkan amarahnya. Dalam keadaan yang demikian, dengan penuh kemarahan
Mahesa Jenar menyalurkan segala kekuatannya ke sisi telapak tangannya,
disilangkannya tangan kirinya di muka dada, serta diangkatnya tangan kanannya
tinggi-tinggi. Dengan sekali loncat ia telah berdiri disamping sebuah batu
seperut kerbau. Maka dengan menggeram hebat sekali, dihantamnya batu itu sampai
pecah berserakan.
Sagotra adalah seorang penjahat
yang telah banyak makan garam. Telah banyak sekali ia menyaksikan betapa
hebatnya Lawa Ijo. Tetapi ketika ia menyaksikan apa yang telah dilakukan oleh
Mahesa Jenar, tubuhnya menjadi gemetar. Pada saat ia menyaksikan Lawa Ijo
terluka parah, sama sekali ia tidak percaya, bahwa luka itu disebabkan oleh
karena pukulan tangan saja. Ia menyangka, bahwa orang yang telah melukainya
pasti mempergunakan senjata rahasia atau sebangsanya. Tetapi sekarang, ketika
ia berkesempatan untuk menyaksikan sendiri, akibat dari pukulan orang yang
telah melukai Lawa Ijo itu, bulu tengkuknya serentak berdiri. Kalau misalnya
saja, pukulan itu dikenakan kepalanya, pastilah akan hancur berserakan pula
lebih dari batu itu. Diam-diam Sagotra mengucap syukur dalam hatinya, bahwa
Mahesa Jenar tidak masuk dalam jebakan mereka. Sebab kalau sampai hal itu
terjadi, maka akibatnya pasti hebat sekali. Meskipun gerombolannya berjumlah 20
orang, serta diantaranya ada orang-orang seperti Wadas Gunung, Carang Lampit
yang mempunyai kepandaian hampir setingkat Wadas Gunung, Bagolan yang terkenal
mempunyai aji welut putih, serta beberapa orang lagi, tetapi sulitlah kiranya
untuk dapat menangkap Mahesa Jenar. Andaikata itu bisa terjadi, pastilah lebih
dari separo diantaranya sudah tak lagi sempat menyaksikan datangnya fajar.
Tetapi belum lagi Sagotra habis berangan-angan, tiba-tiba matanya terbelalak
lebar, tubuhnya semakin gemetar lagi, serta peluh dingin mengalir membasahi
seluruh badannya. Pada saat itu, Mahesa Jenar yang tidak puas dengan pelepasan
amarahnya, mendadak meloncati Sagotra dan langsung memegang leher orang itu,
sambil menggeram,
“Setan, rupanya kau telah
memancing aku untuk menjauhi Wilis.”
Belum lagi Mahesa Jenar berbuat
sesuatu, nafas Sagotra telah terasa sesak. Ingin ia menjawab, tetapi tak
sepatah katapun keluar dari mulutnya, karena ketakutannya yang amat sangat. Ia
tahu betul, bahwa dalam keadaan yang demikian dapat saja Mahesa Jenar bertindak
diluar kesadarannya. Wajah Mahesa Jenar yang lunak, kini telah berubah menjadi
merah membara dibakar oleh kemarahannya. Kedua tangannya yang memegang leher
Sagotra semakin lama semakin menekan.
Kini nafas Sagotra benar-benar
menjadi sesak. Tangan Mahesa Jenar itu terasa demikian erat mencekik lehernya,
sampai akhirnya ia merasa, bahwa akhir hidupnya telah tiba, justru karena hal
yang sama sekali tak diketahuinya. Tetapi ketika telah terasa, bahwa harapan
untuk hidup sudah tidak ada lagi, hatinya malahan menjadi tenang.
“Tuan, aku tidak akan menghindarkan
diri dari hukuman yang akan Tuan jatuhkan atas diriku. Sebab hal yang demikian
adalah wajar sekali. Tetapi yang aku sangat sedih adalah justru kematianku
disebabkan oleh suatu hal yang sama sekali tak kumengerti. Sebab aku sama
sekali tak sengaja menjauhkan Tuan dari gadis itu. Maka, kalau Tuan benar-benar
akan membunuhku, bunuhlah aku sebagai salah seorang anggota gerombolan Lawa Ijo
yang ingin mencelakakan Tuan,” kata Sagotra suara susah payah.
Ternyata kata-kata yang diucapkan
dalam keadaan yang putus asa itu, dapat menyentuh kesadaran Mahesa Jenar.
Apalagi ketika Mahesa Jenar sejenak memandang wajah Sagotra yang kasar, jelek
dan kotor, tetapi yang dari matanya memancar keputus-asaan dan kekosongan.
Bahkan lama-kelamaan berubah menjadi seperti mata kanak-kanak yang belum pernah
dijamah dosa. Maka sedikit demi sedikit Mahesa Jenar dijalari kembali oleh
sifat-sifatnya, serta sedikit demi sedikit pikirannya dapat bekerja kembali.
Sejalan dengan itu pegangan tangannya pun menjadi semakin kendor dan kendor,
sehingga akhirnya dilepaskanlah leher Sagotra itu sama sekali.
“Maafkanlah aku, Sagotra,” bisik
Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata itu kembali
hati Sagotra melonjak hebat sekali. Hampir saja air matanya tidak lagi dapat
ditahannya.
“Sagotra…,” kata Mahesa Jenar
selanjutnya, yang bagaimanapun masih ingin mendapat lebih banyak penjelasan,
“Benarkah kau tidak berbuat itu?”
“Tuan, memang aku dapat memahami
tuduhan itu. Tetapi sebenarnyalah, bahwa kedatanganku sama sekali tak ada
hubungannya dengan hilangnya gadis itu. Kecuali kalau hal ini dilakukan oleh
orang-orang segerombolanku di luar rencana semula,” jawab Sagotra.
Mahesa Jenar menundukkan kepala.
Tetapi ia dapat mempercayai kata-kata Sagotra. Sebab andaikata hal itu
dilakukan oleh kawan-kawan Sagotra, bahkan Jaka Soka sekalipun, ia pasti akan
dapat menangkap suara ataupun gerak dari orang itu, sebab untuk mengalahkan
Sagotra ia sama sekali tidak perlu memusatkan segala perhatiannya. Apalagi
jarak mereka dengan Rara Wilis berbaring tidaklah demikian jauhnya. Karena itu
ia menduga, bahwa hal ini dilakukan oleh seseorang yang memiliki kehebatan luar
biasa pula. Tiba-tiba bulu tengkuknya meremang, ketika ia mengingat betapa
cepatnya Pasingsingan bertindak. Perlahan-lahan ia berjalan menuju ke tikar
yang masih terbentang itu. Tiba-tiba Mahesa Jenar melihat bungkusan Rara Wilis
masih juga ada di situ. Ia jadi teringat, bahwa dalam bungkusan itu terdapat
sebilah keris pusaka Ki Ageng Pandan Alas, yaitu Kiai Sigar Penjalin. Tetapi
alangkah terkejut serta kecewanya ketika ternyata keris itu telah lenyap pula.
Akhirnya seperti orang yang dicopoti segala tulangnya. Ia duduk lemas diatas
tikar Rara Wilis. Sagotra yang masih saja mengikutinya kemana ia pergi, duduk
pula di atas tikar di belakang Mahesa Jenar. Tetapi sama sekali ia tidak berani
menegurnya. Angin malam masih saja berhembus silir, yang bagi Mahesa Jenar
terdengar sebagai sebuah lagu sedih yang mengiringi ratapan hatinya. Tiba-tiba
saja ia merasa, bahwa tanpa disengaja ia telah menguntai butiran-butiran mutiara
harapan yang kini telah terenggut dan berderai berserakan. Alangkah dalam luka
yang dideritanya. Dua masalah yang sekaligus menghancurkan perasaannya. Sebagai
seorang laki-laki langsung ia telah dihinakan. Sebuah pertanggungjawaban yang
digenggamnya telah dirampas oleh orang tanpa dapat berbuat apa-apa, dan
sekaligus yang hilang itu adalah sebagian dari jiwanya pula. Dalam keadaan yang
demikian tiba-tiba seperti orang bermimpi Mahesa Jenar mendengar alunan lagu
Dandanggula sayup-sayup sampai. Mendengar lagu itu, geragapan Mahesa Jenar
berdiri. Meskipun lagu itu tidak begitu jelas, tetapi segera Mahesa Jenar
mengenal, bahwa Dandanggula itu telah dibawakan oleh seorang yang oleh
Pasingsingan beberapa hari yang lalu disebut Pandan Alas. Seperti juga beberapa
hari yang lalu, suara itupun bergulung-gulung berkumandang memenuhi segala
penjuru. Sehingga sulitlah bagi Mahesa Jenar untuk mengetahui dengan pasti arah
suara itu.
Mahesa Jenar segera berdiri
tegak, kepalanya sedikit diangkat ke atas dengan memusatkan pancainderanya
untuk menangkap getaran Dandanggula yang lamat-lamat sampai ke telinganya. Pada
saat itu, perasaan Mahesa Jenar sedang bergolak hebat, karena hilangnya Rara
Wilis. Karena itu, seakan-akan Mahesa Jenar mendapat suatu tenaga rohaniah tambahan
yang cukup besar, sehingga kemampuan Mahesa Jenar pun seakan-akan bertambah.
Dengan demikian, setelah beberapa saat Mahesa Jenar berdiam diri, hampir
seperti orang bersamadi, perlahan-lahan ia dapat menangkap arah suara yang
sayup-sayup sampai ke telinganya itu. Maka ketika ia telah mendapat suatu
kepastian dari mana arah suara itu, cepat seperti kilat ia meloncat dan
kemudian menyusup gerumbul menuju arah barat. Sagotra bertambah heran
menyaksikan kelakuan Mahesa Jenar, disamping keheranannya mendengar suara lagu
Dandanggula itu. Karena itu ia pun segera berlari mengikuti Mahesa Jenar,
sehingga mereka berdua seolah-olah sedang bermain kejar-kejaran. Sebentar
kemudian Mahesa Jenar telah keluar dari gerumbul kecil itu, serta dengan
cekatan sekali ia melompat ke atas gundukan tanah yang agak tinggi untuk dapat
menangkap setiap gerak di padang rumput yang terbuka itu. Sebab mustahil kalau
sampai ada orang di padang terbuka yang sedemikian itu sampai terlepas dari
pengawasannya yang seakan-akan mempunyai kelebihan dibanding mata orang biasa.
Tetapi sampai beberapa saat, sama sekali ia tidak melihat suatu apapun. Sedang
suara Dandanggula itupun telah berhenti. Sementara itu, bulan pun telah rendah
sekali, hampir sampai ke garis cakrawala, sehingga malam menjadi semakin kelam.
Mahesa Jenar menjadi semakin mengeluh dalam hati. Dirasanya betapa picik
pengetahuan serta rendah ilmu yang dimilikinya, sehingga dalam keadaan seperti
ini sama sekali ia tidak berdaya. Pada mulanya ia merasa, bahwa cukuplah
kiranya bekal yang dimiliki untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang bakal
datang dalam perantauannya. Tetapi ternyata menghadapi tokoh-tokoh macam
Pasingsingan, Ki Ageng Pandan Alas, ia tidak lebih dari seorang anak kecil yang
baru pandai berdiri. Tiba-tiba saja ia menangkap bayangan yang membayang tepat
di hadapan wajah bulan yang hampir lenyap itu. Heranlah Mahesa Jenar, kenapa
baru saat itu ia menangkap bayangan yang berada di tempat terbuka. Dalam
keremangan bulan yang masih memancarkan sinarnya yang terakhir itu Mahesa Jenar
dapat melihat dengan jelas bayangan dari dua orang, laki-laki dan perempuan. Ia
hampir pasti bahwa perempuan itu adalah Rara Wilis, sedang laki-laki yang
membimbingnya itu tampak bertubuh kurus tinggi. Melihat hal itu berdebarlah
jantungnya cepat sekali. Tetapi ketika ia hampir saja melompat mengejar
bayangan itu, tiba-tiba ia menjadi tertegun heran. Kedua orang itu melambaikan
tangannya kepadanya, seakan-akan menyampaikan ucapan selamat tinggal.
TERASA ada suatu kesan yang aneh
meraba-raba hati Mahesa Jenar. Mula-mula timbul suatu perasaan yang sakit,
ketika ia melihat Rara Wilis bersama-sama dengan seorang laki-laki yang tidak
dikenalnya. Tetapi ketika Mahesa Jenar teringat akan lagu Dandanggula yang baru
saja didengarnya, segera teringat pulalah ia akan Ki Ageng Pandan Alas.
Lebih-lebih ketika ternyata laki-laki itu dengan tangannya yang lain
melambaikan sebilah keris yang tampak seperti membara di keremangan malam.
Tahulah Mahesa Jenar, bahwa itulah Sigar Penjalin yang sudah berada di tangan
pemiliknya. Juga mau tidak mau pastilah ia menghubungkan nama Ki Santanu dengan
Ki Ageng Pandan Alas. Maka dengan sedih serta hati yang kosong, diluar sadarnya
Mahesa Jenar mengangkat tangannya pula untuk melambaikan salam perpisahan.
Sesaat kemudian lenyaplah bayangan itu bersama dengan lenyapnya butiran-butiran
yang pernah berkilau di hatinya. Sekali lagi Mahesa Jenar lemas seperti
kehilangan segala tulang-belulangnya. Sebagaimana manusia biasa, ia merasa
betapa sedihnya perpisahan yang terjadi secara tiba-tiba itu. Terbayanglah
kembali segala peristiwa yang pernah terjadi, sejak pertama kalinya ia tertarik
kepada wajah Rara Wilis yang terselip diantara beberapa orang yang akan
menyeberang hutan Tambakbaya. Terbayang pula bagaimana pada malam pertama gadis
cantik itu ketakutan mendengar teriakan-teriakan binatang hutan, serta
bagaimana Jaka Soka berusaha untuk menculiknya, sehingga terpaksalah ia ikut
serta dalam perkelahian antara para pengawal dengan Jaka Soka. Dengan terpaksa
pula ia harus berhadapan untuk kedua kalinya dengan Lawa Ijo. Juga terbayang
dengan jelas, bagaimana selanjutnya ia harus mengantar Rara Wilis seorang diri
ke daerah Tambakbaya yang rasanya bagaikan tamasya yang tak akan terlupakan.
Juga pada saat terakhir dimana ia menunggui gadis itu, yang tidur dengan
nyenyaknya karena lelah. Kakinya, tangannya, dadanya yang penuh berisi serta
rambutnya yang bergerak-gerak dibelai angin.
Mahesa Jenar terduduk di
rerumputan liar sambil menutup mukanya dengan kedua belah tangannya. Ingin ia
segera melenyapkan segala kenang-kenangan itu. Tetapi semakin keras ia
berusaha, semakin jelas gambaran-gambaran itu menerawang di hatinya. Sagotra
juga masih saja berada di belakang Mahesa Jenar, dapat merasakan kesedihan
Mahesa Jenar sepenuhnya. Meskipun selama ini perasaannya dikuasai oleh nafsu
untuk membunuh, merampas dan sebagainya, tetapi sebagai manusia ia pun pernah
merasakan tali batin yang pernah menjeratnya. Tetapi sampai sekian, yang tak
dimengertinya, kenapa Mahesa Jenar sama sekali tak berbuat apa-apa ketika ia
menyaksikan bayangan yang tiba-tiba muncul di depan wajah bulan yang hampir
tenggelam itu. Meskipun ia tahu betapa hebatnya orang yang membawa Rara Wilis
itu, tetapi ia mengagumi Mahesa Jenar sebagai manusia luar biasa. Sehingga meskipun
dengan agak ragu-ragu ia beranikan diri untuk bertanya,
“Tuan, kenapa Tuan tidak
bertindak ketika mereka menampakkan diri di hadapan Tuan?”
Mahesa Jenar baru merasa bahwa ia
berkawan, ketika ia mendengar sapa itu. Perlahan-lahan ia menoleh, serta menjawabnya,
“Sagotra, tidakkah kau tahu siapa
dia? Sehingga tak akan bergunalah kalau aku mengejarnya.”
“Siapakah orang itu, Tuan?” tanya
Sagotra ingin tahu.
“Ki Ageng Pandan Alas,” jawab
Mahesa Jenar.
“Ki Ageng Pandan Alas…?” ulang
Sagotra terkejut.
“Jadi dialah orangnya yang
mempunyai kesaktian sejajar dengan Ki Pasingsingan? ”
Mahesa Jenar mengangguk perlahan,
sedang Sagotra dengan penuh ketakjuban menggeleng-gelengkan kepalanya. Itulah
sebabnya maka orang itu berhasil mengambil Rara Wilis tanpa diketahui oleh
orang seperti Mahesa Jenar.
“Kenapa Rara Wilis ia ambil?”
tanyanya lebih lanjut.
“Adakah hubungan antara mereka? ”
“Aku tidak tahu, Sagotra,” jawab
Mahesa Jenar.
“Tetapi yang aku ketahui adalah
Rara Wilis membawa keris Sigar Penjalin.”
“Itulah pusaka Ki Ageng Pandan
Alas,” potong Sagotra.
“Ya,” sambung Mahesa Jenar.
“Tetapi Rara Wilis mengatakan,
bahwa keris itu berasal dari kakeknya yang bernama Ki Santanu.”
Tiba-tiba saja karena
kata-katanya sendiri Mahesa Jenar teringat pada nama yang disebutkan Sagotra,
yaitu Ki Ardi. Apalagi ketika ia memandang ke arah selatan, masih tampaklah di
sana bayangan warna merah di udara. Maka timbullah kembali keinginannya untuk
bertemu dengan orang itu. Sebab darinya ia ingin mendapat beberapa keterangan
tentang orang-orang yang pernah tinggal di daerah itu. Karena itu katanya
kepada Sagotra,
“Sagotra, marilah antarkan aku
kepada Ki Ardi.”
“Masih adakah gunanya?” sahut
Sagotra.
“Aku tidak tahu, Sagotra. Tetapi
antarkan aku ke sana,” jawab Mahesa Jenar.
Maka dengan tidak menjawab lagi
Sagotra langsung berdiri serta bersama-sama Mahesa Jenar menempuh jalan ke arah
selatan menuju rumah Ki Ardi. Malam menjadi gulita, karena kedipan
bintang-bintang di langit tidak mampu menyibakkan gelapnya malam. Mereka
berjalan tanpa lagi banyak berbicara. Sagotra yang tampaknya sudah agak biasa
berjalan di daerah ini, berjalan di depan. Sedang Mahesa Jenar, meskipun belum
banyak mengerti tentang daerah yang dilalui, tetapi ia mempunyai pandangan yang
tajam sekali, sehingga tidaklah banyak menemui kesulitan. Maka setapak demi
setapak mereka mendekati arah api yang masih menyala-nyala. Setelah mereka
berjalan beberapa lama, melewati padang ilalang, serta menyusup
gerumbul-gerumbul kecil yang berserakan disana-sini, sampailah mereka di sebuah
bukit kapur yang kecil. Mahesa Jenar serta Sagotra tidak langsung menampakkan
diri, tetapi dari jarak beberapa depa mereka masih berdiri di semak-semak. Dari
situlah mereka menyaksikan tempat kediaman Ki Ardi
KI ARDI sendiri yang pada saat
itu sedang berada disamping api yang menyala nyala, sedang memahat sebuah batu
besar. Ternyata rumah Ki Ardi tidaklah lebih dari sebuah goa di bukit kecil
itu, yang langsung menghadap ke batu besar yang sedang dipahatnya. Ketika
Mahesa Jenar mengamat-amati pahatan Ki Ardi itu, ia menjadi kagum. Di atas batu
yang besar itu dipahatkan gambar seekor ular naga besar, yang tampaknya sedang
marah. Kepalanya menengadah ke atas, serta mulutnya menganga lebar. Disela-sela
giginya yang runcing mengerikan itu tampaklah lidahnya menjulur keluar. Sedang
ekor naga itu terurai ke belakang, berlekuk-lekuk. Di belakang serta di depan
ular yang sedang marah itu, tampaklah dua ekor yang tak kalah garangnya, siap
menerkam. Kuku-kuku serta taring-taring harimau itu tampak tajam menakutkan.
Sebelum itu Mahesa Jenar telah sering melihat pahatan-pahatan batu serta
patung-patung yang bagus buatannya di kota-kota. Bahkan candi-candi yang
termasyur pun telah sering pula dikunjungi. Namun pahatan Ki Ardi itu tidak
pula kalah indahnya. Garis-garisnya tegas dan mantap, sehingga pahatan itu
dapat mengungkapkan watak serta keadaan binatang-binatang itu sejelas-jelasnya.
Mereka yang menangkap pahatan itu segera akan dapat merasakan, bahwa
seolah-olah sebentar lagi akan terjadi pergulatan dahsyat antara naga raksasa
itu melawan dua ekor harimau yang ganas. Sagotra yang hampir sepanjang hidupnya
tak pernah mengenal arti bentuk semacam itu, tak begitu dapat mengenal betapa
tinggi nilai pahatan Ki Ardi. Yang tampak olehnya pada saat itu tidaklah lebih
gambar seekor naga yang hendak bertempur melawan dua ekor harimau. Tidak nampak
olehnya mata naga itu sedemikian menyala karena marahnya, sedang kedua harimau
itu telah begitu bernafsu untuk menguasai lawannya.
Mahesa Jenar yang mengagumi
keindahan pahatan itu, tidak jemu-jemu selalu memandanginya dengan saksama.
Baris demi baris dinilainya dari berbagai sudut. Tetapi lebih dari itu,
mendadak ia terperanjat. Hatinya bergoncang hebat, sampai diluar sadarnya ia
meloncat maju. Melihat hal itu, Sagotra menjadi terkejut pula. Apalagi yang
menyebabkan Mahesa Jenar berbuat demikian? Tidak pula kalah kagetnya Ki Ardi
sendiri, sampai-sampai ia terlonjak. Apa yang nampak pada Mahesa Jenar, lukisan
naga itu tidak lain daripada lukisan Keris Nagasasra. Ketika tanpa disengaja ia
menghitung lekuk tubuh naga itu yang berjumlah 11, maka Nagasasra itu sekaligus
mewujudkan dapur Sabuk Inten pula.
“Nagasasra Sabuk Inten…?” desis
Mahesa Jenar.
Ki Ardi yang masih belum dapat
menguasai dirinya, menjadi ketakutan, sampai tubuhnya gemetar. Tanpa
menduga-duga, tiba-tiba saja seseorang telah muncul di sampingnya tanpa suara.
Dengan mata yang menyorotkan berbagai dugaan Mahesa Jenar bergantian memandang
kepada Ki Ardi dan hasil pahatannya yang berwujud Nagasasra Sabuk Inten.
Melihat bentuk Naga yang hampir tepat seperti bentuk keris Kiai Nagasasra, yang
hanya berbeda ukurannya saja, pastilah Ki Ardi pernah setidak-tidaknya melihat
keris itu, sedang dapur Sabuk Inten yang menyamai lekuk keris Kiai Sabuk Inten
pun menimbulkan dugaan pada Mahesa Jenar bahwa Ki Ardi pernah melihat kedua
duanya, yang kebetulan pada saat ia meninggalkan Demak, kedua keris itu sedang
lenyap dari gedung perbendaharaan. Apalagi telah didengarnya pula dari Samparan
bahwa ada kepercayaan golongan hitam, bahwa kedua keris itu telah mempunyai
keturunan atau rangkapannya masing-masing yang justru sedang diperebutkan.
Tetapi yang masih belum dapat diketahui dengan pasti adalah yang diperebutkan
itu benar-benar rangkapannya atau malahan aslinya yang lenyap dari
perbendaharaan Kerajaan Demak. Berbagai pikiran hinggap pergi di kepala Mahesa
Jenar. Tetapi tidaklah mungkin kalau hal ini hanyalah suatu kebetulan. Atau
malah Ki Ardi termasuk salah seorang dari golongan hitam yang juga sedang
memperebutkan keris itu? Sedemikian besar keinginannya untuk memilikinya,
sehingga terwujud dalam pahatannya sebagai ungkapan perasaannya. Malahan
tiba-tiba Mahesa Jenar teringat pada kata-kata Samparan beberapa hari yang lalu
sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, bahwa di kalangan hitam terdapat nama sepasang
suami-istri Sima Rodra.
Tetapi menurut Samparan, Sima
Rodra itu berdiam di Gunung Tidar. Namun tidak mustahil kalau si suami pergi
merantau dalam usahanya menemukan Nagasasra dan Sabuk Inten. Kalau demikian
halnya, anehlah kalau Lawa Ijo sampai tidak tahu, bahwa di daerahnya bermukim
salah seorang saingannya. Kalau saja Sagotra yang tidak mengerti, itu adalah
hal yang wajar. Tetapi apa yang dilukiskan dalam pahatan itu, hampir jelas
sekali. Dua ekor harimau yang dikatakan itu adalah suami Sima Rodra yang sedang
siap menerkam seekor naga yang melukiskan Keris Kyai Nagasasra sekaligus Kyai
Sabuk Inten. Karena itu Mahesa Jenar ingin mendapatkan kepastian dari
dugaannya. Kalau saja orang itu benar-benar Sima Rodra, pastilah ia mempunyai
ketahanan yang setingkat dengan Lawa Ijo. Karena itu ia tidak ingin terlibat
dalam pertempuran, sebab dalam keadaannya yang sekarang ini, dimana jiwanya
sedang bergolak, maka tidaklah mustahil baginya, segera mengambil keputusan
untuk mempergunakan ilmunya Sasra Birawa apabila sedikit saja ia terdesak.
Karena itu ia ingin dengan singkat serta tanpa diduga-duga, menguasai orang
itu, sehingga tidak usah terjadi pertempuran. Sedang ia akan dapat memaksa
lawannya untuk memberi keterangan tentang kedua keris itu. Maka setelah Mahesa
Jenar mendapat kepastian pikiran, segera dengan gerakan kilat ia meloncat
menangkap dengan tangkapan mati pergelangan tangan Ki Ardi. Tetapi apa yang
dialami adalah diluar dugaan. Ketika tangannya menyentuh kulit Ki Ardi
terasalah bahwa tangan itu sedemikian kendornya, serta tak bertenaga. Sehingga
Mahesa Jenar malah terkejut. Dengan tak disengaja maka mulailah Mahesa Jenar
memandangi tubuh Ki Ardi. Ternyata baru saat itulah ia dapat mengenal tubuh itu
dengan seksama, sebab sejak kehadirannya, perhatiannya telah terikat oleh
pahatan orang itu.
Ki Ardi meskipun tidak tergolong
tinggi, namun ia tidaklah pendek. Umurnya telah agak lanjut, dan ini ditandai
oleh kerut-kerut mukanya serta rambutnya yang sudah putih. Ketika Mahesa Jenar
memandang mata orang tua, yang menatapnya dengan keheran-heranan atas
kelakuannya, Mahesa Jenar menjadi terkejut. Meskipun orang itu matanya yang
tampaknya sedemikian bening, seolah-olah air di dalam sumur, yang dalam sekali.
Juga nampaklah dasarnya yang berputar-putar semakin lama semakin dalam,
seakan-akan sumur itu akan mengisap hanyut. Mahesa Jenar menjadi semakin heran,
bahkan kemudian menjadi cemas, sebab dirinya menjadi seakan-akan ikut serta
berputar semakin cepat. Sadarlah Mahesa Jenar kemudian, bahwa ia sama sekali tidak
berhadapan dengan seorang yang mengutamakan kekuatan jasmaniah. Tetapi orang
tua itu ternyata mempunyai kekuatan batin yang luar biasa, sehingga dengan
kekuatan itu ia dapat mempengaruhi orang lain. Akhirnya Mahesa Jenar tidak
tahan lagi melihat perputaran yang melilitnya itu, sehingga segera tangan Ki
Ardi dilepaskan dan ia meloncat tiga langkah surut. Sagotra sama sekali tidak
tahu maksud serta akibat perbuatan Mahesa Jenar itu, sehingga ia masih saja
berdiri diam seperti patung. Tetapi ia menjadi heran, ketika dilihatnya
tiba-tiba Mahesa Jenar membungkuk hormat kepada orang itu, sambil berkata,
“Maafkan aku Ki Ardi, aku telah
salah duga terhadap Bapak”.
Ki Ardi masih saja memandanginya
dengan sorot mata keheranan. Bahkan kesan-kesan ketakutannya pun masih ada. Dan
inilah yang menjadikan Mahesa Jenar semakin pening. Orang yang mempunyai
pengaruh sedemikian besarnya, hanya dengan sorot matanya saja, tetapi yang
seakan-akan tidak sadar akan kekuatannya sendiri, sehingga masih saja berkesan
ketakutan. Mengalami hal yang demikian Mahesa Jenar berpikir keras.
Bagaimanapun, ia adalah seorang bekas prajurit pengawal raja yang sudah sering
mengalami hal-hal yang tampaknya diluar kewajaran. Maka dalam hal itu pun
segera Mahesa Jenar sadar, bahwa pastilah ada suatu rahasia yang menyelubungi
orang tua itu. Pastilah ada hal-hal yang sengaja disembunyikan. Mungkin ia
sengaja berbuat demikian supaya orang tidak mengenal atau menduga, bahwa
sebenarnya ia mempunyai kelebihan dari orang lain.
Maka dengan hormatnya, sekali
lagi Mahesa Jenar berkata,
“Maafkan, aku yang salah duga
terhadap Bapak”.
Sejenak kemudian tampaklah bibir
orang itu bergerak-gerak dan terdengarlah suaranya kecil bergetar,
“Tuan, apakah salahku sehingga
Tuan menyakiti aku?”
Mahesa Jenar menundukkan mukanya
dengan penuh penyesalan atas kelancangannya. Maka jawabnya,
“Bapak, sama sekali Bapak tidak
bersalah. Tetapi akulah yang berbuat kesalahan terhadap Bapak.”
Orang tua itu tidak menjawab
lagi. Hanya matanya yang sudah cekung itu merenung jauh sekali menembus gelap
malam. Kembali Mahesa Jenar kagum atas mata itu, yang seakan-akan dapat menelan
segala isi padang ilalang luas itu, bahkan isi dari hutan Tambakbaya. Ingin ia
menghubungkan orang tua ini dengan Ki Ageng Pandan Alas yang diduganya juga Ki
Santanu. Tetapi Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang yang mempunyai kekuatan
jasmaniah luar biasa, sehingga hanya dengan kapak batu kuno ia dapat melukai
sebatang pohon yang besarnya lebih dari empat pemeluk, hampir separonya.
Sedangkan orang tua ini mempunyai tubuh yang kendor dan sama sekali tak
bertenaga. Apalagi baru beberapa saat berselang Ki Ageng Pandan Alas pergi
bersama-sama Rara Wilis. Meskipun demikian, setiap kemungkinan bisa terjadi.
Mengingat hal itu semua, Mahesa Jenar semakin sibuk berpikir. Akhirnya ia
mengambil ketetapan bahwa sebaiknya ia dengan baik-baik bertanya, mengenai
pahatan itu.
“Bapak…, yang kau lakukan
mendorong keinginanku untuk mengetahui pahatan yang sedang Bapak buat itu,”
kata Mahesa Jenar.
Orang itu menjadi heran mendengar
kata-kata Mahesa Jenar.
“Adakah dengan membuat pahatan
ini aku telah berbuat kesalahan terhadap tuan?” jawab orangtua itu.
“Tidak Bapak,” sahut Mahesa Jenar
cepat-cepat,
”Tetapi bolehkah aku bertanya,
apakah yang sedang Bapak pahat itu?”
Kembali orang itu heran. Kemudian
dengan langkah yang lambat serta agak kebongkok bongkokan orang itu berjalan
menjauhi pahatannya beberapa depa, lalu mengamat-amati dengan seksama.
Tiba-tiba saja ia tersenyum,
serta matanya menjadi cerah.
“Pahatanku sudah hampir selesai.
Apa yang tadi tuan tanyakan?”
“Pahatan itu…. Apakah yang sedang
Bapak pahat?” tanya Mahesa Jenar.
“Tidakkah Tuan tahu…. ” kata
orang tua itu sambil mendekati pahatannya. Dan kemudian diraba-rabanya hasil
kerjanya itu dengan mesra.
“Bukankah ini seekor naga? Katakanlah
Tuan, apakah aku tidak berhasil melukis seekor naga?”
“Tentu, tentu,” jawab Mahesa
Jenar dengan cepat.
“Lalu apa yang Tuan tanyakan?”
tanya orang tua itu.
“Maksudku, apakah yang Bapak
lukiskan itu seekor naga, atau suatu bentuk dari benda-benda yang pernah Bapak
lihat sebelumnya?”
Orang tua itu semakin heran.
“Adakah Tuan pernah melihat
sesuatu benda yang mirip dengan pahatanku ini?”
Mahesa Jenar jadi ragu. Mula-mula
ia ingin mengatakan tentang keris Nagasasra yang mempunyai bentuk yang sama
dengan pahatan naga itu. Mustahil kalau kesamaan itu hanyalah kebetulan saja.
Kesamaan cita dalam cipta yang sampai sedemikian dekatnya dengan aslinya.
Kesamaan yang sedemikian itu pastilah yang satu diilhami oleh yang lain atau
malahan salinan sepenuhnya. Tetapi akhirnya diurungkannya keinginan itu. Karena
tidak akan banyak gunanya. Sebab pastilah orang tua itu sengaja merahasiakan.
Akhirnya Mahesa Jenar hanya berkata,
“Tidak… Bapak, tetapi apa yang
Bapak pahatkan adalah suatu bentuk yang dahsyat sekali. Ataukah Bapak pernah
melihat seekor naga yang sedemikian?”
KI Ardi mengerutkan keningnya.
Tetapi sejenak kemudian ia tersenyum.
“Belum, Tuan. Aku belum pernah
melihat seekor naga pun. Yang pernah aku lihat hanyalah ular-ular kecil yang
sering berkeliaran di sekitar tempat ini. Tetapi aku pernah mendengar dongeng
dongeng tentang seekor naga. Nah, menurut gambaran angan anganku sedemikianlah
kira-kira bentuknya.”
Kembali orang tua itu meraba-raba
pahatannya. Ia nampaknya bangga serta bahagia sekali atas hasil kerjanya.
“Tuan…,” katanya kemudian,
“Silakan Tuan berdua duduk. Aku
ingin menyelesaikan pekerjaan ini, sekarang juga. Sebab tidaklah mungkin untuk
ditunda. Sementara itu silakan Tuan mendengarkan dongeng tentang naga yang
sedang aku pahatkan ini.”
Tanpa menunggu jawaban, Ki Ardi
segera mulai dengan kerjanya kembali. Mahesa Jenar dan Sagotra segera mengambil
tempat duduk di dekat api yang masih menyala-nyala. Suaranya gemeretak, karena
ledakan-ledakan kecil yang ditimbulkan oleh dahan-dahan yang sedang dimakan api.
Sambil memahat, Ki Ardi mulai
berceritera.
“Naga ini menurut ceritera
dilahirkan dalam dua alam yang berbeda tempatnya. Tetapi dalam pahatanku ini,
tidaklah kedua-duanya aku lukiskan, tetapi aku ingin mendapat satu bentuk
kesatuan dari dua ekor naga itu. Seekor naga dilahirkan di samodra, sedangkan
satu lagi dilahirkan di angkasa. Tetapi di atas bumi ini mereka bertemu dan
bersahabat. Keanehan dari kedua ekor naga itu adalah, yang seekor bersisikkan
emas, sedangkan yang seekor, di leher, perut serta ekornya berbalutkan intan
permata. Pada suatu hari, raja yang sedang berkuasa diatas bumi ini, merasa
disusahkan oleh seorang putrinya,” kata Ki Ardi mengawali ceritanya.
“Putri itu,” lanjut Ki Ardi,
“jatuh cinta kepada seorang yang
sama sekali tak dikehendaki oleh ayahandanya. Sebab laki-laki itu bukanlah
laki-laki biasa. Menurut ceritera, laki-laki itu berasal dari bintang kemukus
yang sering membawa bencana. Hanya karena laki-laki itu terlalu sakti, maka
tidak ada yang berani mengganggunya. Maka pada suatu ketika bertemulah raja itu
dengan kedua ekor naga yang sedang merantau mengelilingi bumi ini. Raja itu
kemudian minta kedua ekor naga itu untuk mengusir laki-laki yang mengganggu
puterinya. Kedua ekor naga itu menyanggupinya. Didatanginya laki-laki yang berasal
dari bintang kemukus itu. Maksudnya, apabila tidak perlu, masalahnya akan
diselesaikan dengan damai. Tetapi rupanya laki-laki itu merasa yakin akan
kesaktiannya, sehingga akhirnya terjadilah pertempuran yang maha dahsyat. Kedua
ekor naga itu pun ternyata mempunyai kesaktian yang luar biasa. Laki-laki itu
dengan bersenjatakan petir di kedua belah tangannya menyerang dengan ganasnya,
sedangkan naga yang bersisik emas itu, dari mulutnya menyembur api yang
menyala-nyala. Sementara itu naga yang bersisik intan permata itu, dari kedua
matanya memancar sinar yang beracun.”
“Tetapi karena kesaktian mereka
masing-masing, senjata-senjata itu hampir tidak banyak berguna. Laki-laki
bintang itu ternyata tidak saja mampu bertempur di atas daratan. Sekali-sekali
ia terjun pula ke dasar lautan. Tetapi naga yang lahir di dalam samodra itu
tidak membiarkannya. Disusullah ia ke dasar lautan dan bertempurlah mereka di
sana. Air laut pun menjadi bergolak seakan-akan mendidih. Kalau laki-laki itu
jemu bertempur di lautan, terbanglah ia ke angkasa. Dan bertempurlah mereka di
udara.”
“Demikian dahsyat pertempuran itu
sampai langit menjadi gelap, hanya kadang-kadang saja memancar kilat dan petir
disela oleh semburan api yang tak terkira panasnya, keluar dari mulut naga
bersisik emas itu.”
“Demikianlah pertempuran itu
berlangsung sampai 40 hari, 40 malam. Tetapi masih saja belum ada yang nampak
akan kalah. Bahkan pertempuran itu semakin lama semakin sengit. Sekali waktu
terjadi di dalam samodra, dan sekali waktu di angkasa,” cerita Ki Ardi.
Tiba-tiba orang tua itu berhenti,
sambil perlahan-lahan ia berjalan mundur menjauhi pahatannya. Sebentar ia
tersenyum dan sebentar kemudian keningnya berkerut.
“Tuan, pahatanku telah selesai.
Apakah kata tuan tentang ini?” kata orangtua itu kepada Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar yang sejak semula
telah merasakan keindahan pahatan itu menjawab,
“Bagus, Ki Ardi.”
Ki Ardi tertawa perlahan. Lalu
sambungnya,
“Baru sekarang aku mendapat
pujian atas hasil kerjaku. Selama ini tidak pernah seorang pun, jangankan
pujian-pujian, sedang perhatian saja tidak pernah aku dapatkan. Sagotra dengan
kawan-kawannya yang sering berkeliaran di daerah ini, sama sekali tidak dapat
menikmati hasil pekerjaanku. Nah, Sagotra, apa katamu sekarang?”
Sagotra yang sejak tadi berdiam
diri, menjadi agak bingung untuk menjawab pertanyaan Ki Ardi itu. Maka ia
menjawab sekenanya saja,
“Bagus, Ki Ardi.”
Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh
mendengar jawaban Sagotra.
“Apa yang bagus?”
Sagotra menjadi agak tersipu
mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak mau kalah.
“Nagamu itu Ki Ardi, kalau saja
bersisikkan emas benar-benar, serta berbalutkan intan permata, mungkin umurmu
tidak lebih dari malam ini.”
Kembali Ki Ardi tertawa
terkekeh-kekeh.
“Pastilah itu terjadi kalau
nagaku benar-benar seperti dongeng yang pernah aku dengar itu. Tetapi sesudah
kau bunuh aku, kau juga akan mati ditelan nagaku ini.”
Rupanya Sagotra bukan ahli
berdebat.
“Orang tua gila. Kalau kau
tanyakan pendapat orang lain mengenai pahatanmu itu, pastilah kau mengharap
orang itu memujinya. Tetapi pahatanmu itu sebenarnya sangatlah jelek,” gerutu
Sagotra.
Ki Ardi masih saja tertawa.
Rupanya ia sudah biasa bergaul dengan Sagotra serta kawan-kawannya Lawa Ijo
yang lain.
“Sebaiknya kau makan dulu, baru
menilai pahatanku ini. Nah masuklah ke mulut gua itu, nanti kau akan
mendapatkan jagung bakar. Makanlah itu, baru kau memberikan pendapatmu,” kata
Ki Ardi kepada Sagotra.
Tetapi Sagotra rupanya malu
dengan adanya Mahesa Jenar di situ. Karena itu pura-pura saja ia tidak
mendengar. Bahkan ia berkata terus,
“Ki Ardi, aku lebih suka
mendengar dongenganmu daripada menyaksikan pahatanmu itu.”
Sambil masih tertawa, Ki Ardi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah aku lanjutkan dongeng
itu, tetapi aku ingin bertanya, siapakah kawan barumu ini?”
Mendengar pertanyaan itu darah
Mahesa Jenar tersirap, sedang Sagotra menjadi bingung, bagaimana harus menjawab
pertanyaan itu. Sebentar mereka berdiam diri mencari jawaban, akhirnya Mahesa
Jenar yang menjawab,
“Ki Ardi aku dan Sagotra secara
kebetulan saja bertemu di perjalanan. Dan Sagotra telah berbaik hati
mengantarkan aku ke arah api yang Bapak nyalakan.”
Ki Ardi mengangguk-angguk kecil.
“Anehlah kalau hal itu terjadi.
Biasanya apa yang dilakukan oleh Sagotra dan kawan-kawannya membunuh dan merampas
terhadap siapa saja yang dijumpainya di daerah ini, ” lanjutnya.
“Ki Ardi, jangan kau membual.
Lebih baik kau berkata atau berceritera tentang hal-hal yang baik, potong
Sagotra dengan nada tidak senang.”
Mendengar kata Sagotra yang
diucapkan dengan nada keras, Ki Ardi nampak agak takut juga.
Maka katanya membetulkan,
“Maaf Sagotra… maksudku bukan
tidak baik, aku hanya ingin bergurau saja. Nah sekarang aku lanjutkan saja
ceriteraku.”
Kemudian Ki Ardi mengambil tempat
duduk di hadapan Mahesa Jenar, juga di dekat api. Sebentar kemudian mulailah ia
melanjutkan ceriteranya.
“Kedua ekor naga itu, yang telah
berumur 40 hari 40 malam, belum dapat menguasai lawannya. Karena itu
pertempuran semakin bertambah sengit. Seluruh penduduk bumi menjadi ketakutan.
Tidak ada tempat untuk mengungsikan diri. Sebab pertempuran itu terjadi di
seluruh permukaan bumi, di seluruh lautan, dan diseluruh langit. Raja bumi itu
pun menjadi bertambah prihatin. Apalagi putrinya setiap hari selalu menangis
saja. Tetapi untuk mengabulkan permintaan putri itu, tidak terlintas di dalam
pikiran ayahanda raja. Karena itu ia tidak tahu apa yang akan dikerjakan.
Akhirnya ia terpaksa menunggu saja akan kesudahan pertempuran yang maha dahsyat
antara laki-laki dari bintang kemukus itu dengan dua ekor naga yang dimintai
bantuan.
Pertempuran itu masih berlangsung
terus, di laut timbul gelombang sebesar gunung, di darat bertiup angin topan
yang dahsyat. Sedangkan di udara, petir menyambar-nyambar guruh dan bunga-bunga
api yang maha panas. Sampai hari yang ke-100, keadaan masih belum berubah, hati
raja bertambah gelisah pula. Maka pada hari yang ke 101, dengan tidak
disangka-sangka menghadaplah seekor naga yang amat sederhana, ke hadapan raja.
Naga itu berwarna agak kehitam-hitaman. Matanya berkilat-kilat seperti bintang.
Dengan rendah hati naga itu berkata kepada raja, Paduka yang memerintah
kerajaan bumi, perkenankanlah hamba mengabdikan diri kepada Paduka serta
diperkenankan membantu kedua saudara hamba yang sedang bertempur melawan
laki-laki yang berasal dari bintang kemukus. Tentu saja permintaan itu
dikabulkan oleh raja. Maka dengan senang hati, naga itu langsung menuju ke
medan pertempuran yang saat itu sedang terjadi di daratan. Kedatangannya
menimbulkan perbawa yang luar biasa, sehingga dengan tiba-tiba saja pertempuran
itu berhenti sejenak. Melihat kedatangan naga ini, mereka bertiga yang sedang
bertempur menjadi heran. Maka bertanyalah naga yang bersisik emas, Hai naga
yang sangat sederhana, tanpa menunjukkan tanda-tanda kebesaran apapun, apakah maksud
kedatanganmu?
Naga itu menjawab,
“Saudaraku, aku datang untuk
membantumu”.
Mendengar jawaban itu, naga
berbalut intan merasa tidak senang. Lalu katanya,
“Saudaraku hanyalah mereka yang
dapat menunjukkan tanda kebesarannya”.
Alangkah sedih hati naga yang
kehitam-hitaman itu, ditambah lagi laki-laki dari bintang kemukus itu memakinya
pula. Kau yang mirip sebatang pohon roboh itu akan turut serta dalam permainan
ini…? Tetapi disabarkannya hati naga yang sederhana itu. Jawabnya, Terserahlah
kata-kata kalian atas diriku. Tetapi aku ingin menunjukkan pengabdianku.
Kalau demikian kerjakanlah itu
sendiri, kata naga bersisik emas.
Ya, kerjakanlah sendiri, sahut
naga yang bersalutkan intan.
Baiklah, jawab naga yang
kehitam-hitaman itu. Silakan kalian beristirahat.
Mendengar kata-kata Naga Hitam
itu, alangkah marahnya laki-laki bintang yang merasa dirinya sangat sakti. Maka
tanpa mengucapkan sepatah kata pun langsung diserangnya naga hitam itu dengan
kedua belah tangannya yang memegang petir. Tetapi apa yang disaksikannya
sangatlah mengagumkan. Naga hitam itu melingkar cepat sekali dan dengan sekali
menggerakkan ekornya kedua petir itu pun telah dapat direbutnya, dan dengan
suara menggelegar petir-petir itu dibantingnya di punggung gunung sampai pecah berserakan.
Laki-laki bintang itu terkejut menyaksikan hal yang demikian. Tetapi ia pun
tidak kurang saktinya. Segera kedua tangannya itu bergerak menangkap guruh yang
sedang berkeliaran di langit. Maka dengan sekuat tenaga, guruh itu pun
dihantamkan ke kepala lawannya. Naga itu melihat guruh yang dengan suara
gemuruh mengarah ke kepalanya, segera menyemburkan angin kencang dari mulutnya,
sehingga guruh itu pun terlontar kembali ke arah laki-laki bintang itu. Karena
kecepatannya menghindar, laki-laki itu tidak hancur karena senjatanya sendiri.
Dengan kejadian-kejadian itu, laki-laki bintang kemukus yang merasa dirinya tak
terkalahkan itu menjadi marah sekali. Dikeluarkannya segala kesaktian serta
kepandaiannya yang terakhir untuk menyerang naga hitam itu. Maka segera
terjadilah pertempuran yang tak terkira dahsyatnya. Tidak hanya lautan menjadi
bergolak, topan mengalir dengan derasnya, serta petir menyambar-nyambar, tetapi
segera hutan-hutan menjadi terbakar. Lautan mendidih serta gunung-gunung
terlempar berserak-serakan. Kedua lawan yang sedang mengadu tenaga itu telah
mempergunakan apa saja yang dapat dipegangnya untuk dijadikan senjata. Maka
semakin ketakutanlah segenap penduduk negeri bumi itu. Pada hari yang ketujuh,
pertempuran itu bertambah seru dan cepat. Laki-laki bintang kemukus itu telah
mengalami perkelahian 100 hari melawan dua ekor naga yang cukup sakti. Tetapi
tenaganya masih tetap segar. Sekarang ia baru tujuh hari bertempur melawan
seekor naga yang dikatakannya sebagai sebatang pohon yang roboh saja, namun ia
merasa bahwa tenaganya telah mulai kendor. Ia telah mencoba mengerahkan segala
kesaktiannya, tetapi tidaklah banyak hasilnya. Sekali waktu ia berhasil
menangkap ekor naga hitam itu. Lalu dengan tangannya yang kokoh kuat itu,
diputarnya naga itu di udara, sehingga menimbulkan angin putaran yang luar
biasa. Baik di darat maupun di lautan. Banyak gunung dan pulau-pulau yang
terangkat dan terlempar bertebaran. Tetapi naga itu tidak pula kehilangan akal.
Tubuhnya yang kehitam-hitaman itu tiba-tiba menyala-nyala, sehingga ketika
tangan laki-laki bintang itu merasa panas, terpaksa naga itu dilepaskan dan
terlontar ke udara. Timbullah suatu pemandangan yang mengerikan. Suatu
lingkaran api berputar-putar di udara. Sebentar kemudian berubahlah naga itu menjadi
gumpalan api yang bergulung-gulung menghantam lawannya. Laki-laki bintang itu
menjadi agak kebingungan. Maka segera ia menghindar dengan terjun ke dasar
Samodra. Namun api-api itu pun menyusulnya ke dasar samodra, dengan api masih
tetap menyala, sehingga air lautan menjadi mendidih karenanya. Segera laki-laki
itu meninggalkan lautan, dan terbang ke udara. Naga itu juga tetap mengejarnya.
Kemana laki-laki itu pergi, gumpalan api itu tetap menyusul di belakangnya,
sehingga akhirnya laki-laki bintang kemukus itu merasa bahwa ia tak mampu lagi
menandingi naga hitam yang dapat menyalakan api dari tubuhnya, jauh lebih panas
daripada api yang keluar dari mulut naga yang bersisik emas, dan jauh lebih
berbahaya dari sorot beracun di kedua belah mata naga yang berbalut intan
permata. Maka tidak ada jalan lain, kecuali kembali ke asalnya. Segera
laki-laki bintang itu pun terbang lebih tinggi, dan akhirnya lenyaplah ia
berlindung di balik kabut beracun yang memancarkan cahaya yang menyilaukan,
yang menyelubungi dunianya, yaitu bintang kemukus. Setelah melihat lawannya
kembali ke asalnya, naga hitam itu merasa bahwa tugasnya telah selesai. Segera
ia turun kembali ke bumi untuk menemui kedua naga yang bersisik emas dan
berbalut intan. Mudah-mudahan setelah ia menunjukkan jasanya, sudilah kiranya
kedua naga itu mengaku sebagai saudara. Tetapi alangkah kecewanya, ketika ia
sampai di bumi, kedua ekor naga itu sudah tidak ada lagi. Maka menghadaplah
naga hitam itu kepada baginda raja bumi untuk menanyakan kalau-kalau kedua ekor
naga itu sudah mendahuluinya menghadap. Di sepanjang jalan, naga hitam itu
selalu bersyukur di dalam hati, mereka dalam keadaan telah hampir pulih
kembali. Orang-orang sudah tidak lagi ketakutan. Agak berbanggalah hatinya
kalau ia mendengar beberapa orang menyebut-nyebutnya sebagai pahlawan yang
berhasil mengusir laki-laki bintang kemukus yang membawa bencana wabah
berbahaya. Tetapi kebanggaan itu disimpannya dalam hati, sebab ia merasa bahwa
apa yang dilakukannya adalah amal pengabdian semata. Ketika ia menghadap raja
bumi, alangkah terkejutnya waktu ia melihat upacara penyambutan yang luar
biasa.
<<<cerita bagian 09 cerita bagian 11>>>
<<<cerita bagian 09 cerita bagian 11>>>